YAMH 6

1170 Kata
Pagi hari pun telah tiba, seperti biasa kegiatan di pagi hari adalah sarapan bersama. Namun, yang berbeda dari sarapan pagi ini adalah Gyzell terlihat sangat murung. “Mah, putri kita kenapa?” tanya Trustin yang sedikit berbisik kepada istrinya. “Nanti Mama ceritakan,” jawab Aleysia lalu wanita itu kembali menyiapkan sarapan. Alger yang sedang duduk di sana pun menatap sang mama dengan pandangan yang sendu. Seketika perasaan itu menghampiri dirinya saat kejadian semalam melintas di pikirannya. “Mah.” Alger menyentuh punggung tangan Gyzell dengan lembut. bola matanya yang biasanya bulat dan berbinar itu terlihat sangat sendu. Gyzell menarik sudut bibirnya membentuk sebuah lengkungan senyum yang indah. Lagi-lagi wanita itu mencoba untuk menutupi kesedihannya di depan sang putra. “Mama nggak pa-pa sayang, cuma lagi banyak kerjaan aja,” jelas Gyzell sembari mengusap jemari mungil milik Alger yang berada di punggung tangannya. “Pasti Mama bohong,” bantah Alger begitu yakin. Gyzell menghela napasnya pelan, “Sekarang Al sarapan yah, abis itu kita langsung berangkat ke sekolah.” Gyzell mencoba untuk mengalihkan topik pembicaraan, karena dia tidak mau putranya menanggung beban pikiran yang berat di usianya yang masih dini. “Tapi Mah ….” “Al, sebaiknya kamu sarapan ya.” Trustin memotong ucapan Alger membuat bocah laki-laki itu diam lalu menyantap sarapannya. “Zell, sebaiknya kamu di rumah aja untuk hari ini, Nak. Papa lihat kondisi kamu juga kurang sehat,” ucap Trustin mencoba untuk menasehati. Gyzell menggeleng, “Tidak bisa Pah. Ada meatting dengan klien. Zell sudah menyusun jadwal itu dari tiga bulan yang lalu, karena orangnya memang sangat sibuk sekali. Sering ke luar negeri untuk menengok anaknya yang kuliah di sana,” jelas Gyzell. “Pasti anaknya klien kamu itu lagi ngelanjutin S2, kamu nggak nanya anaknya laki-laki atau perempuan? Kalau laki-laki kan kamu bisa minta didekatkan,” ucap Trustin, tetapi mendapat tatapan tajam dari istrinya. Gyzell hanya diam. Sering kali Trustin memaksanya untuk membuka hati dan menerima laki-laki baik di luaran sana. Namun, ketakutan tetaplah menjadi boomerang untuk hidupnya sendiri. “Pah, sudahlah, jangan terlalu menekan putri kita,” ucap Aleysia membuat Trustin bungkam seketika. Gyzell menatap arloji yang berada di lengan kirinya, lalu wanita itu langsung meneguk air putih lalu menyambar tasnya. “Zell mau berangkat dulu Mah, Pah. Al, ayo sayang kita berangkat,” ucap Gyzell dengan nada yang lembut. Ke dua orang tuanya pun mengangguk bersamaan. Aleysia beranjak dari duduknya untuk mengantarkan sang putri dan sang cucu berangkat. “Pah, Zell berangkat dulu ya. Ingat, jangan terlalu banyak main di kebun. Mama udah laporan semuanya ke Zell, nanti pinggang Papa sakit lagi gimana?” cerocos Gyzell sembari mencium punggung tangan sang papa. Trustin menatap protes ke arah istrinya yang sedang membenarkan baju seragam Alger. “Memang benar adanya ‘kan, Pah? Selama Gyzell kerja Papa selalu sibuk sama tanaman di belakang. Semalem aja Papa mengeluh pinggangnya sakit lagi.” “Tuh ‘kan bandel,” Gyzell memberikan tatapan penuh peringatan ke arah Trustin dan lelaki itu hanya bisa diam pasrah di tempatnya. “Hii, lalu apa bedanya Al sama Kakek?” tanya Alger dengan kekehan di akhir kalimatnya. Trustin semakin dibuat kesal dengan tingkah cucunya yang secara terang-terangan sedang menggodanya. “Tuh Pah, dengerin Al,” ucap Gyzell disertai dengan kekehan pula. “Hemmm.” Trustin menjawab hanya dengan deheman. Wajahnya pun semakin masam. “Maafin Al ya Kakek,” ucap Alger sembari mengecup pipi kanan dan kiri Trustin. Bibir Trustin yang awalnya mengerucut itu pun kini kembali melengkungkan senyum tipis saat bibir mungil milik cucunya mendarat di pipinya. “Kamu itu paling pandai bikin Kakek nggak marah lagi.” Alger mencium punggung tangan nenek dan kakeknya. ”Kalau begitu Al sama Mama mau berangakt dulu ya Nek, Kek.” Trustin dan Aleysia pun mengangguk lalu tersenyum, “Hati-hati di jalan,” ucap ke duanya secara bersamaan. *** Mobil yang dikendarai Gyzell mulai melaju menjauh dari rumahnya. Alger yang duduk di samping pun terlihat tenang. “Al, nanti pulangnya seperti biasa ya, tungguin Mama dulu,” ucap Gyzell memecah keheningan yang terjadi. “Siap Mama!” Gyzell kembali bersyukur mempunyai putra yang baik dan pengertian seperti Alger. Meskipun hidup bocah itu tidak didampingi sosok papa, tetapi Alger cukup mengerti bagaimana caranya melindungi mamanya. “Mah, Al minta sama Mama pokoknya nanti kalau sudah sampai tempat kerja Mama nggak boleh sedih lagi.” Alger menatap Gyzell penuh harap. “Mama janji tidak akan sedih lagi setelah sampai di sana,” ujar Gyzell dengan senyum yang mengembang di bibirnya. “Kalau Mama sedih di sana, Al nggak bisa menghibur Mama. tidak semua orang yang bekerja bersama dengan Mama, mereka tahu bagaimana harus menangkan Mama. Hanya Al yang tahu caranya bagaimana membuat hati Mama kembali bahagia,” ucap bocah itu dengan nada yang begitu bahagia. Gyzell terkekeh pelan sembari mengusap puncak kepala sang putra. “Kamu memang selalu mengerti bagaimana caranya untuk menenangkan Mama, sayang.” Lalu suasana kembali hening. Alger fokus pada jalanan yang dilalui, sedangkan Gyzell masih fokus mengendarai mobilnya agar tidak terjadi apa-apa di jalan nantinya. 20 menit lamanya Gyzell mengendarai mobil menuju sekolahan putranya, kini akhirnya dia telah sampai di gedung tempat di mana sang putra mengemban ilmu untuk masa depannya. “Mah, Al pamit dulu ya.” Alger mencium punggung tangan Gyzell lalu mengecup kedua pipi kanan dan kiri Gyzell secara bergantian. “Belajar yang rajin ya putra Mama yang tampan. Ingat, kalau ada yang mengejek Al, sebaiknya Al diam saja. Jangan di lawan ya, Nak. Menyelesaikan masalah dengan perdamaian itu sangat indah,” ujar Gyzell membuat Alger mengangguk paham. “Mama juga harus ingat pesan Al ya, jangan sedih lagi. Kalau Mama sedih, Al juga ikut sedih.” Gyzell tersenyum lalu mengangguk, “Iya, Mama nggak akan sedih lagi kok. Udah sana masuk ke kelas, sebentar lagi jam masuk sekolah loh.” Alger menepuk jidatnya sendiri, “Oh iya, Al lupa kalau udah ngobrol sama Mama.” Alger kembali melemparkan senyumnya, “Al masuk ke kelas dulu ya Mah. Alger sangat sayang sama Mama.” “Mama juga sangat sayang sama Al.” Lalu ke duanya berpelukan sebelum Alger benar-benar keluar dari dalam mobil Gyzell. Lampaian tangan Al menjadi salam perpisahan sementara untuk ke duanya. Gyzell selalu setia menunggu putranya sampai masuk ke dalam gerbang. Hatinya kembali berdenyut perih saat melihat bocah lelaki tidak berdosa itu selalu tersenyum seolah sedang membuktikan kepada dunia bahwa Alger memang baik-baik saja tanpa hadirnya sosok papa. “Mama berjanji akan selalu ada untuk Al dan akan selalu melindungi Al dari orang-orang yang ingin menjelekkan Al,” gumamnya pelan. “Aku yakin, aku pasti bisa menjadi sosok Mama sekaligus Papa untuk Al. Aku bisa membuktikan kepada semua orang, bahwa lelaki itu memang sudah tidak pantas lagi berada di tengah-tengah antara aku dan Al,” sambungnya. Kali ini wajahnya berubah marah karena mengingat sosok lelaki itu. Gyzell pun mulai melajukan mobilnya kembali membelah jalanan kota untuk menuju perusahaan berada. Hanya di sana dia bisa melupakan segala masalahnya. Bekerja untuk masa depan Alger agar jauh lebih baik darinya adalah ambisinya sejak Alger hadir di dalam rahimnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN