Suasana pagi yang begitu indah, sedangkan Teguh harus pergi ke kantor sekarang. Anaknya malah masih tidur di ranjang sambil memeluk boneka. Mana mungkin dia tinggal dan biarkan nanti di sini untuk kerja.
Teguh tidak habis pikir kalau putri kesayangannya tumben tidur sampai jam segini. Biasanya Yumna bangun paling awal, namun baru kali ini si kecil tidur sampai jam setengah delapan.
Sang duda yang ditinggal oleh istrinya untuk selama-lamanya itu menerima sebuah telepon dan memilih menjauh dari tempat tidur. “Selamat pagi, Pak. Rapat bisa digelar hari ini?”
“Setelah makan siang aja, ya. Yumna belum bangun, kasihan kalau saya bangunin. Kamu kasih tau yang lain.”
“Baik, Pak. Kalau begitu saya kasih tau sama teman-teman yang lain.”
Teguh tidak berkata apa pun saat karyawannya memutuskan sambungan telepon dan mengumumkan rapat digelar setelah makan siang. Tahu kalau anak buahnya pasti sudah berkumpul di tempat rapat. Tapi Teguh masih tidak enak meninggalkan si kecil yang masih terlelap ini. Kalaupun nantinya Yumna bangun, ia harus memandikan dan juga mengikat rambut si kecil. Anaknya tidak suka kalau rambutnya terurai pagi-pagi. Anaknya paling tidak suka kalau tidak mandi juga. Jadi mau tidak mau dia mengurus anaknya dengan ikhlas sendirian.
Baru saja dia balik ke kamar, dia melihat anaknya sudah bangun dengan posisi duduk. “Kok nggak panggil Papa?”
“Una balu bangun, Pa.”
“Ikut ke kantor hari ini, ya.”
“Una mau di Daycale Papa. Nggak ikut ke kantol Papa.”
Teguh mengangguk dan mencium anaknya. “Ya udah kalau gitu mau mandi sekarang atau gimana?”
Yumna mengangguk dan mencoba membuka bajunya sendirian, tapi Teguh meletakkan ponselnya dan membuka bajunya Yumna dan bersiap untuk mandi. “Nanti kita pulang cepat, ya.”
“Papa nggak sibuk?”
“Nggak, Sayang. Papa mau jalan-jalan sama, Una. Udah lama nggak ke mall.”
Yuman tersenyum pagi itu, Teguh mengajak anaknya ke kamar mandi untuk dimandikan, dia yang tadinya sudah rapi tapi harus tetap bisa mengurus si kecil. “Yeeeee, nanti mandi bola juga kan, Pa?”
“Iya dong sayang.”
Teguh selesai memandikan Yumna, ia mengambil hair dryer untuk mengeringkan rambut si kecil. Yumna yang pandai sekali diatur, anaknya juga selalu menurut apa saja yang dikatakan Teguh. “Pa, Una pakai sepatu yang ungu, ya.”
“Nggak mau yang merah?”
“Nggak, Pa. Una mau yang ungu, telus baju Una yang putih. Pakai lok hitam sama tas Una yang ungu.”
Usai mengeringkan rambut Yumna, pria itu bangun dari tempat duduk untuk mengambil minyak kayu putih dan juga bedak untuk Yumna. Juga dia mengambil baju yang dimaksud oleh anaknya. Sepatu dan juga tas yang ingin digunakan oleh Yumna. “Nanti Una salapan di jalan, Pa.”
“Nanti sarapan di bawah. Papa juga belum sarapan.”
Teguh mengikat rambut Yumna setelah kering, ia juga tidak lupa tadi sempat memakai minyak rambut agar rambut anaknya tidak rontok. “Pakai parfum dulu terus kita turun.”
Yumna turun dari tempat tidur ketika Teguh menaruh minyak kayu putih dan bedak yang dibiarkan di rumah. Berbeda jika bedak dan minyak kayu putih yang selalu dibawa ke tempat penitipan Yumna. Ia sudah menyiapkan juga buku gambar dan krayon untuk Yumna. Baju ganti yang selalu dia ingat untuk dimasukkan juga. “Una, nanti kalau udah masuk sekolah Papa yang anter sama jemput, ya. Biar Papa bisa temenin Una sampai besar.”
Selesai memasang sepatu sendiri, Teguh berjongkok membetulkan perekat sepatu anaknya. Lalu Yumna memasang tasnya dan menghampiri foto Tari di atas meja. “Ma, Una belangkat sama Papa.”
Dia tersenyum melihat si kecil berpamitan dan mencium foto Tari. Teguh menggendong anaknya usah berpamitan pada istrinya. “Daaah sayang. Aku berangkat sama Yumna, ya.”
Keluar dari kamar itu menuju ke meja makan. Sarapan sudah siap, Teguh melepaskan tas anaknya, ditaruhnya di atas meja. “Bi, saya dibuatkan bekal nggak?”
“Iya, Bapak kan minta semalam.”
“Iya, Bi. Nanti malam nggak usah masak, ya. Saya mau keluar sama Una.”
“Iya, Pak. Kalau begitu saya permisi dulu, mau cuci pakaian.”
Teguh mengangguk dan membiarkan asisten pergi. Sedangkan dia menyuapi Yumna sarapan juga. “Papa nanti jemput jam belapa?”
“Agak cepet sayang. Setelah Papa rapat, kalau nggak salah jam tiga gitu, biar bisa tidur juga sebentar. Terus kita perginya malam deh. Biar Una puas main. Besok Papa nggak kerja.”
“Kenapa nggak kelja?”
“Iya Papa mau bikin akta kelahiran Una, kan. Soalnya yang lama itu salah nama.”
“Una nggak tau, Pa. Una belum besal.”
Tidak semua hal bisa dimengerti oleh anak seusia Yumna, jadi Teguh memilih mengakhiri pembicaraan. Usai sarapan mereka langsung pergi ke tempat penitipan Yumna sekaligus Teguh membayar uang bulanan untuk Yumna selama dititpkan di sana.
Sampai di sana, Yumna datang terlambat sekali.
Teguh menggendong anaknya ke ruang tata usaha untuk membayar bulanannya Yumna. “Bunda Titin ke mana, ya?”
“Hari ini Bunda nggak masuk, Pak. Beliau sedang pergi umroh sama suaminya dan anaknya.”
Teguh mengangguk dan masih membawa Yumna. “Yang jaga sekarang siapa?”
“Hessa yang punya tanggung jawab untuk Yumna, Pak.”
“Apa nggak bisa gitu cari pengasuh yang lebih baik? Soalnya saya kurang nyaman.”
“Bapak kurang nyaman sama pengasuh, Yumna?”
“Iya, nggak dekat. Dia jarang ngobrol, kalau saya jemput Yumna ya paling dia kasih aja. Nggak ngomong apa-apa. Paling ngomong sama Una doang. Kalau pengasuh yang lain pasti cerita apa yang dilakukan Una di sini. Pokoknya kurang komunikasi.”
“Anaknya memang begitu, Pak. Jarang ngobrol, tapi dekat kok sama anak-anak. Una juga suka kok dijaga sama dia. Maklum sih sebenarnya Pak. Soalnya dia anak yatim piatu, orang tuanya meninggal karena kecelakaan, adiknya juga. Dia di sini diterima sama Bunda karena waktu itu kerja jadi pelayan di restoran. Nanti malam pun dia kerja, sebenarnya Bunda mau angkat dia jadi asisten Bunda. Tapi Hessa kayak nggak mau dikontrak gitu untuk satu pekerjaan. Dia kos soalnya, dia harus bayar cicilan motor juga. Jadi dia kerja keras.”
“Berarti dia masih muda, ya? Nggak ada pengalaman apa-apa dong di sini?”
“Pengalaman, Pak. Sudah lama dia di sini, tapi dulu dia di bagian dapur. Dia juru masak untuk anak-anak, terus dipindah. Dia sekarang dikasih awasi Yumna sama Bunda.”
Teguh pasrah kalau memang begitu keputusannya. “Apa dia nggak pernah bentak, Yumna?”
“Nggak, Pak. Dia kehilangan adiknya, jadi dia tahu kayak gimana kasih sayang itu untuk anak. Dia paling dekat sama Yumna sih di antara anak-anak yang lain. Makanya Bunda tuh ngerasa cocok aja kalau Una dijaga sama dia. Maaf nih ya, Pak. Karena Una sama Hessa itu kisahnya mirip. Jadi Bunda nebus rindu Hessa ke adiknya.”
Pria itu mengangguk. “Selama dia baik, saya persilakan. Tapi kalau dia nggak bisa jaga Una, saya minta diganti aja, ya.”
“Nggak, Pa. Una suka sama Kak Hessa. Kak Hessa itu baik, seling peluk, Una. Una suka kalau bobok siang dipeluk dicelitain.”
Ia menoleh ke arah Yumna. “Tuh Pak, Yumna aja nggak mau digantiin pengasuhnya.”
“Ya terserah aja deh kalau begitu.”