7

1108 Kata
Nadia dan guru itu masuk ke dalam ruangan BK dengan hening. "Saya tetap pada keputusan saya yang kemarin pak. Saya tidak mau minta maaf sama mereka meskipun konsekuensi yang akan saya dapat adalah di keluarkan dari sekolah ini," tegas Nadia to the point seraya duduk di kursi yang dia duduki kemarin. Beliau terdiam sejenak, kemudian menghela nafas, "Kamu tenang saja. Kamu tidak akan dikeluarkan dari sekolahan dan bapak juga mau minta maaf sama kamu." Kening Nadia sontak mengernyit saat mendengarnya, "untuk?" tanyanya dengan bingung. "Untuk perkataan bapak yang kemarin. Tidak seharusnya bapak ngomong kayak gitu dan tidak seharusnya pula bapak pilih kasih kepada murid. Kamu benar, Nadia. Bapak sepertinya tidak pantas menjadi guru. Terimakasih karna sudah membuat bapak menyadarinya," terang beliau. Sejak perdebatannya dengan Nadia kemarin, sepanjang hari dan sepanjang malam beliau tidak pernah sedetikpun berhenti merenung dan berfikir tentang dirinya sendiri. Nadia semakin terlihat kebingungan. Jujur, dia benar-benar merasa tidak mengerti dengan jalan fikiran yang dimiliki oleh guru yang sedang berada dihadapannya ini. Kemarin beliau memaki-maki dirinya, dan sekarang, beliau malah meminta maaf kepadanya. "Bapak ngga lagi sakit kan otaknya?" tuding Nadia, siapapun pasti akan merasa bingung jika berada diposisinya saat ini. Kini gantian guru itu yang mengernyitkan kening, "Apa meminta maaf terlihat seaneh itu?" tanya beliau. "Y-ya ngga aneh sih pak, saya cuman ngerasa ngga ngerti aja. Kemarin bapak maki-maki saya, bersikap kayak orang yang paling benci sama saya, tapi sekarang bapak malah bersikap sebaliknya. Kalau bapak ada di posisi saya saat ini, saya yakin, pasti bapak juga akan bereaksi sama dengan saya," jelas Nadia. "Syukurlah, saya salah sangka. Saya kira yang aneh itu dibagian meminta maafnya," jawab beliau. "Meminta maaf ketika kita salah, saya rasa itu tidak aneh sama sekali pak. Yang aneh itu saat kita bersikap sebagai seorang korban padahal kitalah pelakunya, atau bersembunyi di balik kata bercanda ketika kita melukai perasaan orang lain," sahut Nadia dengan datar. "Kamu benar," balas beliau. Dia merasa setuju dengan opini yang Nadia miliki. "Jadi, kalo boleh tau, apa yang ngebuat bapak bertingkah kayak gini?" tanya Nadia tiba-tiba setelah keheningan menguasai mereka selama beberapa saat. "Itu juga kalo bapak merasa tidak keberatan buat ngasih tau saya sih," lanjutnya. Bagaimanapun juga, dia tetap merasa penasaran dengan penyebab perubahan drastis yang terjadi kepada gurunya ini. Beliau menghela nafasnya, lagi. Kemudian mengambil posisi duduk di kursinya. "Selama saya mengajar, belum pernah ada satupun siswa yang berani melawan saya. Dan selama saya mengajar, tidak ada satu orangpun yang menegur dan mau mengatakan kepada saya saya kalau tindakan yang selama ini saya lakukan itu salah. Semua guru yang berada di sekitar saya melakukan hal yang sama dengan apa yang saya lakukan. jadi, secara otomatis otak saya jadi menganggap kalau memang itulah jalan yang benar dan lumrah di dunia pendidikan. Berpihak kepada siswa yang keluarganya lebih kaya agar posisi kita aman atau mengkedepankan siswa-siswa yang cerdas dan memberikan kedua golongan siswa itu keistimewaan yang tidak dapat dimiliki oleh siswa biasa terutama siswa yang bermasalah, saya kira begitulah sistemnya selama ini. Karna, ketika saya masih menjadi seorang murid pun, guru saya melakukan hal yang serupa dengan apa yang saya lakukan. Mereka mengabaikan siswa miskin, siswa bodoh, dan siswa yang bermasalah. Menjilat para orang tua serta pimpinan sekolah untuk mendapatkan posisi aman. Dan bahkan, jujur saja, jika kita bisa menyenangkan para elite, kita bisa mendapat promosi untuk naik jabatan," terang beliau panjang lebar. "Saya tidak pernah memikirkan bagaimana menjadi seorang guru yang seharusnya. Karna jujur, saya hanya menganggap ini sebuah pekerjaan untuk menghasilkan uang," lanjutnya. "Terus kenapa bapak tiba-tiba berubah fikiran? kenapa bapak tidak pertahankan pemikiran bapak itu sampe akhir?" tanya Nadia. "Karna bapak merasa malu sama kamu. Bapak tau kalau mungkin hal ini terdengar aneh dan terasa sangat tidak mungkin cukup untuk dijadikan sebagai alasan perubahan bapak. Tapi jujur saja, entah kenapa bapak merasa bersalah karna sudah membuat perspektif kamu terhadap sosok seorang guru berubah. Kamu menjunjung tinggi seseorang yang disebut guru, dan di sini saya membuat kamu kecewa karna guru yang ada di sekolah kamu, berbeda jauh dengan guru yang ada di dalam fikiran kamu," jawab beliau. Nadia terkekeh pelan, entah kenapa jawaban beliau terasa sangat lucu baginya. "Sejak awal masuk ke sekolah ini perspektif saya tentang guru itu udah ancur pak, jadi ini sama sekali bukan salah bapak. Bahkan bukan hanya di sini, di sekolahan lama saya juga sama. Kalian bukan guru yang sebenarnya, itu menurut saya. Tapi kalo memang bapak mau berubah dan mau belajar tentang bagaimana menjadi seorang guru yang baik dan benar itu, saya dukung," jawabnya. "Terimakasih. Saya akan berusaha untuk menjadi guru yang sebenarnya mulai sekarang," sahut beliau dengan wajah yang tersenyum. Entah kenapa mendengar kata dukungan dari Nadia membuatnya merasa bahagia. Rasanya, beliau semakin yakin dengan keputusan yang dia ambil tersebut. Dan setelah itu, selama beberapa saat. Tidak ada lagi obrolan yang tercipta diantara mereka. Cukup lama mereka berada di dalam situasi hening itu. Hingga pada akhirnya, Nadia yang mulai merasa kalau hal ini membuang-buang waktunya memilih untuk kembali membuka suara. "Apa ada lagi yang ingin bapak sampaikan? Kalau tidak, saya ingin mengajukan pertanyaan," tanyanya. "Silahkan." "Bapak bilang, mulai sekarang bapak tidak akan pilih kasih lagi kepada murid. Jadi bagaimana dengan kasus yang kemarin pak? Apa bapak akan mengubah keputusan dan merevisi hukumannya?" "Bapak akan coba selidiki dulu kasus ini, jika memang kalian terbukti melakukan perkelahian dan bukan hanya kamu yang menghajar mereka, bapak akan kasih hukuman yang adil untuk kalian semua," jawab beliau. "Meskipun konsekuensi yang bapak dapat adalah dipecat dari sekolahan?" Nadia menaikkan sebelah alisnya. Jujur, meskipun dia mengatakan mendukung keputusan gurunya yang ingin berubah, sampai saat ini Nadia belum mempercayai gurunya itu sedikitpun. Kenapa? Karna semua orang bisa berucap tapi tidak semua orang bisa membuktikan apa yang dia ucapkan. Semua orang bisa dengan mudah memasang ekspresi serius dan mengatakan akan berubah, tapi tidak semua orang mampu menepati janjinya tersebut. Itulah pendapat yang Nadia miliki. "Ya, meskipun konsekuensinya adalah pemecatan," jawab beliau dengan tegas. Dapat terlihat jelas raut keseriusan di wajah dan di mata beliau ketika mengatakannya. Mendengar jawaban beliau tersebut, Nadia menarik nafas dengan dalam dan mengeluarkannya dengan sedikit kasar, kemudian bangkit dari duduknya. Dia tersenyum tipis. Bahkan saking tipisnya, gurunya sampai tidak bisa menyadari dan melihat senyumannya itu. "Oke, makasih pak karna sudah mau bersikap adil. Dan kalau memang sudah tidak ada lagi hal yang mau bapak sampaikan kepada saya, saya pamit undur diri, pak. Permisi," pamitnya kemudian pergi dari sana tanpa mau repot-repot menunggu jawaban dari beliau. Nadia memang sekurangajar itu, dan sepertinya tidak ada siswa lain di sekolahan ini yang bertingkah sama seperti dirinya. Mengatakan pamit undur diri kepada guru BK yang selama ini tidak ada satu orangpun yang berani melawan kata-katanya. Jangankan melawan, menatap beliau saja pun sebagian siswa merasa ketakutan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN