02-INJURED

1144 Kata
Happy Reading  Di sebuah ruangan mewah, sedang terjadi diskusi serius orang-orang penting dari Darken Rufs. Beberapa pendapat terlontar dan ditolak juga dipertimbangkan. Orang-orang cerdas dengan perhitungan matang itu menyusun rencana dengan sangat teliti. 17 kursi di sana terisi penuh. Ketika orang paling tua di sana berdiri dan merapikan jasnya setelah diskusi ditutup, yang lain ikut berdiri mempersilakan ia meninggalkan ruangan ini kecuali satu orang yang tampak tak peduli di salah satu kursi nyamannya. Si ketua menatapnya tajam sekaligus jengah kemudian keluar dari ruangan itu dengan dua pengawalnya. Lalu suasana menjadi sangat berisik karena orang-orang itu kembali membicarakan masalah yang baru saja dibahas, secara pribadi dengan kanan kirinya. Pria yang tampak tak acuh itu menutup matanya rapat sembari menyesap wine di gelasnya. Satu tepukan mendarat di bahunya tapi ia tak merespons apa pun. "Memikirkan tugasmu?” Ia hanya diam tak berminat. "Aku tahu itu bukan perkara mudah. Tapi pikirkan keuntungannya, kau bisa menjadi satu-satunya orang yang ditatap oleh Tuan Kris sebagai penerus." Pria itu tersenyum sinis. 'Bahkan sejak awal hanya aku yang berhak atas Darken Rufs', batinnya percaya diri. "Kau tampak lelah, lebih baik segera kembali ke apartemenmu sebelum mabuk." Pria bermata sipit itu masih berdiri di sebelahnya, tak peduli jika sedari tadi ia seperti bicara sendiri. Ia cukup terbiasa dengan hal ini. "Biarkan aku sendiri," ucap pria itu tak ambil pusing. Rafe, temannya yang berdarah Tionghoa itu menggeleng pasrah. "Baiklah, aku duluan," ucap Rafe dan berlalu. Pria itu sama sekali tak merespons. Kedua kakinya naik ke atas meja dan tentu saja itu mendapat tatapan tajam dari yang lain. Beberapa dari mereka memilih pergi karena muak melihat tingkahnya yang seperti bos. "Kapan kita akan menyerang Sacco?" Sebuah suara memaksa mata pria itu terbuka. Beberapa orang tampak menunggu jawaban karena kemarin ketua menunjuknya sebagai pemimpin penyerangan kali ini. "Besok," ucapnya singkat. Justin Nicholas, seorang anggota mafia yang sudah sangat terkenal dengan kekejamannya. "Besok? Aku akan mencari tahu kegiatan mereka." Salah seorang pemuda menawarkan diri. Justin tersenyum sinis. "Mereka akan datang ke Sirkuit Beng besok malam. Tak perlu merepotkan diri." Justin berucap dengan nada remeh yang amat kentara lalu menurunkan kakinya. "Cukup pastikan kalian dalam keadaan siap." Justin berdiri lalu berjalan angkuh keluar dari ruangan luas itu. Banyak dari mereka yang mengumpati tingkah congkaknya tapi ada juga yang kagum karena kecepatan informasi yang ia peroleh. Dalam 1 waktu, Justin dapat menyelesaikan beberapa pekerjaan sulit sekaligus. *** Berkali-kali Nay mengirim pesan pada Delon agar tak menjemputnya dan ia akan pulang sendiri tapi pesannya tak kunjung dibalas. Nay yakin Delon sudah ada di perjalanan menuju kampus. Hari ini Nay ada kelas sampai jam 6 sore. Gadis itu menggigit ujung ponselnya gemas. "Huh, keras kepala," umpatnya pelan. Nay berjalan ke gerbang kampus agar lebih mudah mereka bertemu. Ponselnya bergetar, ada panggilan dari Delon. Nay pun menerima telepon dari Delon. "Halo, kamu di mana?” "Sayang, maaf aku ada urusan mendadak. Kamu hati-hati pulangnya, ya." "Ah, iya. Kamu juga hati-hati. Kurangi kecepatan, Delon." "Hm. Kututup." Nay mendesah pelan dan berjalan menuju halte bus. Hari semakin petang dan sepi karena temannya banyak yang sudah pulang. Kelas malam pun belum dimulai. Hanya suara beberapa anggota cheerleaders yang menemani kesunyiannya. Ponselnya kembali berdering di dalam saku. Nay segera mengangkatnya, "Halo." "Apa Anda mengenal pemilik ponsel ini?" "Nadia teman sekelasku. Ini siapa?" "Saya seorang bartender. Teman Anda mabuk berat dan tidak sadarkan diri. Bisakah Anda menjemputnya?" "Ah, anak itu. Baiklah, tolong jaga teman saya sebentar. Saya akan segera ke sana. Tolong kirimkan alamatnya.” "Baik, Nona." "Terima kasih." Nay memutuskan sambungan telepon dengan jengkel. Ia sudah tahu kebiasaan temannya yang satu itu. Setiap pergi ke bar, Nadia memang selalu meneleponnya terlebih dahulu hingga Nay sering kali menjadi penjemputnya karena ada di daftar panggilan terakhir. Seberapa kasar pun Nay memarahi Nadia, gadis itu hanya akan meminta maaf dengan memelas lalu beberapa hari kemudian mengulanginya. "Oh ya ampun, Nad, kenapa selalu pergi ke tempat seperti itu, sih?" gerutunya jengkel. Nay menghentikan taksi yang lewat agar lebih cepat lalu besok ia akan meminta uang ganti pada Nadia. *** Sepanjang perjalanan mengantar Nadia pulang tadi, Nay terus mengomeli temannya walau ia tahu Nadia tak akan menganggap apa yang ia katakan berarti. Nadia hanya sering mengumpati mantan kekasihnya yang tiba-tiba saja memutuskannya dan memilih wanita lain. Gadis itu tampak kacau tadi dan Nay sama sekali tak mengurangi kecerewetannya pada Nadia. "Pak, tolong berhenti di minimarket depan, ya?” "Baik, Nona." Nay akan mengambil beberapa batang cokelat hari ini dan itu akan ia masukkan dalam daftar tagihannya besok pada Nadia. Berbagai cara sudah Nay lakukan untuk membuat Nadia berhenti berulah, tapi nihil. Seberapa pun ganti rugi yang Nay inginkan Nadia akan dengan enteng memberikannya. Bahkan Nay sering mengancam tidak akan peduli lagi pada Nadia dan tidak mau masuk ke tempat-tempat seperti itu. Tapi sekali lagi Nadia tidak takut karena ia tahu benar sifat Nay. Hari ini ia benar-benar lelah karena pulang petang dari kampus lalu harus menjemput Nadia dulu hingga pukul 10 malam karena jarak kampus ke bar lalu ke apartemen Nadia sangatlah jauh dan beberapa kali terjebak kemacetan. Belum lagi perjalanannya pulang. Nay rasanya ingin segera mandi lalu tidur di kasurnya dengan nyaman. Setelah membayar beberapa bungkus roti dan 2 batang cokelat, Nay segera kembali ke taksi yang akan membawanya pulang. Belum sempat taksinya melaju, tiba-tiba dari arah lain seorang pria ikut masuk ke dalam taksinya. "Oh, ya ampun!" pekiknya kaget. "Maaf, tapi taksi ini-" "Jalan." Nay dan sopir taksi terkejut saat si pria dengan baju serba hitam itu menodongkan pistol ke arah sopir. Nay sampai menutup mulutnya karena takut. "Ja-jalan saja, Pak," ucap Nay terbata. "Jangan macam-macam," ancamnya ketika Nay mengambil ponselnya diam-diam. Nay kembali meletakkan ponselnya. "Tu-tuan, maaf. Bisakah Anda ... me-menurunkan benda itu? I-itu berbahaya." Nay mencoba membujuk. Pria itu menoleh dan menatapnya dengan tajam. Nay langsung menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya karena takut. "Ki-kita ke mana?" tanya sopir taksi. Pria itu melirik Nay yang masih menutupi wajahnya. "Di mana rumahmu?" "Huh? Ru-rumahku?" Setelah membayar taksi yang mengantarnya pulang, Nay menoleh menatap pria yang sejak tadi membuatnya ngeri. Kali ini pria itu menurunkan topinya agar wajahnya tak terlihat. Pistolnya sudah ia masukkan di balik jaket hitamnya. "Ma-maaf. Tidakkah Anda akan ... pergi?" Pria itu mengamati rumah Nay sebentar dan berbalik untuk meninggalkan rumah Nay. "Tunggu!" Nay berlari kecil hingga berdiri di belakangnya yang sekarang sedang berhenti, menunggu apa yang akan Nay lakukan. "Jaketmu berdarah dan robek." Nay menunjuk lengan pria itu dengan jarak yang cukup jauh. "Lenganmu terluka." Pria itu tampak mendengus tak suka kemudian pergi begitu saja dari sana. Nay mengembuskan napasnya jengkel lalu segera masuk ke dalam rumah. "Aku ... merasa pernah melihatnya," gumam Nay sembari melepaskan sepatunya di sofa. Ia menatap dinding rumahnya dengan ekspresi berpikir. "Benar, aku pernah melihatnya. Tapi kapan dan di mana? Atau kebetulan saja?" "Ah, entahlah." Nay menggelengkan kepalanya dan segera membuka kantung plastik berisi cokelat. Chapter 2 menyapa. Jangan lupa tinggalkan vote dan komen jika suka man teman
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN