Mama Di Surga

1080 Kata
“Ma, Una mau ke tempat Mama. Una bawa bulung bial bisa kilim sulat ke Mama.” Teguh yang baru saja selesai bersiap-siap melihat ke arah anaknya yang berdiri di depan foto Tari. “Ada apa, Nak?” Yumna melipat sebuah origami berbentuk burung. Lalu di taruhnya di dekat foto sambil tersenyum. Setiap hari Yumna selalu membersihkan foto itu sendiri tanpa diminta teguh. “Pa.” Yumna naik ke atas ranjang saat Teguh mengganti bantal untuk anaknya dengan yang lebih empuk. Seketika sang duda menoleh melihat putrinya dengan ramut yang terurai tapi tersisir rapi naik ke atas ranjang dengan membawa satu origami. “Kenapa sayang?” “Kata Kak Hessa kalau olang meninggal melahilkan nanti masuk sulga. Mama ada di sulga dong?” Pertanyaan si kecil semakin hari semakin pintar, jadi Teguh harus mencari bahasa yang baik juga menyampaikan apa yang dia ketahui. Apalagi si kecil sekarang bertanya mengenai Tari yang meninggal waktu itu pasca melahirkan. Air mata berlinang kesedihan yang tidak bisa digambarkan dengan apa pun lagi waktu itu. Rasa sedih yang semakin menjadi waktu Tari tidak ada di sampingnya untuk membantu mengurus si kecil. Banyak hal yang tidak bisa dijelaskna oleh Teguh mengenai kepergian Tari, tapi dia tidak ingin menceritakan secara detail tentang kejadian waktu itu. “Papa.” “Bentar sayang. Papa kan masih ganti bantalnya, Yumna.” “Bantal Una kenapa diganti?” si kecil menarik bonekanya lalu berbaring di atas bantal barunya. Hari-hari semakin sulit saat dia harus bisa menjelaskan semua yang dirasakan oleh Teguh pada Tari. “Mama ada di surga, sama bidadari di sana. Kalau Una doa, pasti Mama senyum di sana. Makanya Una nggak boleh nakal. Kalau Una nakal, Mama pasti sedih.” “Una nggak nakal, Pa. Una nggak pukulin teman, Una.” Boneka stitch menjadi teman sehari-harinya Yumna sekarang. Kadang Yumna bicara dengan bonekanya sendiri untuk menyampaikan salam rindunya pada Tari. “Kenapa bobok? Kan masih pagi?” “Nggak ada, Pa. Una nggak bobok kok. Mau dengelin Papa celita.” “Ya udah Papa gendong, yuk. Kita cerita di balkon sambil temenin Papa ngopi.” Yumna bangun tapi tidak melepaskan bonekanya, ia memeluknya terus menerus saat itu. Yumna juga setia sekali dengan bonekanya. Tadi sebelum mandi, asisten sudah mengantarkan sarapan mereka berdua karena setiap hari minggu Yumna meminta sarapan di kamar berdua dengan teguh. Teguh juga siap menemani si kecil di sana. Ia membawa kopi itu ke balkon, di sana ada tempat bersantai tepat di kamar mereka berdua. Teguh masih ingin tidur berdua dengan Yumna, menghabiskan malam dengan bercerita. Meski kadang Yumna yang rewel dan ingin mencari mamanya. Yang namanya anak kecil, mau dibohongi pun akan sulit untuk dia terima. Seperti Yumna misalnya, mana mungkin percaya begitu saja kalau Tari telah tiada. Atau kadang si kecil tidak akan pernah mau mengerti dengan kepergian Tari. Baginya Tari masih ada, dan kadang Teguh juga sering merasakan itu. Dia juga merasa kalau Tari masih ada. Hal itu sering sekali dia rasakan saat sedang sendiri maupun berdua dengan si kecil. Di luar, dia mendudukkan Yumna di kursi santai yang ada di luar. Dengan pemandangan yang cukup indah, kawasan tempat tinggalnya tidak banyak polusi yang masuk. Tenang dan juga sangat indah, Yumna betah ada di atas sini. Teguh memotong roti sambil menceritakan kisah itu. “Mama pasti di sana udah bahagia. Mama pengen juga ketemu sama Una. Tapi Tuhan lebih sayang sama, Mama.” “Una lebih sayang sama Mama.” “Tuhan juga sayang Mama, makanya Mama pergi lebih dulu. Itu artinya Tuhan sayang sama, Mama.” “Tapi kenapa Una dibuat sedih?” Jangankan kamu Yumna. Papa juga sedih ditinggal sama Mama. Tapi Papa nggak bisa berbuat banyak. Teguh membatin saat si kecil bertanya demikian. “Iya karena Tuhan ini punya segalanya. Tuhan yang menciptakan alam semesta, ciptakan matahari, siang sama malam juga diciptain. Terus ciptain semua manusia, ciptain apa yang ada di bumi ini.” “Kalau gedung, kan dibuat sama manusia, Pa. Papa kan seling buat gedung.” Lihat betapa pintarnya dia bertanya? Teguh sendiri malah tersenyum kepada anaknya. “Meskipun manusia itu pintar dan bisa buat gedung, tetap aja semua itu adalah rencana Tuhan. Apa pun itu sayang. Semisal Papa bikin gedung, itu artinya Tuhan juga ngasih kelebihan ke Papa biar bisa bikin gedung. Kalau Una kan bisa gambar, itu juga dikehendaki Tuhan. Nah contoh, Una kan cadel. Una nggak bisa sebut R itu artinya Tuhan belum kehendaki Una biar bisa bilang R.” Yumna mengangguk sambil menyantap sarapannya. Si kecil tersenyum saat itu. “Belalti Tuhan belum kehendaki Una ketemu, Mama. Iya kan, Pa?” “Iya, biar Una tetap dapat kasih sayang dari Papa. Makanya Una belum dipertemukan sama Mama. Una kan sering ketemu Mama di mimpi. Itu artinya Tuhan kehendaki Una ketemu walaupun cuman mimpi.” “Oh gitu, Pa. Kalau Una nanti doa, telus Tuhan sampaikan doa Una ke Mama?” “Pasti dong. Mama juga dengar di sana. Mama pasti senang kalau Una sering doa.” Yumna meletakkan bonekanya di atas meja lalu mengangkat tangannya di depan dad@. “Aamiin.” “Lho kok Aamiin langsung. Nggak doain emang?” “Udah.” “Emang doa apa buat Mama?” “Una doa bial Una sakit. Soalnya kalau Una sakit, Mama selalu peluk Una. Kalau Una nggak sakit, Mama nggak ada. Bial Una nggak usah sembuh.” Teguh menggeleng karena ucapan anaknya barusan. “Mana boleh doa sakit sayang? Nggak baik lho. Nanti kalau dikabulkan gimana? Una nggak boleh nyalahin Tuhan kalau doa Una nanti dikabulkan. Coba Una doain Mama di surga yang baik. Terus selalu bahagia di sana. Dan bilang sama Mama Una nggak nakal. Jangan minta sakit.” “Nggak boleh ya, Pa?” “Ya nggak boleh. Mama dulu sakit tahu.” Yumna menggeleng cepat. “Tuhan, Una nggak jadi doa sakit. Una nggak mau sakit. Nanti Mama nggak datang kalau Una doa sakit. Bial Mama di sana senang. Bisa liat Una main tiap hali. Titip salam buat Mama, Una sayang sama Mama. Una nggak bakalan nakal. Una bakalan jadi anak baik buat Papa.” Sembari memotong roti lagi dan menyeruput kopinya. Teguh tersenyum pada si kecil yang berdoa dengan baik kali ini. “Aamiin.” Teguh yang menyahut dan anaknya tersenyum lalu menutup doa dan membuka mulutnya minta disuapi lagi. “Cantik dan pintar anak Papa, ya.” “Iya dong, kan anak Mama Tali yang cantiiiiiiiiiiik.” Kedua tangan Yumna terbuka lebar ketika menyebut kata cantik barusan. Teguh hanya bisa tersenyum melihat tingkah lucu si kecil yang teramat menggemaskan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN