Malam hari telah tiba.
Gyzell terlihat sedang duduk di atas kasurnya dengan pandangan kosong menatap lurus ke depan. Lebih tepatnya menatap bingkai foto putranya sewaktu kecil yang terpasang di dinding kamarnya.
Senyum Alger saat kecil membuat hatinya kembali kuat. Namun, yang membuat Gyzell sedih adalah jawah Alger sangat mirip sekali dengan lelaki itu. Lelaki yang menorehkan luka luar biasa di dalam hatinya sampai menimbulkan trauma di dalam dirinya.
“Mama.”
Suara kecil itu membuat lamunan Gyzell terbayarkan. Wanita itu mengedarkan pandangannya lalu bibirnya membentuk sebuah lengkungan senyum saat dia melihat Alger sedang berdiri di sampingnya dengan membawa robot kesayangan di tangan kanannya.
“Al belum bobo?” tanya Gyzell dengan nada yang begitu lembut.
Alger menggeleng. Bocah lelaki itu perlahan merangkak naik ke atas kasur mamanya lalu duduk di pangkuannya.
“Al buat salah apa sama Mama?” tanyanya dengan pandangan mata yang sendu.
Gyzell mengerutkan keningnya saat mendengar pertanyaan polos yang terlontar dari bibir putranya.
“Al tidak buat salah apa-apa sama Mama,” jawab Gyzell sembari mengusap lembut kening Alger untuk menghilangkan peluh bocah itu.
“Tapi kenapa Mama sedih?” tanyanya lagi masih mempertahankan tatapan yang sama.
“Nak, Mama mohon sama kamu. Jangan menatap Mama seperti itu, tatapanmu itu selalu mengingatkan Mama dengan lelaki tidak tahu diri itu,” batin Gyzell merintih perih.
Tatapan sendu yang Alger miliki sangatlah mirip dengan lelaki di sama lalunya. Sungguh, terkadang itu membuat hati Gyzell kembali teriris perih.
Gyzell mendaratkan kecupan manis di kening putra semata wayangnya.
“Mama baik-baik saja, sayang. Tadi pertanyaan Mama belum Al jawab loh. Kenapa Al belum bobo?”
Al terlihat menghela napasnya kasar, “Al nggak bisa tidur Mah,” jawab Alger dengan kepala yang menunduk.
Gyzell semakin dibuat bingung dengan tingkah putranya. Tidak biasanya Alger bersikap seperti itu di depan Gyzell.
Jari telunjuk Gyzell mencoba untuk mengangkat dagu Alger agar wajah bocah itu kembali menatapnya.
“Ada masalah? Mau cerita sama Mama?”
Alger terdiam cukup lama. Di dalam akal bocah itu mencoba untuk bersikap baik-baik saja, tetapi di dalam hatinya berkata sebaliknya.
“Apa Al tidak akan pernah bisa bermain dengan Papa?”
Deg!
Pertanyaan itu sukses membuat Gyzell bungkam. Pertanyaan polos yang terlontar dari bibir bocah polo situ membuat Gyzell kembali merasakan perih dan nyeri di dalam hatinya.
Alger menatap mamanya dengan pandangan yang polos. Sesekali berkedip untuk menghilangkan air mata yang sudah menggenang di kedua matanya.
“Mah, Al berhak mendapatkan sosok Papa ‘kan?” tanyanya lagi. Kini nadanya semakin lirih seperti tenggorokannya sedang tercekik.
Gyzell mengusap air mata Alger yang sudah mengalir deras membasahi pipi bocah itu. ke dua sudut bibirnya dipaksa untuk tetap tersenyum. Meskipun berat, tetapi Gyzell harus tetap bertahan demi sang buah hati.
“Kenapa Al tiba-tiba nanya itu? Apa teman Al ada yang menanyakan hal itu?”
Alger menggeleng pelan.
“Tadi siang waktu Al lagi nungguin Mama, Al nggak sengaja liat anak seusia Al lagi main sama Papanya. Mereka terlihat sangat bahagia. Al juga mau kaya mereka, Mah. Apa keinginan Al terlalu tinggi sehingga Allah belum mengabulkannya?”
Gyzell memejamkan matanya erat, mencoba menghalau perasaanya yang sedang tertikam oleh ribuan baja. Sakit dan perih, kini Gyzell rasakan kembali. Akibat harapan sederhana putranya yang belum juga terwujud sejak awal bocah itu hadir di dalam rahimnya.
Gyzell mengambil udara sebanyak-banyaknya berharap dengan tindakannya itu bisa mengurangi rasa perih yang sedang dia rasakan saat ini.
“Percaya sama Mama, Allah pasti akan selalu mendengar do’a-do’a Al. Mungkin sekarang ini belum waktunya. Mama selalu berpesan sama Al, Al itu nggak boleh sampai putus berdoa ya.” Gyzell kembali memberikan kecupan kasih sayang, tetapi kali ini bukan di kening, melainkan di kedua pipi Alger.
Wajah Al yang tadinya sendu kini berubah menjadi binar kebahagiaan, “Berarti Al masih punya kesempatan panjang untuk merasakan apa yang mereka rasakan, Mah? Al akan punya Papa?” Tanya Alger dengan nada yang begitu antusias.
Gyzell pun terpaksa ikut mengangguk antusias demi ingin kembali melihat pancaran kebahagiaan di wajah putranya.
“Al akan mendapatkan itu semua. Sekarang Al kembali ke kamar Al ya. Udah malam, besok ‘kan harus sekolah.”
Al kembali mengangguk dengan wajah yang bahagia, “Iya Mah. Kalau begitu Al kembali ke kamar, Mama jangan begadang ya.” bocah itu memberikan kecupan ringan di kedua pipi Gyzell membuat wanita itu tersenyum.
“Siap komandan!” ucap Gyzell dengan posisi hormat. Lalu keduanya tertawa bersama.
Alger merangkak turun dari kasur Gyzell dan tidak lupa membawa robot kesayangannya ikut serta.
“Selamat malam Mama. Al sangat sayang dan cinta sama Mama,” ucap Alger sebelum bocah ikut benar-benar kembali ke kamarnya.
“Selamat malam sayang. Mama lebih sayang dan mencintai Al.”
Lalu bocah itu pun keluar dari kamar Gyzell.
Sepeninggal Alger, air mata Gyzell yang sedari tadi ditahannya pun luruh deras membasahi ke dua pipinya.
“Ya Allah, Mama macam apa aku ini sampai-sampai tidak bisa memberikan keinginan sederhana putraku sendiri,” gumamnya dengan suara yang lirih diiringi dengan derai air mata yang semakin deras membasahi ke dua pipinya.
Tok, tok, tok.
“Sayang, ini Mama,” ucap Aleysia dari luar.
“Masuk, Mah,” jawab Gyzell dari dalam kamarnya dengan suara yang parau.
Aleysia masuk ke dalam kamar putrinya. Wanita itu tidak kalah hancurnya seperti Gyzell. Melihat putri semata wayangnya kembali menangis pilu.
“Mama.” Gyzell menangis sejadinya di dalam dekapan Aleysia. Mencoba untuk menumpahkan rasa sesak di dalam d*danya.
“Menangis lah sayang. Mama selalu ada di dekat kamu untuk memeluk putri kecil mama,” ucap Alyesia dengan derai air mata.
“Kenapa kesalahanku bisa membuat Al semenderita ini, Mah? Kenapa tidak aku saja yang menerima karma ini? kenapa harus putraku? Dia tidak mengerti apa-apa. Bahkan aku tidak bisa menjadi Mama yang baik untuk Al. Perminataanya yang sangat sederhana pun tidak bisa aku kabulkan.”
Gyzell semakin meraung sembari memukuli dirinya sendiri.
“Sudah Nak, Mama semakin sedih melihat kondisi kamu kembali seperti dulu lagi,” ucap Aleysia mencoba untuk menghentikan aksi gila Gyzell.
“Gyzell mau Al bahagia, Mah. Gyzell mau Al seperti anak seusianya. Bermain dengan orang tua yang lengkap.”
“Takdir akan membawa kalian berdua dalam kebahagiaan. Mama selalu berdo’a agar kamu bisa mendapatkan lelaki yang baik di masa depan. Bisa menerima Al di kehidupannya.”
Gyzell mengurai pelukannya dan menatap Aleysia dengan pandangan sendu.
“Apa Zell bisa kembali membuka hati untuk pria lain, Mah?”
Aleysia mengangguk yakin, “Kamu pasti bisa. Tidak ada yang tidak mungkin terjadi jika itu sudah kehendak dari Allah, Nak.