"Nad! Gimana?! lo di kasih hukuman apa sama pak Eri? pasti serem ya Nad berurusan sama guru killer itu?" tanya Aurel yang ternyata menunggunya di depan ruangan BK sejak tadi seraya memeluk Nadia. Terlihat jelas raut prihatin di wajahnya.
"Ish! apaan sih lo?! ngapain coba meluk-meluk gue?!" Nadia langsung melepaskan pelukan Aurel. Ini terasa seperti dejavu baginya.
"Ih Nad! ngga up to date lo! nih yah dari buku yang gue baca, sebuah pelukan bisa memberikan rasa tenang dan nyaman! lo abis keluar dari ruang BK, jadi itu artinya lo sangat butuh pelukan seseorang saat ini buat nenangin lo!" terang Aurel.
"Ngga usah sok tau jadi orang!" ketus Nadia seraya berjalan pergi meninggalkannya.
"Nad, tunggu! lo mau kemana?!" Aurel langsung mengejarnya dari belakang.
Gadis itu rela membolos dari kelas hanya untuk mengejar Nadia dan sekarang malah ini yang dia dapatkan. Diabaikan dan lagi-lagi ditinggalkan.
"Ngapain sih lo ngikutin gue?! kayak yang ngga ada kerjaan lain aja!" delik Nadia sambil menunjukkan ekspresi jengah nya.
Langkahnya terhenti sehingga Aurel tanpa sengaja menabrak punggungnya.
"Ya karna gue pengen main sama lo, Nad! Gue pengen kita temenan! Harus berapa kali sih gue jelasin alasannya biar lo paham?!" jawab Aurel.
"Gue ngga mau! harus berapa kali juga sih gue kasih tau lo biar lo paham, hah?!"
"Gue paham Nad. Gue sangat paham.... Tapi gue ngga mau nyerah dan ngga akan pernah nyerah!" balas Aurel. Dia rela menurunkan harganya dirinya ke level terendah hanya demi dapat berteman dengan Nadia.
Nadia menghela nafasnya, berdebat dengan Aurel benar-benar terasa membuang-buang waktu baginya.
"Rel, ada kuda poni terbang di belakang lo!" ujar Nadia tiba-tiba.
"Hah? mana? mana?" mendengar perkataan Nadia tersebut, dengan polosnya Aurel langsung membalikkan badannya dan mencari kuda poni yang Nadia maksud.
Nadia pun memanfaatkan situasi ini dengan sebaik-baiknya, dia langsung berlari secepat yang dia bisa dan meninggalkan Aurel yang sedang sibuk mencari kuda poni terbang yang belum tentu ada di dunia nyata.
"Lo bohongin gue ya... Nad?" ekspresi Aurel seketika berubah lesu saat melihat Nadia yang sudah tidak ada di tempatnya.
"Arghh!!! lagi-lagi gue di tinggal!" Gerutunya sambil mengacak-acak rambutnya frustasi. Aurel terlalu mudah dibohongi oleh sesuatu yang bahkan sebagian anak kecilpun tidak akan dapat ditipu oleh trik semacam itu.
"Hei kamu! ngapain kamu ada di sini? bel sudah berbunyi sejak tadi dan pelajaran sudah dimulai!" Ditengah-tengah rasa frustasinya, tiba-tiba saja suara teriakan seorang guru terdengar nyaring di telinganya.
"Aish! Gue ketangkap basah lagi! Kabur ah!" gumam Aurel, berniat kabur dari sana. Tapi sayang, larinya terlalu lamban sehingga sang guru tau-tau sudah berada di sampingnya.
"Mau bolos ya kamu?!" tuding si guru.
"Eh, umm... ngga kok pak, saya ngga berniat bolos," jawab Aurel sambil menggeleng.
"Sudah jangan mengelak lagi! Kamu sudah tertangkap basah jadi tidak usah banyak alasan! Sekarang ikut saya, kamu harus saya hukum!" delik si guru tersebut.
"Pak, ayolah pak... Saya beneran ngga ada niatan bolos pak, ini aja saya udah mau pergi ke kelas," melas Aurel, dia tidak boleh meninggalkan catatan dosa di sekolahan karna orang tuanya akan sangat marah jika sampai mereka mendengar Putri yang mereka didik dengan sangat baik melakukan pelanggaran di sekolah.
"Kalo ngga ada niatan bolos, lalu kenapa kamu ada di luar kelas saat jam pelajaran sedang berlangsung?!"
"Saya tadi cuman ke toilet pak, ini mau jalan pulang ke kelas," bohongnya.
"Toilet? jalan pulang ke kelas?" beo si guru.
Aurel mengangguk mantap, "iya pak."
"Kelas mana yang mau kamu masuki? arah yang kamu tuju ini ngga ada kelas, cuman ada jalan ke atap sekolahan dan perpustakaan serta ke kantin. Lokasi kelas ada di sebelah sana," skakmat si guru seraya menunjuk ke arah jalan yang berlawanan dengan yang Aurel tuju.
Aurel menunduk, gadis lugu itu kini tidak bisa lagi beralasan.
"Maaf pak, saya bohong. Tapi seriusan saya mau pergi ke kelas kok pak. Jadi saya mohon kali ini... aja, bapak tolong bebasin saya. Saya janji, saya ngga akan pernah ulangin kesalahan ini lagi, pak. Jadi tolong, tolong pak, jangan masukin nama saya ke daftar catatan pelanggaran," dia yang merasa sudah tidak dapat lagi menemukan jalan keluar dengan kebohongan pada akhirnya memutuskan untuk mengeluarkan jurus terakhir. Yaitu memohon dengan nada lirih sambil menunjukkan ekspresi memelas yang sejauh ini tidak pernah gagal untuk meluluhkan hati orang lain kecuali Nadia karna gadis itu tidak memiliki hati sama sekali.
"Pak... tatap mata saya dan lihat wajah saya baik-baik, pak. Apa ada tampang-tampang anak nakal dan pembohong di sana? ngga ada kan, pak? saya itu anak baik-baik pak, ngga pernah melawan orang tua dan selalu rajin belajar.... Jadi bapak harus percaya sama saya dan bebasin saya untuk satu kali ini aja, pak. Saya mohon...," melasnya lagi dengan dramatis. Untuk hal yang bersifat drama serta ekspresi yang berlebih-lebihan Aurel adalah jagonya karna pernah ikut ekskul teater.
Meskipun hanya bertahan 1 tahun karna mamanya menyuruhnya untuk keluar agar bisa fokus belajar, tetap saja dulu Aurel termasuk salah satu junior berbakat di ekskul tersebut.
Si guru menghela nafas, Aurel memanglah wajah baru baginya. Beliau sudah berurusan dengan semua anak nakal di sekolahan ini, jadi beliau mengenali wajah mereka semua dan Aurel tidak masuk ke dalam daftarnya. Jadi beliau dapat memastikan kalau perkataan Aurel yang mengatakan kalau dia bukan anak nakal adalah sebuah kejujuran.
"Yasudah, untuk sekali ini saja kamu saya bebaskan. Tapi, kalau saya melihat kamu bolos atau melakukan pelanggaran lagi, tidak ada toleransi! Kamu akan langsung bapak bawa ke ruang BK dan bapak alihkan ke pak Eri agar kamu di beri hukuman yang 2 kali lipat lebih menakutkan dari hukuman yang bapak punya!" jawab sang guru, pada akhirnya beliau luluh juga kepada Aurel seperti yang Aurel harapkan.
Aurel langsung tersenyum lebar mendengarnya, "Makasih pak," dia langsung menyalim tangan beliau untuk menunjukkan rasa terima kasih kemudian pergi dari sana dengan terburu-buru.
Kelas mereka berada tidak jauh dari sana, jadi dia hanya membutuhkan waktu beberapa menit untuk sampai.
Dengan nafas yang ngos-ngosan dia masuk ke dalam kelas. Jam pelajaran pertama telah habis, dan guru pun telah berganti. Dan untungnya, guru selanjutnya yang mengajar di kelas mereka belum datang jadi Aurel terhindar dari masalah.
"Kenapa lo Rel? kok ngos-ngosan gitu?" tanya Oca.
"Gue abis lari dari masalah."
"Maksudnya?" Oca mengernyitkan keningnya.
"Hampir aja gue masuk BK karna ketauan bolos sama salah satu guru BK," terang Aurel.
"Tapi untung aja gurunya bukan pak Eri. Coba kalo pak Eri, tamat udah ngga bakalan bisa bebas gue," lanjutnya.
"Lagian lo sih, ngapain coba ngejar Nadia ke sana? kasian gue sama lo, lo keliatan menyedihkan tau ngga karna ngemis-ngemis pertemanan ke dia," cerocos Oca dengan pedas.
"Ca! berapa kali kita harus bahas ini?!" ekspresi Aurel seketika berubah, begitu juga dengan intonasi suaranya.
"Oke, maap. Gue kelepasan, tapi gue harap lo segera sadar yah dari kebodohan lo ini," sahut Oca acuh tak acuh.
Dia benar-benar merasa tidak mengerti dengan Aurel. Jika orang-orang pada umumnya menjadi b***k perasaan ke pasangannya dan menjadi bodoh karnanya, Aurel malah menjadi b***k perasaan ke temannya.
Bahkan Oca yakin, jika semisal Nadia meminta Aurel untuk membelikan Nadia sebuah rumah mewah dan mencukupi kebutuhan sehari-hari nya agar mereka bisa berteman, Aurel pasti akan mengusahakannya.
Di lain tempat di kelas ini, Rey sedang melamun menatap lapangan. Ada banyak hal yang dia pikirkan. Mulai dari harus bersikap bagaimana dan orang yang mana yang harus dia incar untuk dijadikan sebagai teman.
"Heh, anak baru," saat Rey sedang melamun tiba-tiba saja sekumpulan siswa laki-laki datang menghampirinya dan menendang kaki mejanya.
Sudah dapat Rey pastikan kalau merekalah brandalannya di kelas ini.
"I-iya, a-ada apa yah?" jawabnya berpura-pura gugup. Rey melihat reaksi seperti ini di dalam film yang dia tonton dan sekarang dia memperagakannya di dunia nyata.
Dia memang benar-benar korban drama film.
"I-iya a-ada apa yah?" beo mereka, mengulang kata-kata yang di ucapkan Rey dengan nada yang sama kemudian tertawa seolah itu adalah sesuatu hal yang lucu.
"Eh, anak baru. Kenapa mendadak gagu lo, hah? perasaan tadi pas perkenalan diri biasa-biasa aja ngomongnya. Kenapa emangnya hah? takut sama kita? kalo iya, parah sih lo itu kurang ajar banget. Kita ngga saling kenal sebelumnya tapi lo udah ngira kalo kita adalah sesuatu yang nakutin," ujar salah satu dari mereka.
"Bener banget. Seolah-olah tuh muka kita nyeremin dan penampilan kita kayak preman. Padahal kita adalah siswa baik-baik yang ngga suka ngelakuin kekerasan," sahut yang lainnya.
"Iya tuh, ngga nyangka gue pemikiran lo seburuk itu. Hati gue sakit tau ngga gara-gara lo, jadi gue ngga mau tau lo harus tanggungjawab!" timpal yang lain lagi.
"SETUJU!!!" dengan serentak mereka semua menyetujuinya.
"Kenapa ngga pada to the point aja sih lo pada kalo lo semua pengen gue jajanin, hah?! buang-buang waktu gue tau ngga," dumel Rey dalam hati.
"N-ngga kok, a-aku ngga mikir kayak gitu. A-aku cuman g-gugup aja," kilah Rey melanjutkan aktingnya seraya menunduk.
"Ngga usah bohong deh lo. Pokoknya kita ngga mau tau, setelah bel istirahat nanti berbunyi lo harus lari ke kantin dan beliin kita daftar makanan yang udah kita tulis di dalam kertas ini!" terang orang yang pertama kali bicara tadi.
"See, kalian udah niat buat morotin gue sejak awal," batinnya lagi.
"T-tapi kan...," jawab Rey yang langsung dipotong oleh mereka.
"Ngga ada tapi-tapian! kita udah sakit hati sama tingkah lo. Jadi lo harus nebus itu kalo emang lo ngga mau dibenci dan dimusuhin sama kita!"
Rey memilin-milin seragamnya, hal ini juga dia lihat di film yang dia tonton. Para anak nerd yang menjadi korban bully selalu berkarakter lemah, mudah gugup, dan suka memilin-milin baju jika grogi ataupun takut.
"I-iya, a-aku bakalan b-beliin kalian m-makanan y-yang ada di k-kertas itu," jawabnya. Rey sudah menebak dan memprediksi perlakuan semacam ini bahkan jauh sebelum dia meminta kepada papanya untuk mengasingkan diri sementara dari rumah dan kehidupan glamour.
"Nah gitu dong, yaudah yah kita pergi dulu. Jangan sampe telat loh yah nanti. Kami bakalan nungguin lo di kursi itu," ujar salah satu dari mereka seraya menunjuk ke salah satu kursi di kelas ini.
Rey dapat memastikan kalau itu adalah kursi salah satu dari mereka.
"I-iya," lagi-lagi Rey hanya bisa mengangguk.
Mereka semua tersenyum puas kemudian pergi dari sana menuju ke tempatnya masing-masing.
"Bersyukur lo semua. Kalo gue masih gue yang dulu jangankan nyuruh gue, buat ngobrol sama gue aja pasti lo semua bakalan mikir 1000 kali karna minder dan takut!" batin Rey menatap sinis mereka semua dari kacamata tebal nan berkabutnya.
Sebut saja dia gila karna lebih memilih hidup seperti ini daripada hidup bahagia dengan bergelimang harta, tahta dan keluarga kaya raya.