Michah mempersilahkan Loto untuk mengoleskan sendiri ramuan buatannya ke wajah Loto yang luka, memar, dan lebam, sebab Michah tahu Loto tidak ingin seseorang melakukan itu untuknya apalagi seorang wanita. Lagipun Michah sudah mengetahui bahwa Loto seorang puritan yang takkan mau disentuh oleh sembarangan wanita.
Loto secara perlahan mengoleskan ramuan berwarna hijau tua dan ungu tua tersebut yang terbuat dari tumbuh-tumbuhan dan rempah yang ditumbuk halus serta ditambah sedikit air. Sementara Michah hanya menunjukkan dimana saja luka di wajah Loto yang harus ia oleskan.
Setelah selesai dengan wajah, Loto juga mengoleskannya pada lengan depannya yang terlihat memerah akibat perkelahiannya dengan para Koboy tadi. Selepas wajah dan bagian-bagian tangan sudah ia oleskan, Loto merasa bagian tubuhnya juga membutuhkan perawatan tetapi ia enggan untuk melakukannya. Sudah cukup wajah dan tangan saja menurut Loto. Dia pun menyodorkan kembali ramuannya pada Michah.
"Ini, bawalah kembali." Ucap Loto sembari menyodorkan dua mangkok berisi ramuan oles tersebut. "Obat ini ternyata benar-benar ampuh. Bahkan hanya beberapa menit saja kuoleskan, reaksinya sudah terasa. Rasa sakit, nyeri dan kebas di wajah dan tanganku sudah tak terasa lagi. Ini seperti sebuah m****n atau anastesi, menakjubkan." Decak Loto.
"Ini merupakan ramuan rahasia yang ibuku ajarkan. Padahal aku sudah lama tidak membuatnya. Kupikir, walau aku mengetahui komposisinya, tetapi karena sudah lama tidak pernah meraciknya maka khasiatnya akan berbeda. Aku tahu aku kehilangan esensi terpenting saat membuatnya. Syukurlah jika itu benar-benar masih bekerja."
"Tidak, kau sudah membuatnya dengan benar. Seperti yang tadi kukatakan, ramuan obat ini bereaksi dengan sangat cepat. Jika kau menjual ini Michah dan mendaftarkan hak patennya, maka kau akan bisa kaya. Obat oles racikan ibumu memang benar-benar luar biasa!"
"Aku juga membuatkanmu minuman herbal untuk mempercepat pemulihan sel-sel dalam tubuhmu. Kau minumlah, dan bawa juga sebagian untuk perjalananmu."
"Tentu Michah, terima kasih." Sahut Loto tersenyum.
Michah menatap bagian belakang Loto. Walau tertutup dengan baju, tapi Michah tahu bahwa tubuh Loto juga mengalami luka parah dan perlu diobati. Michah sadar Loto hanya menahan diri untuk tidak melakukan itu di hadapannya.
"Loto, tubuhmu juga perlu diobati." Gumam Michah. Dirinya mengingat betapa kerasnya tubuh Loto diseret, dipukuli beramai-ramai, dan bahkan dibanting.
"Ah, tak perlu." Sahut Loto tersenyum. Ketika Loto hendak berdiri, ia tiba-tiba kesakitan dan terhuyung hendak terjatuh. Tangan Loto refleks memegang tubuh bagian belakangnya.
"Apa kubilang! Tubuhmu juga sekarang pasti sakit kan. Kau tidak perlu menahan diri Loto. Buka bajumu dan oleskan juga itu di tubuhmu. Tidak apa-apa, kau bisa mengoleskannya sendiri dan aku akan mengalihkan pandanganku untuk tidak menatapmu, karena aku tahu kau tidak suka itu. Lakukanlah Loto, kau tidak akan bisa bertahan menempuh perjalanan jauh jika tubuhmu juga tidak kau obati. Sekarang buka bajumu dan obati itu." Pinta Michah.
Loto terdiam sejenak. Michah benar, Loto tidak akan mampu bertahan jika tubuhnya juga tidak segera diobati. Sementara dirinya juga harus pergi mencari kain Kisa itu sekaligus memburu Magniseven. Loto ingin menyembuhkan total tubuhnya sebelum itu.
"Baiklah Michah," ucap Loto.
Perlahan Loto melepas rompi hitamnya, lalu membuka baju dalamannya. Ternyata memang benar, ketika Michah melihat bagian belakang tubuh Loto, seluruh punggungnya banyak terdapat memar dan lebam parah. Bahkan ada satu memar ungu kemerahan parah memanjang dari dekat belakang leher hingga ke bawah ke bagian tulang belikat dan tulang punggung Loto.
Michah tercengang dengan betapa parahnya luka yang Loto alami.
"Benar kan," ucap Michah. "Seluruh tubuh bagian belakanganmu luka parah. Sepertinya ada tulang yang retak dan pembuluh darah yang pecah. Cepat oleskan! Obat itu secara cepat akan memperbaikinya. Oleskan yang banyak."
Loto mengangguk. Dengan pelan Loto mengoleskan satu persatu tubuh bagian belakang yang dirasanya sakit. Sesekali Loto meringis menahan sakit saat ia memutar tubuh agar tangannya bisa menjangkau bagian yang ingin dioles. Namun ada beberapa bagian di punggung yang tak bisa dijangkau oleh Loto. Beberapa kali Loto berusaha mengoleskannya tapi tetap tidak bisa. Malah usaha Loto itu semakin membuatnya kesakitan saat menggerakkan lebih tubuhnya.
"Loto, jika kau berkenan dan tak keberatan, biarkan aku membantumu." Ucap Michah. "Lihat kau kesulitan melakukannya sendiri. Kau harus mengoleskannya di semua lukamu agar hasil sembuhnya maksimal. Tolonglah, untuk kali ini saja."
"Tapi Michah, aku benar-benar tidak bisa membiarkan seorang wanita menyentuhku. Ini sama saja dengan zina dalam keyakinanku." Tolak Loto.
"Aku ingat tadi kau bilang pada Bapa Isaac kalau agama adalah tentang kemanusiaan. Tentang bagaimana menjaga dan menghidupkan kemanusiaan, bukan dengan mengancam ataupun merenggut jiwa tapi melestarikannya. Kau sendiri yang mengatakan itu kan? Sekarang aku hanya ingin membantumu. Ini juga hanya bagian dari menjaga satu kehidupan."
Loto terdiam, dia berpikir Michah benar.
Dengan agak enggan, Loto mengangguk sebagai isyarat persetujuan bahwa Michah boleh mengoleskannya ke tubuh Loto. Maka dengan sungkan, Michah mengambil mangkok ramuan tersebut dan mulai mengoleskannya ke bagian belakang tubuh Loto dengan perlahan. Keduanya saling terdiam. Dengan suasana yang senyap Michah mengoleskan setiap bagian punggung belakang Loto yang terluka, sementara Loto juga terdiam sambil menatap ke depan, merasakan halusnya sentuhan tangan Michah yang mengobati luka-lukanya dengan lembut.
Sesekali Loto beristighfar dalam hatinya sebab ada terbesit rasa nyaman yakni menikmati setiap olesan tangan halus Michah yang menyentuh tubuhnya.
"Kau kelihatan tegang. Santai saja," pinta Michah tertawa kecil.
"Tidak, aku hanya tidak yakin apa yang kulakukan ini benar."
"Kau hanya disentuh oleh seorang wanita, tidak lebih."
"Karena itulah aku merasa tidak nyaman. Ini pertama kalinya bagiku."
"Kau bilang kau pernah punya pacar kan? Siapa, Zeta, benar itu namanya?"
"Ya," sahut Loto.
"Jadi selama ini, ketika kau berpacaran dengannya, kalian berdua tidak pernah melakukan apapun? Bahkan untuk sekedar ciuman sekalipun?" tanya Michah.
"Ti-tidak pernah." Jawab Loto merasa malu.
Michah tak bisa menahan tawanya. Dia tertawa kecil setelah mendengar itu.
"Ini pasti sangat lucu bagimu ya. Aku seorang pria dewasa tapi aku masih perjaka, dan tidak pernah menyentuh wanita bahkan untuk sebuah ciuman sekalipun. Di matamu aku pasti tak ubahnya layaknya seorang anak kecil. Tanpa pengalaman. Kau berpikir ada yang salah denganku. Bahwa aku terlalu aneh dan naif dalam menjalani kehidupan ini. Iya, 'kan...?"
"Kau salah Loto. Bukan begitu. Aku tidak pernah berpikir ada yang salah denganmu. Malahan, setelah bertemu denganmu aku menjadi mengerti, ternyata tidak ada yang salah denganmu dan caramu menjalani hidup sama sekali, tapi ada yang salah dengan dunia ini. Alih-alih menyebutmu urakan dan aneh, aku menganggap dunia lah yang aneh. Di mataku kau malah keren. Aku tahu kau menjadi seperti itu karena tuntutan keyakinanmu. Kau memegangnya dengan teguh. Itu cukup keren bagiku. Itu artinya kau tidak memandang wanita hanya sebagai alat pemuas nafsu atau pemenuh hasrat belaka Loto. Kau memandang wanita sebagai perhiasan yang layak dijaga, yang akan kau gunakan ketika perhiasan itu memang sudah menjadi hak dan milikmu. Benar begitu bukan?"
Loto mengangguk. "Kau memandangnya dengan cara yang sangat baik Michah."
"Itulah yang kusuka darimu dan dari keyakinanmu." Tegas Michah tersenyum.
Keduanya lalu menjadi malu. Terjadi kesenyapan sesaat setelah obrolan itu.
"Melihat luka-lukamu ini, aku menjadi ingin menangis Loto." Gumam Michah seraya masih mengoleskan ramuan tersebut dengan pelan.
"Kenapa? Kau sedih? Tidak apa-apa Michah, nanti aku juga akan sembuh, apalagi dengan bantuan ramuan obat olesmu ini."
"Tidak, bukan begitu. Aku memang bersedih untuk apa yang menimpamu karena membelaku. Tapi ketimbang sedih, aku lebih merasa terharu. Setelah sekian lama semenjak ibuku tiada, baru kali ini ada yang peduli kepadaku. Benar-benar peduli denganku. Bukan sebentuk perhatian hanya karena kemampuanku ataupun bantuan yang kuberikan. Melihat luka-lukamu ini, aku berpikir, bagaimana mungkin ada lelaki yang mau membela harga diriku, nyawaku dan kehormatanku hingga rela menjadi terluka seperti ini. Sekali lagi, kau sudah membuatku jatuh hati, Loto. Tiba-tiba saja perasaan ini menjadi semakin jelas."
"Bukan hanya dirimu Michah, aku juga akan melakukan hal yang sama kepada wanita lain ketika mengalami nasib yang sama seperti yang kau alami. Andai kata bukan kau, aku tetap akan membelanya." Jawab Loto.
"Tetap saja, aku tersentuh dengan ketulusanmu membantuku."
"Kau terus menerus menyebut menyukaiku. Tidakkah itu mungkin hanya rasa terima kasih saja, yang salah kau artikan sebagai cinta? Cobalah kau pikirkan baik-baik. Kau pantas bahagia Michah. Setelah ini, carilah pria yang baik yang bisa menerimamu apa adanya dan mencintaimu dengan tulus. Carilah dia yang bisa melindungimu dan berbahagia lah menjalani hidup."
"Aku tidak yakin ada pria yang seperti itu." Sahut Michah. "Apa yang kau sebutkan itu terlalu baik untukku. Lagipula, satu-satunya sosok yang cocok dengan semua kriteria itu ... adalah dirimu Loto. Kaulah yang bisa menerimaku apa adanya tanpa memperdulikan masa laluku, mampu melindungiku, memiliki ketulusan, dan kuyakin juga bisa membuatku bahagia."
Loto terdiam lalu tertunduk sembari memikirkan sesuatu.
"Kalau aku boleh jujur, sebagai seorang laki-laki aku juga jelas menyukaimu." Sahut Loto. "Kau wanita yang baik Michah, pengertian, dan berhati lembut. Parasmu juga cantik dan enak dipandang. Tetapi aku belum akan memikirkan untuk menjalin suatu hubungan serius atau menikah. Saat ini aku sedang dalam fokus pada tujuan lain. Tujuan yang akan benar-benar menyita hidupku dan mungkin akan membahayakan nyawaku. Aku berada dalam fase dimana tidak ada hal yang lebih penting selain tujuanku itu. Aku tidak memikirkan hal yang lainnya."
Michah terdiam. Tujuan seperti apa yang dimaksud oleh Loto.
"Tujuan apakah itu kalau aku boleh tahu?" tanya Michah. "Aku tahu kau belum menceritakan semuanya padaku. Kau bilang ayahmu Nihima baru saja meninggal. Apa perjalananmu ini terkait dengan kematian ayahmu? Jika boleh kutebak, apakah kau sedang menapaki rute perjalanan untuk balas dendam?" tanya Michah, seakan bisa memahami Loto dan membaca isi hatinya dengan baik.
"Bagaimana kau bisa berpikir seperti itu?" tanya Loto heran.
"Terpancar dari sorot pandangan matamu. Kau tidak perlu membicarakan semuanya dan meluapkan apa yang tersimpan dalam hatimu hanya agar aku bisa mengetahui apa yang terjadi. Aku bisa melihat itu dengan jelas di matamu Loto. Aku tidak salah, 'kan?"
Loto diam, ia tidak menyangkalnya.
"Aku tidak akan menghakimimu Loto. Apapun yang sudah kau putuskan, itu adalah hakmu. Tapi jika aku boleh memberi saran, hentikan semua hasrat balas dendammu. Api panas yang membakar dirimu secara perlahan, tanpa sadar dari dalam itu akan membunuhmu. Pada akhirnya kau akan kehilangan jati dirimu Loto. Lalu kemudian ketika kau sudah bisa menyadarinya, semua sudah terlambat."
Loto menoleh ke arah Michah dengan ekspresi sedihnya. Jauh dilubuk hati Loto, dia memang merindukan jati diri aslinya. Jati diri hasil didikan Nihima yang tidak pernah memendam amarah apalagi dendam untuk orang lain. Loto juga tidak suka harus menjadi orang yang memikul sebuah dendam. Terus menerus memupuknya hingga tanpa sadar akan dimangsa oleh hasrat yang dibinanya sendiri. Loto menyadari Michah berkata benar. Dendam hanya akan membawa kesengsaraan dan kebinasaan semata. Tidak lebih.
"Walaupun menyakitkan, tapi ini adalah obat yang kuperlukan." Gumam Loto.
Michah menghentikan olesannya. "Obat gunannya hanya menyembuhkan Loto. Sementara yang sedang kau rasakan saat ini bukanlah obat untuk semua luka-lukamu. Itu hanya pelarian. Apa dengan berhasil membalaskan dendammu, jiwamu akan tenang? Atau jiwa ayahmu akan merasa puas dan bahagia? Tidak Loto. Kelak itu hanya akan memperburuk keadaan hatimu. Kau akan terus menerus dibayangi oleh hantu yang disebut penyesalan. Pikirkanlah baik-baik."
Michah berdiri. "Semua lukamu sudah seluruhnya kuobati. Kau bisa memakai bajumu kembali."
Michah berjalan dalam diam menuju dapur. Loto memasang kembali baju dan rompinya. Loto melihat ke arah Michah, seakan Michah sedang marah padanya. Loto tidak menyadari bahwa itu bukanlah sebuah amarah melainkan sebuah cinta. Michah menaruh kekhawatirannya untuk Loto. Untuk apa yang akan Loto lakukan demi bisa membalaskan kematian ayahnya.
"Kau tidak perlu khawatir Michah. Ini sudah menjadi keputusanku. Apapun yang akan kulakukan, aku sudah mengetahui resikonya. Akan kutanggung dan kupikul semuanya. Kau tidak perlu mengurusi apa yang aku lakukan. Kita hanya teman, dan kau bukan siapa-siapa. Jadi tak perlu membebani pikiranmu dengan semua masalahku." Ucap Loto kemudian tersenyum simpul.
"Tentu, aku bukan siapa-siapa untukmu. Aku tak berhak untuk itu." Sahut Michah tertunduk. Sesaat kemudian ia mengangkat kepalanya seraya balas tersenyum. "Kapan kau akan pergi dan melanjutkan perjalananmu?"
"Siang ini." Jawab Loto.
"Itu, sebentar lagi."
"Yaa, sebentar lagi."