Bel istirahat telah berbunyi beberapa saat yang lalu.
Nadia membolos sejak keluar dari ruang BK dan Rey saat ini sedang berlari menuju ke arah kantin dengan tergesa-gesa.
"GILA! INI BENERAN KANTIN SEKOLAH?!" batin Rey dengan mata yang terbelalak kaget ketika melihat lautan manusia yang sedang saling berdesak-desakan untuk mendapatkan pesanan makanan mereka di kantin sekolahan.
Di sekolah lamanya sama sekali tidak ada yang seperti ini. Seluruh siswa yang ingin membeli jajanan mengantri dengan rapi dan tertib. Tidak ada yang saling mendorong dan tidak ada suara rusuh yang terdengar. Suasana hening dan tenang, sangat berbeda jauh dengan apa yang sedang dia lihat saat ini.
Seseorang menyenggol bahunya dan hal itu dengan sukses membuyarkan lamunannya dan membawanya kembali ke dunia nyata.
"Kalo kondisinya kayak gini, gimana gue bisa mesen makanan coba? mana mereka cuman kasih gue waktu 15 menit!" gerutunya dalam hati.
Seumur hidup Rey, belum pernah dia memperebutkan sesuatu ataupun berdesak-desakan. Jadi ketika dia melihat pemandangan yang ada di hadapannya ini, mental nya menjadi sedikit terguncang.
Membayangkan kalau dia akan masuk ke dalam lautan manusia itu hanya demi beberapa makanan murah benar-benar membuat kepala Rey menjadi pusing. Tidak pernah sekalipun terlintas dalam imajinasi terliarnya dia berdesak-desakan dengan seseorang hanya untuk beberapa makanan murah yang bahkan total harganya pun tidak mencapai 100 ribu.
"Apa gue pergi aja dan biarin mereka mukulin gue?" batinnya lagi, dia berniat untuk mundur.
Tapi seperdetik kemudian Rey langsung menggeleng, "Ngga Rey. Lo ngga boleh nyerah! lo harus berjuang dan jadiin ini sebagai pengalaman baru buat lo! ini tujuan lo datang ke sini! kalo lo bisa dengan mudah dikalahkan sama hal kecil kayak gini, mendingan lo pulang aja! Balik ke rumah orang tua lo dan kembali jadi anak manja yang hidupnya membosankan!" ujarnya lagi dalam hati, mencoba menyemangati diri sendiri.
Dia terus larut dalam pergolakan hatinya dan terus menimbang-nimbang keputusan. Sampai pada akhirnya, setelah beberapa menit membuang waktu yang berharga, Rey pun mengepalkan tangannya kuat-kuat dan menghirup nafas dalam-dalam, mencoba untuk mengumpulkan kekuatan. Dan setelah itu, dia pun langsung menerobos masuk ke dalam kerumunan para siswa yang sedang kelaparan.
Tubuhnya terombang-ambing. Sulit baginya untuk menyelipkan diri antara puluhan siswa yang sedang berdesak-desakan untuk sampai ke hadapan si penjual dan memesan makanan.
Tapi meskipun begitu, Rey sama sekali tidak menyerah. Meskipun dia berulang kali tereliminasi dari kerumunan, dia tetap mencoba untuk kembali menerjangnya dengan sekuat tenaga.
Tubuhnya mengalami sedikit rasa sakit karna dihimpit oleh banyak orang tapi Rey sama sekali tidak perduli itu. Dia terus maju hingga ke garis depan.
"Bu! mie ayam bakso 3! es teh 3! gorengan 5 ribu! Kacang polongnya 6!" teriaknya membacakan pesanan yang ada di kertas.
Si ibu kantin yang telah mendapat pesanan langsung membuatnya bersamaan dengan pesanan anak lainnya. Jujur Rey dibuat takjub untuk beberapa saat ketika melihat si ibu kantin yang dengan sigap membuat bakso 20 mangkok secara bersamaan. Jujur dia belum pernah melihat hal ini sebelumnya.
Si ibu terlebih dahulu sudah menyiapkan bahan-bahan untuk membuat bakso dan tinggal menambahkan air serta bakso ke dalam mangkok yang sudah di lapisi dengan plastik.
Hanya dalam waktu 5 menit pesanan Rey sudah selesai.
Dia menarik nafasnya dalam-dalam, bukan hanya masuk ke dalam kerumunan ini yang memerlukan perjuangan melainkan saat keluar juga.
Dengan susah payah dia mencoba keluar sambil melindungi bakso-bakso yang panas itu agar tidak terjatuh. Meloloskan diri dari sini saja sudah membuatnya kewalahan, dan sekarang dia memiliki sesuatu yang harus dia lindungi. Otak Rey benar-benar meronta meminta untuk menyerah saat ini.
"Kalo mama tau anaknya ngejalanin hidup kayak gini, pasti mama bakalan pingsan atau kalo ngga nangis-nangis!" batinnya setelah berhasil keluar.
Kini badannya tidak hanya merasa sakit melainkan juga merasa panas seperti habis terkena api karna kuah bakso.
Perjuangannya belum selesai sampai di sini, waktunya tinggal 3 menit dari waktu yang di janjikan. Jadi, dengan sekuat tenaga Rey berlari seperti orang yang sedang di kejar setan untuk sampai di kelas dengan tepat waktu.
"Ma-maaf lama, i-ini pesanannya," dengan nafas yang ngos-ngosan Rey langsung memberikan semua makanan yang dia bawa kepada anak-anak yang menyuruhnya setelah sampai di dalam kelas.
"Woi cupu! lo telat 4 menit!" omel salah satu dari mereka.
"Aish! kurang ajar! udah gue bayarin! gue beliin! masih aja protes soal telat!" maki Rey dengan dongkol dalam hatinya.
"M-maaf, t-tapi aku belum terbiasa sama sekolah ini, d-dan tadi kantin rame banget," jawabnya, isi hati dan perkataannya benar-benar bertolak belakang.
"Halah alesan! ini ngga bisa dibiarin! lo udah salah masih aja cari-cari alesan! pokoknya kita ngga mau tau, lo harus bayar keterlambatan lo ini dengan ngerjain PR kita!" bentak yang lain seraya membuka plastik yang berisi bakso yang Rey bawa dengan penuh perjuangan.
Dan salah satu dari mereka langsung melempar buku tulis serta buku LKS yang mereka miliki kepada Rey.
"T-tapi kan a-aku ng-ngga tau pe-pelajaran kalian itu apa," Rey mencoba menolak secara harus dengan memberikan alasan.
Salah seorang mereka langsung melemparkan sendok baksonya ke Rey, wajahnya terlihat dongkol dan keningnya mengernyit, "Bisa ngga sih lo ngga usah ngebantah?! bikin selera makan gue ilang aja tau ngga! heran gue! apa susahnya sih nge-iyain doang?!" bentaknya.
Rey menutup matanya, tangannya terkepal kuat ketika sendok bakso itu mendarat di wajahnya. Belum pernah dia mendapat penghinaan semacam ini selama hidupnya.
"Gue udah ngga kuat lagi! gue nyerah! gue bisa mulai dari awal lagi di sekolah baru gue nanti! jadi Rey ayo jangan nahan diri lagi! kasih mereka pelajaran!" ucap jiwanya kepada diri sendiri di dalam hati.
Tangannya sudah setengah terangkat. Tapi, baru juga dia ingin meledak-ledak, tiba-tiba saja terdengar suara kaki meja yang ditendang dan membuat seluruh orang yang berada di dalam ruangan ini secara reflek mengalihkan pandangannya masing-masing ke arah sumber suara, termasuk Rey.
"Woi lo bertiga! bisa ngga sih miskinnya ngga usah ditunjukin banget? gue tau kalian ngga punya uang tapi ngga seharusnya kalian malak anak baru! Dan kalo kalian emang pengen di bayarin, harusnya kalian bilang terima kasih pas udah dapet apa yang kalian pengen, bukan malah semakin bersikap sok berkuasa kayak gini! Ini sekolahan, kalo mau jadi preman bukan di sini tempatnya!" omel si pelaku penendangan dari kursinya dengan kata-kata menusuk.
Dia dengan entengnya mengatakan mereka seperti seorang preman. Padahal, tingkahnya saat ini pun terlihat tidak jauh berbeda dengan mereka.
"Lo ngga usah ikut campur deh Nad! Urus urusan lo sendiri! ngga usah urusin masalah orang lain! Asal lo tau aja yah! Kita semua itu diem bukan karna kita ngga berani sama lo! Kita semua ngabaiin lo selama ini itu karna kita ngga mau berurusan sama anak yang ngga jelas asal usulnya kayak lo! Jadi tolong jangan ngerasa hebat dan jadi sok pahlawan!" balas salah satu dari mereka kepada orang yang tidak lain dan tidak bukan adalah Nadia.
Gadis itu telah kembali ke dalam kelas di 10 menit yang lalu setelah membolos 1 mata pelajaran.
"Dan apa tadi lo bilang...? Lo ngatain kita preman? Eh, ngaca b**o! Lo juga sama! Jadi ngga usah sok iye jadi orang! Jadi makin jijik gue jadinya sama lo!" lanjutnya.
Orang itu benar-benar merasa tidak terima mendapatkan omelan dari Nadia yang sejujurnya dia anggap lebih rendah derajatnya dari dirinya.