03-KRIS

1322 Kata
Happy Reading  “Kau terluka lagi?" suara berat dari belakangnya membuatnya bersandar malas di sofa setelah mengobati lengannya yang tergores. Orang yang tadi bertanya kini duduk di sebelah Justin. "Aku akan mengganti password-nya, Rafe," ucap Justin melirik pintu apartemennya. "Kau semakin seenaknya keluar masuk apartemenku," sindirnya sinis. "Kau tak akan melakukannya. Aku terlalu mengenal dirimu," ujar Rafe enteng. Justin memejamkan matanya tak peduli. "Kemarin pahamu yang terluka, sekarang lenganmu. Kau kurang fokus akhir-akhir ini." Justin hanya diam dengan kerutan halus di dahinya. "Ada apa? Kau terlihat gusar." Justin menyentuh d**a kirinya. "Ya ya ya! Kau terluka parah?" Rafe mendekati Justin dengan khawatir. Takut organ vital Justin juga terluka karena Justin memegangi dadanya dengan serius. Justin membuka matanya untuk menatap Rafe. "Jantungku berdetak kencang." "Kau terkena serangan jantung?" Pandangan Justin menjadi kosong. Menerawang jauh entah ke mana. "Tidak, hanya setiap aku memikirkannya jantungku berdegup kencang. Dan ketika aku bertemu dengannya, jantungku semakin berdebar saja. Dia sangat berbahaya.” "Seorang wanita?" "Hm.” "Kau sedang jatuh cinta?" "Tidak mungkin.” "Lalu?” "Aku sedang terancam. Setiap aku terancam jantungku bekerja lebih cepat.” "Justin, ayolah. Kau terlalu-" "Aku tak tahu apa yang membuatku terancam oleh perempuan itu. Saat aku akan membunuhnya kemarin, aku mengurungkannya karena bingung dengan alasan apa aku harus membunuhnya." "Kau gila!" pekik Rafe tak percaya. "Kau ingin membunuh wanita yang kau cintai?" "Aku tak punya alasan mencintainya! Berhentilah menyebut kata sialan itu!" Rafe mendengus remeh. "Siapa namanya?” "Aku tidak tahu. Dia tak melakukan apa pun tapi aku merasa dia sangat berbahaya untukku." "Kau harus lebih mengenali dirimu sendiri. Bedakan ancaman dengan cin ... dengan perasaan lainnya maksudku." "Aku baru 3 kali bertemu dengannya.” "Cobalah untuk mendekatinya." "Aku sudah melakukannya dan saat akan menghabisinya ... aku tak bisa." "Lalu sekarang ini apa yang terjadi pada dirimu saat berhadapan dengan gadis itu jika bukan cinta?” "Diamlah!" ucap Justin semakin jengkel lalu masuk ke kamarnya, meninggalkan Rafe dengan gerutuannya. *** Untuk yang kesekian kalinya Nay menghela napasnya karena Nadia tak hentinya mengatakan maaf karena ia diami. "Ya, Nay. Maafkan." Nadia memohon dengan sangat melas. Nay kembali membuang wajahnya dari gadis itu dan pura-pura sibuk mengerjakan tugas dari dosennya yang 5 menit lalu meninggalkan kelas. "Nayna, aku tahu kau tak sejahat itu padaku. Bicaralah padaku." Akhirnya Nay menatap Nadia dengan tajam. "Duduklah, aku akan mengatakan kenapa kali ini aku sangat marah padamu." Nadia segera duduk di hadapan Nay dengan menarik kursi menganggur sembarangan. Nadia sudah tampak siap mendengar cerita Nay. "Aku pulang sekitar jam 10, Nad. Club yang kamu datangi semalam sangat jauh dari rumahku dan apartemenmu. Aku seperti sedang mengelilingi Jakarta yang macet dengan seorang yang mabuk dan merancau tak karuan di sebelahku. Aku pergi ke minimarket seperti biasanya." Nay mengeluarkan struk belanja dari dalam tasnya dan memberikannya pada Nadia. "Kau harus menggantinya-" "Aku akan menggantinya-" "Bukan itu masalahnya, Nad." Nay balas memotong ucapan Nadia. "Saat aku akan pulang, seorang pria misterius ikut masuk ke taksiku dan membawa pistol." "Apa?" Nadia nyaris berteriak mendengar cerita Nay. Ia menutup mulutnya agar tak memancing keributan di dalam kelas meski ini jam istirahat. "Maka dari itu, berhentilah membuatku berkeliaran di malam hari," ucap Nay frustrasi. "Kau tak ingin temanmu ini dalam bahaya, kan?" "Oh, Nay, maafkan aku. Aku tidak tahu. Pria b******k itu memutuskanku dengan alasan yang tidak bisa kuterima." "Bukan dengan mabuk-mabukan, Nad. Aku menyayangimu. Aku tidak ingin laki-laki b******k yang ada di club memanfaatkanmu yang sedang tidak sadar. Kita harus menjaga kehormatan kita sebagai seorang wanita. Kau mengerti maksudku, kan?" "Aku benar-benar frustrasi tadi malam, Nay." "Kau masih punya aku, Nad. Datanglah padaku dan tumpahkan semua bebanmu padaku." "Aku tahu, aku tahu, Nay." Nadia bangkit dari duduknya dan menghampiri Nay lalu memeluknya. "Maafkan aku membuatmu dalam bahaya. Aku tak akan mengulanginya." "Bahaya apa, Nay?" sebuah suara sontak membuat mereka melepaskan pelukan dan menatap ke arah pintu. Delon berjalan cepat ke arah mereka dan langsung menumpukan kedua telapak tangannya di meja Nay. "Apa terjadi sesuatu padamu?" tanyanya khawatir dan menunduk untuk menatap kekasihnya. Memastikan gadis tercintanya baik-baik saja. "Hanya masalah kecil. Jangan khawatir." Nay mengusap lengan Delon agar pemuda itu tak terlalu panik seperti itu. Perlahan kerutan khawatir di dahi Delon memudar. Pemuda itu menghela napasnya lega saat tak menemukan luka sedikit pun pada Nay. "Aku tidak melihatmu di kantin dan pesanku tidak kaubalas, Nay, jadi aku datang ke sini." Nay tersenyum padanya. "Aku tadi sedang sedikit serius dengan Nadia, jadi tidak menyadari pesan darimu." Nay merogoh ponselnya di dalam tas dan membuka pesan dari Delon. Delon menoleh menatap Nadia. "Kenapa lagi dengan kalian? Membahas tagihan belanja Nay setelah menjemputmu di club?" Nadia mengerucutkan bibirnya sebal. Delon sudah tahu kebiasaannya itu yang sering merepotkan Nay. "Dia sahabatku," protes Nadia. "Dia kekasihku! Jangan membuatnya terus kerepotan karena ulahmu." "Aku mengerti Tuan Revano yang terhormat. Maafkan aku," ucap Nadia menyesal. Dan mungkin hanya akan berlaku untuk beberapa saat ke depan. "Aku sudah sangat lapar. Ayo ke kantin," ajak Nay lalu berdiri, menggandeng lengan Nadia dan berjalan keluar diikuti Delon di belakangnya sebelum Nadia harus mendengarkan ceramah memuakkan dari Delon. "Jangan menceritakan hal tadi pada Delon," bisik Nay pada Nadia. "Okay, aku mengerti, Nyonya Revano" "Kalian mencurigakan." Delon memisah di tengah mereka kemudian merangkul bahu keduanya. "Jangan berbisik-bisik begitu. Aku masih bisa mendengarnya. Dan, Sayang, kau hutang penjelasan padaku." *** Justin memutar roda kemudinya untuk berbelok tajam ke jalanan yang lebih kecil dari jalan raya saat sadar bahwa mobilnya sedang diikuti. Matanya memicing tajam menatap spion untuk melihat keadaan di belakangnya, juga ia harus tetap fokus mengemudi. Justin mencoba mengingat jalanan di sini untuk berhenti dan menyelesaikan aksi kejar-kejaran khas pecundang ini. Ia menghindari jalanan ramai juga perumahan, tak ingin pihak polisi ikut campur. Jika saja salah satu dari mereka tertangkap polisi, bukan tak mungkin klannya akan ikut dilibatkan. Pria itu melihat sebuah gudang kayu tua yang sepertinya sudah tak digunakan. Bahkan kayu-kayu yang masih tersisa terlihat berlumut dan lembab. Justin menghentikan mobilnya di depan gedung tua itu lalu masuk ke dalamnya. Kedua tangannya masuk ke dalam saku celananya menunggu orang-orang yang tadi mengikutinya masuk. Seringai sinis tercetak jelas di wajah rupawannya. "Saat ini, aku tak tahu siapa kalian. Tapi jangan kalah jika kalian tak ingin aku tahu siapa kalian," ledek Justin saat ada 6 orang pria bermasker masuk ke dalam gudang. 4 di antaranya Justin yakin ia mengenalinya karena langkah mereka begitu familiar. Mereka tak mengatakan sepatah kata pun, tapi langsung merangsek maju untuk menyerang Justin. Dengan gesit Justin mampu menghindari serangan bertubi dari 6 orang terlatih itu. Bahkan beberapa kali Justin membalas serangan mereka. Justin tak merasa kesulitan untuk mengatasi mereka yang menyerang dengan tangan kosong. Ia adalah pria terlatih yang selalu mengincar titik vital musuhnya. Satu persatu dari mereka tumbang. Hingga kini tersisa 3 orang yang masih bertahan. Merasa terdesak, secara bersamaan mereka mengeluarkan pisau lipat dari sakunya. Justin menyeringai remeh. Bertarung dengan senjata berarti menyatakan kekalahan. Pecundang. Bahkan sebelum bertarung pun mereka adalah para pecundang karena menyerang dengan topeng. Justin merenggangkan otot lehernya sebelum menggerakkan jari tengahnya pada mereka agar segera maju.  "Arrgghhh!" Tepat sebelum sebuah mata pisau menembus perutnya, Justin sudah terlebih dulu menangkap lengan orang itu dan memelintirnya ke atas hingga terdengar suara pergeseran tulang. Dengan tangannya yang masih memelintir tangan musuhnya, Justin menggerakkan tangan itu ke arah orang lain hingga mampu meninggalkan goresan di bahu musuhnya. Lalu kakinya yang bebas menendang d**a orang lain hingga mundur dan menubruk tembok. Justin menendang lutut orang yang masih dalam kuasanya dan menarik paksa maskernya. "Sudah kuduga," ujar Justin dengan geraman yang begitu mengerikan. "Niko. Aku penasaran dengan 5 orang lainnya." Justin menjambak rambut Niko hingga pemuda dengan luka di wajahnya itu meringis ngilu dan menatap orang-orang yang sudah tak sanggup melawan Justin. Justin meraih pisau yang terlempar tak jauh darinya dan dengan sadisnya menancapkannya di leher Niko yang seketika tewas saat Justin mengoyakkan pisau itu ke samping. Orang-orang yang masih tersisa itu dengan susah payah melarikan diri dari gudang itu. "Kris b******k!" Jangan bosan kasih saya dukungan dari vote komen kalian yak
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN