Malam yang panjang disinari cahaya rembulan yang begitu terang. Nampak cantik dan menyenangkan. Sebuah desa yang berada di area pedalaman hutan dan memiliki sekelompok penduduk yang sangat ramah dan hidup rukun akan sesama. Desa yang asri, dan menyenangkan.
Malam itu, di bawah cahaya rembulan yang terang mereka mengadakan sebuah pesta bersama untuk merayakan hari besar yang terjadi di desa mereka. Hari besar itu adalah hari di mana penduduk desa harus melakukan ritual persembahan untuk menolak bala di sungai Jule, sebuah sungai besar yang konon katanya memiliki penunggu yang senang mencari tumbal, tidak perduli lelaki atau pun wanita.
Sungai tersebut terletak di ujung desa mereka. Setiap tahun mereka harus mempersembahkan banyak daging segar sebagai pengganti tumbal tersebut untuk menjaga desa mereka tetap aman dari air bah yang tiba-tiba datang menyerang dan menghancurkan desa mereka.
Karena itu, bagaimana pun caranya mereka harus berhasil mendapatkan perburuan tersebut sebelum tenggat waktu yang diberikan. Dan malam ini nampaknya mereka akan selamat dari kemarahan penunggu sungai karena telah berhasil mendapatkan daging yang berlimpah.
Saking melimpahnya daging yang berhasil mereka dapatkan hari itu, mereka bahkan masih bisa menyimpan persediaan makanan dan membuat pesta kecil-kecilan untuk merayakan keberhasilan perburuan besar yang telah mereka lakukan hari ini.
Dengan perasaan bahagia mereka saling bersulang dan mengucap syukur akan kelimpahan rezeki yang diberikan oleh dewa mereka, yaitu dewa Kanny. Semua saling melempar canda tawa, menari, dan menyanyi bersama dengan wajah bahagia yang tersirat di masing-masing wajah mereka.
Api unggun telah dinyalakan di tengah pesta, dan mereka saling melingkari api tersebut sekaligus menghangatkan diri dalam dinginnya cuaca malam ini. Hingga kemudian semua senyuman dan tawa bahagia di masing-masing wajah mereka itu, tiba-tiba berubah menjadi jeritan ketakutan dan tangis yang menyayat hati dalam sekejab saja.
Pesta syukuran yang mereka adakan mendadak berubah begitu saja menjadi pesta darah dari seekor monster yang tidak pernah mereka duga kehadirannya sebelum ini. Semua penduduk desa langsung lari tunggang langgang menyelamatkan diri.
Namun monster yang begitu haus akan darah segar dan daging tersebut tidak membiarkan satu pun dari mereka berhasil kabur dari mata tajam nan laparnya. Dalam beberapa saat kemudian genangan darah-darah segar dari penduduk desa sudah berceceran di mana-mana. Daging-daging dalam tubuh mereka sudah terkoyak dengan brutal dan sadisnya, dan beberapa dari tubuh tidak bernyawa tersebut bahkan sudah menyisakan tulang belulang saja.
Semua warga di desa itu telah berhasil dibunuhnya. Dalam ingatan monster itu, dirinya melirik ke arah rumah terakhir yang belum dijamahnya. Dibukanya pintu rumah yang berupa gubuk sederhana tersebut. Menampilkan seorang wanita yang nampak meringkuk ketakutan di dalam sela-sela dapur dan rak penyimpanan.
Wanita tersebut berusaha keras menahan napas dan menahan suaranya agar tidak keluar ketika monster tersebut datang. Namun semua itu hanyalah sebuah hal yang sia-sia karena bagaimana pun juga monster tersebut tetap akan bisa menemukannya lewat bau tubuhnya.
Wanita tersebut hanya bisa pasrah ketika monster itu sudah berdiri di depannya. Monster tersebut memerhatikan dalam diam wanita yang sudah memucat di depannya itu.
“Hiks hiks tolong, tolong ampuni aku!” Isak tangis wanita itu meminta belas kasih darinya. Namun dirinya tidak merasakan perasaan bersalah atau pun kasihan melihat tangis wanita tersebut. Yang dia rasakan hanyalah perasaan lapar, lapar, dan lapar saja.
Dan dengan satu cakaran tajamnya, darah dari wanita itu langsung keluar dan muncrat memenuhi area tersebut. Dalam ingatannya, wanita terakhir yang dimakannya itu sempat membisikkan kata kepadanya. Sebuah kata yang nampaknya berhasil membuat dirinya kehilangan akal pikiran dalam waktu sekejab saja.
“Leon.”
Leon langsung membuka paksa kedua matanya yang baru saja terpejam rapat. Dirinya memandang liar ke sekitar dengan napas yang tersengal-sengal karena sebuah mimpi yang baru saja dialaminya. Indera pendengarannya yang tajam seakan masih bisa merasakan bisikan yang lebih tepat disebut rintihan, yang memanggil namanya. Untuk sejenak, pikirannya tidak bisa fokus akan sekitar ketika ingatannya masih tertuju pada kejadian mengerikan itu.
Kejadian yang sudah terjadi beratus-ratus tahun yang lalu. Kejadian yang telah menghancurkan hidupnya hingga menjadi dirinya yang sekarang. Leon menghela napas lelah. Tubuh harimaunya yang sempat tersentak kaget dan menegakkan setengah tubuhnya tadi, kini mulai merebahkan diri kembali.
Leon mencoba untuk menenangkan dirinya sekali lagi. Pria harimau itu terdiam di tempat dan merenung dalam kesendiriannya. Pria harimau itu masih memikirkan mimpi yang baru saja datang dalam tidur pendeknya barusan.
Sudah cukup lama dirinya tidak memimpikan hal itu lagi, dan sekarang dirinya memimpikannya begitu saja. Seolah Dewa memang sengaja bermaksud untuk mengingatkan kesalahan yang telah dilakukannya lagi pada masa itu.
Dalam renungannya, samar-samar Leon bisa mendengar suara petir dan hujan yang saling bersahutan di luar sana. Perasaan gelisah yang dirasakannya ini membuat Leon tidak bisa menjemput alam mimpinya lagi. Sekali lagi Leon menghela napas dengan berat. Pria harimau itu masih mencoba menenangkan diri.
Hingga kemudian dirinya merasakan gerakan-gerakan halus yang menempel pada punggung harimaunya. Leon tersentak kaget. Pria harimau itu langsung menoleh ke samping dan lalu melihat seorang bayi telanjang yang tertidur lelap dengan sibuk mendusel-dusel ke arah tubuhnya, mencari sebuah kehangatan.
Jiwa manusia Leon tertegun menatap bayi menggemaskan dengan bibir kecil yang terbuka lebar itu. Air liurnya sudah menetes membasahi bibir sekitarnya, dan nampak tidak perduli jika air liur itu akan mengotori sofa kesayangan Leon, seekor harimau besar yang tengah dipeluknya saat ini.
Sekali lagi Leon menghela napas lelah. Leon mencoba mengabaikan makhluk kecil itu dan mulai kembali merebahkan kepalanya dengan nyaman. Pria harimau itu memejamkan kedua mata tajamnya kembali, dan berusaha menjemput alam mimpinya sekali lagi. Hari ini, Leon hanya ingin beristirahat dengan tenang.
Leon masih memejamkan kedua matanya dengan rapat ketika dirinya samar-samar merasakan gesekan halus yang mengusik tidur malamnya sekali lagi. Pria harimau itu merasa malas untuk membuka kedua matanya, dan mencoba untuk tidak mengindahkan gesekan yang sempat mengusik tidur nyenyaknya.
Perasaan kenyang setelah menghabiskan puluhan kilo daging dalam sehari itu membuat Leon merasa malas untuk menggerakkan diri walau sejenak. Sekali lagi Leon kembali mencoba menggapai alam mimpinya. Namun usikan pada tubuh belakangnya itu semakin membuat Leon mengernyitkan kedua alisnya.
Terlebih ketika kemudian pria harimau itu merasakan sesuatu yang kecil dan cukup memiliki beban berat kini mulai menindih sekitar perutnya. Leon akhirnya dengan terpaksa membuka kedua matanya yang masih terasa begitu berat.
Hal yang nampak dalam mata tajamnya saat ini adalah keberadaan balita kecil itu yang kini dengan luar biasanya berani menaiki tubuh harimaunya. Leon terpaku menatap betapa beraninya makhluk kecil itu terhadapnya.
“Kyah .. ung ... ba ba ba!” celoteh makhluk kecil itu dengan riang di atas tubuh harimau Leon. Kedua tangan kecilnya sibuk mengusap-usap dan menggesekkan telapak tangan kecilnya pada bulu-bulu tebal Leon, dan sesekali menepuk-nepuk tubuh Leon dengan ringan, seakan memang sengaja ingin membangunkan pria harimau itu.
“Mam ... mam ..!” celoteh makhluk kecil itu sekali lagi. Satu tangan kecilnya lalu dikulumnya dalam bibir yang sudah basah akan air liurnya. Melihat apa yang tengah dilakukan balita kecil itu, Leon mau tidak mau harus menyadari bahwa balita tersebut tengah lapar saat ini.