YAMH 7

1359 Kata
“Baik, saya akan segera ke sana,” ucap Gyzell pada sang sekretaris yang menghubunginya melalui telepon. Gyzell langsung memasuki gedung kantornya dengan sedikit berlari kecil agar cepat sampai ke ruangan meatting. Wanita itu sedikit terlambat sampai ke kantor akibat macet yang melanda jalanan ibu kota. “Maafkan saya Nyonya Felix, sudah membuat anda menunggu,” ucap Gyzell kepada seorang wanita paruh baya berpakaian serba mahal yang sudah duduk di antara salah satu deretan kursi meatting. Yang Gyzell sapa nyonya Felix itu adalah Malia, seorang istri dari seorang pengusaha batu bara terkenal dan wanita itu juga merupakan seorang wanita karir. Gyzell menjabat tangan Maila dengan ramah. “Tidak apa Miss Gyzell, saya tahu bagaimana padatnya jadwal anda hari ini,” ucap Maila dengan ramah dan sopan. “Silahkan duduk!” perintah Gyzell dengan ramah. Senyum ramah yang terpancar dari wajah Gyzell membuat semua klien yang bekerja sama dengannya sangat lah nyaman dan merasa sangat dihargai. Selain cantik, sopan, dan ramah, Gyzell juga merupakan seorang wanita yang amanah dan tidak pernah bermain kotor kepada para kliennya. *** “Sebenarnya ada apa dengan putri kita?” tanya Trustin kepada istrinya yang sedang sibuk dengan berita acara di televisi. Aleysia menaruh remotnya di atas meja lalu beralih menatap suaminya dengan pancaran mata sedih. Tiba-tiba saja ingatan memilukan semalam terlintas di kepalanya sebelum dia menjelaskan semua kepada suaminya. “Putri kita ingat lelaki di masa lalunya,” Aleysia menghentikan penjelasannya sejenak untuk mengambil oksigen sebanyak-banyaknya guna menghilangkan rasa sesak di dalam sana. “Semua itu berawal dari Al yang kembali menanyakan prihal Papanya, karena dia tidak sengaja melihat teman sebayanya sedang bermain dengan sosok Papa di taman.” Air mata Aleysia sudah meluncur bebas membasahi ke dua pipinya membuat Trustin semakin ingin mencari keberadaan lelaki yang tidak bertanggung jawab itu. “Kali ini Papa tidak bisa diam, Mah,” ucap Trustin dengan marah. Wajahnya pun sudah memerah padam. Tangannya terkepal erat ingin sekali rasanya menghabisi lelaki yang sudah menorehkan luka di hati putrinya. Hati seorang papa mana yang tidak terpukul ketika melihat putrinya menderita di masa remajanya. Susah payah seorang papa mengukir senyum di wajah putri tersayangnya dan seorang laki-laki asing datang dan langsung menorehkan luka yang luar biasa sampai berbekas sampai saat ini. “Jangan gegabah, Pah. Kita pikirkan perasaan Zell dan Al, cucu kita.” Aleysia mencoba untuk meredam emosi suaminya yang hampir saja meledak itu. “Tapi ini sudah hampir tujuh tahun, Mah. Papa sudah tidak bisa lagi menunggu lama!” Trustin berbicara dengan nada naik. “Untuk apa Papa menunggu? Putri dan cucu kita sudah bahagia bersama kita sekarang!” Aleysia pun berbicara dengan nada naik pula. “Putri kita mengalami trauma yang luar biasa juga karena lelaki itu, Mah!” “Pah, sekarang putri kita sudah menjadi seseorang yang berbeda. Gyzell yang dulunya sangat-sangat pemalu, tetapi lihatlah! Sekarang dia menjadi seorang wanita karir yang sukses dan memiliki satu putra. Dia bisa bertahan tanpa laki-laki di sampingnya. Cukup kita sebagai orang tua memberikan dia semangat dan dukungan.” Trustin menjadi ingat kejadian beberapa tahun silam saat Gyzell baru saja ditinggalkan oleh kekasihnya yang tidak bertanggung jawab. Flashback on “Putri kita, Mah,” ucap Trsutin yang mengintip dari kaca jendela penghubung langsung kamar putrinya berada. Gyzell dengan penampilannya yang berantakan sedang duduk manis di atas brangkar rumah sakit dengan posisi membelakangi jendela di mana Trsutin dan Aleysia berada. “Apakah masih ada harapan untuk dia sembuh, Mah?” tanya Trsutin lagi. Aleysia yang mendengar pertanyaan suaminya pun hatinya kembali tersayat. Wanita itu juga sama hancurnya seperti Trustin. Melihat putri semata wayang mereka berada di dalam sana dengan keadaan yang tidak baik-baik saja tentu membuat ke duanya terluka. Setelah kehamilan itu diketahui oleh Gyzell sendiri, sejak itu pula Gyzell langsung mengurung diri di dalam kamar. Berhari-hari tidak mau keluar dan tidak mau makan. Sampai pada akhirnya dengan berat hati Trsutin dan Aleysia membawa Gyzell ke psikiater. Flashback off “Sudahlah, Pah. Jangan mengingat yang dulu-dulu lagi,” ucap Aleysia. Trustin pun kembali pada dunia nyata. Lalu dia mengangguk sembari melemparkan senyum tipis ke arah istrinya. *** Sementara itu di tempat Gyzell berada. Wanita itu sedang berbincang ringan dengan Maila. Mencoba belajar lebih jauh tentang dunia bisnis. “Jika Miss Gyzell tidak keberatan, saya ingin sekali mengundang anda makan siang bersama saya,” ucap Maila. “Dengan senang hati saya menerima tawaran anda Nyonya Felix.” Maila tersenyum lebar. Wanita itu sangat senang kali ini dia ada yang menemani makan siang. Ke duanya langsung keluar dari ruangan rapat. “Gyzell!” Suara teriakan dari arah belakang membuat langkah Gyzell dan Maila terhenti. Namun, di saat yang bersamaan pula, gawai milik Maila pun berdering mengakibatkan wanita itu harus izin untuk mengangkat teleponnya terlebih dahulu. “Kamu ngapain ada di sini?” tanya Gyzell menatap Nick terheran. “Aku ada pertemuan di sekitar sini dan tidak ada salahnya untuk singgah sebentar bukan?” Gyzell membuang napasnya jengah, “Mau apa ke sini?” Nick melihat jam yang bertengger di pergelangan tangannya. Di sana menunjukkan pukul 11 tepat. “Jam makan siang. Bagaimana kalau kita makan siang bersama,” tawarnya dengan tatapan yang penuh harap. “Maaf, aku sudah ada janji makan siang dengan klien. Maaf, sebaiknya kamu makan siang sendiri,” ucap Gyzell lembut, tetapi dengan tatapan mata yang mulai jengah. Nick menghela napasnya. Ada rasa kecewa yang luar biasa di dalam hatinya. Ditolak secara terang-terangan oleh wanita yang dia cintai itu sangat lah sakit. “Sejak kita berdua bertemu, aku dan kamu belum pernah makan bersama. Ayolah, ini hanya sebagai tanda pertemanan kita saja.” Gyzell menggeleng, “Aku harus konsisten dengan ucapanku. Aku ada janji bersama dengan klien hari ini.” “Apa kita bisa makan bersama di lain waktu?” tanya Nick masih dengan wajah penuh harap meski pun hatinya sedang dilanda kekecewaan. Gyzell terdiam sejenak, “Mungkin bisa,” jawabnya dengan senyum setengah terpaksa. Binar kebahagiaan itu terpancar jelas di wajah Nick. “Baiklah, kalau begitu aku akan pulang. Semoga harimu menyenangkan, Gyzell.” Lelaki itu melambaikan tangannya diiringi langkahnya yang semakin menjauh. Gyzell menghela napasnya lega. Malas sekali rasanya meladeni sikap Nick yang sangat pemaksa. “Miss Gyzell, maaf sudah membuatmu menunggu,” ucap Maila yang baru saja tiba sembari memasukkan kembali gawainya ke dalam tas. “Tidak apa nyonya Felix,” ucap Guzell dengan senyuman. “Miss Gyzell, saya harus mengatakan hal buruk ini kepada anda.” Wajah Maila berubah sedih. “Ada apa Nyonya Felix?” tanya Gyzell wajahnya mulai penasaran. “Apa sedang ada masalah?” “Sepertinya hari ini kita tidak bisa makan siang bersama. Tiba-tiba saja putraku menelepon dan memintaku untuk menyusul ke Australia,” jelasnya membuat Gyzell mengerti keadaanya. “Tidak apa Nyonya Felix. Lain kali kita bisa bertemu dan makan bersama. Putramu lebih membutuhkanmu.” “Jika Miss Gyzell mau berkenalan dengan putraku, maka dengan senang hati saya akan mengenalkannya.” Maila berucap diiringi dengan candaan. Gyzell membalas candaan Maila dengan senyuman tipis agar tetap terlihat baik-baik saja. “Terima kasih atas kepedulian anda Nyonya. Tapi, saya masih ingin fokus pada pekerjaan saya.” “Anda itu cantik, mendiri, dan berbakat. Suatu saat nanti pasti akan bertemu dengan sosok laki-laki yang setia dan bertanggung jawab.” Lagi-lagi Gyzell memberikan senyuman, “Aamiin.” Setelah berucap demikian, Gyzel langsung mengantarkan Maila ke depan lobby untuk memberikan salam perpisahan untuk sementara. “Terima kasih Miss Gyzell saya sangat senang sekali bekerja sama dengan anda.” Maila menempelkan pipinya di pipi kanan dan kiri Gyzell sebagai tanda perpisahan. “Saya juga sangat berterima kasih kepada anda karena sudah meluangkan waktu berharga and a untuk berkunjung ke perusahaan saya.” Maila terkekeh pelan, “Semoga kita bisa bertemu di lain waktu.” Mobil yang Maila naiki pun mulai melaju bebas menuju jalanan kota. Setelah mobil mewah itu sudah tidak nampak di depan mata Gyzell, barulah gadis itu masuk kembali ke dalam kantornya. Namun, langkahnya terhenti setelah mengingat akan sesuatu. “Astagfirullah, Al!” pekiknya sampai membuat semua karyawannya menatap heran. Gyzell pun berlari keluar menuju parkiran. Dia tidak penuli dengan sepatu haknya yang tinggi akan berakibat fatal jika salah melangkah sedikit saja. Gyzell langsung melajukan mobilnya menuju tempat di mana Alger bersekolah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN