Ada sebuah tangan yang melingkar di perutku, rasanya geli. Biasanya yang kupeluk hanya boneka atau guling, kini tangan kekar seorang manusia memeluk tubuhku erat. Aku langsung menjauhkan tangannya dari perutku dan segera bergegas turun dari tempat tidur.
Waktu baru menunjukkan jam lima pagi, aku langsung berjalan ke kamar mandi untuk mengambil wudhu. Aku memang bukan perempuan sholehah yang sudah memakai hijab, tapi setidaknya aku masih mengikuti perintah Allah untuk melaksanakan sholat lima waktu, walau kadang masih bolong. Semoga aku selalu belajar menjadi perempuan yang lebih baik, terutama dalam menutup aurat.
"Mau apa?" Pertanyaan itu sukses membuatku kaget.
Aku menoleh. "Sholat."
"Sholat? Berarti kamu bohong tentang datang bulan?"
Astaga, gue lupa abis ngerjain si Gevan. Kualat lo, Sha.
Gevan menyeringai, membuatku merasakan atmosfer hitam yang akan pria itu lakukan. "Jangan bohongi suami, Sayang. Nanti Tuhan murka. Sekarang kita sholat biar aku yang jadi imam."
"Emang kamu bisa?"
"Jangan ngece, gini-gini juga aku bisa jadi imam yang baik buat kamu. Setelah melakukan kewajiban yang ini, kita lakukan kewajiban yang lain."
Tuh kan, dasar otak m***m.
"Tunggu, aku wudhu dulu." Setelah itu dia menuju kamar mandi.
Apa yang harus aku lakukan biar lepas dari Gevan? Apakah aku yang harus menyerahkan keperawananku untuk dia? Dia suamiku, melayani suami adalah kewajiban seorang istri, tapi apakah bisa dia bisa menjadi Bapak yang baik buat anak-anakku kelak?
Kelamaan melamun, membuatku tidak sadar Gevan sudah menggelar sajadah. Dia memberi isyarat agar aku berdiri di belakangnya.
Aku tidak menyangka Gevan mempunyai suara yang cukup bagus dalam melantunkan bacaan-bacaan sholat, setelah selesai sholat dia mengulurkan tangannya dan dengan ragu aku meraih tangannya lalu mencium.
Setelah aku melepas mukena, tanpa aba-aba dia langsung menggendong tubuhku ala bridal style ke atas ranjang. Bulu kudukku berdiri, jantungku berpacu lebih cepat, napasku memburu, serta jemariku memegang sprei dengan kuat.
"Kamu takut?"
Aku langsung mengangguk. "Maaf."
"Kenapa kamu pengin nikah cepat kalau melakukan itu kamu takut?"
"Aku nggak kepikiran sampai situ."
Gevan menghela napas. "Nggak apa-apa, aku akan tunggu sampai kamu siapa." Dia mencium keningku. "Sekarang kamu mandi, abis ini kita jalan-jalan."
Aku tidak menyangka Gevan akan menghargai keputusanku, Gevan yang aku lihat awal pertemuan dan Gevan yang ini sangat berbeda.
Gevan membawaku ke kebun apel, kebun ini sangat luas, dan isinya pohon apel semua. Masuk dengan harga tiket cukup terjangkau dan bisa makan sepuasnya, tetapi tidak bisa dibawa pulang. Ukuran apelnya cukup kecil tapi rasanya manis dan masih segar karena langsung dipetik dari pohonnya.
"Jangan makan banyak-banyak, Quin. Nanti kekenyangan terus sakit perut."
"Padahal aku rencananya mau habisin satu kebun."
Aku terus memetik apel dari pohonnya yang tidak terlalu tinggi ini, lalu memakannya.
"Gevan?"
Aku kaget saat mendengar ada yang menyebut nama Gevan, aku menoleh dan melihat seorang gadis cantik.
"Gita, kamu di Malang?"
Cewek itu mengangguk. "Iya, hadirin acara reuni kampus, tapi besok aku balik." Dia menoleh ke arahku. "Ini siapa, Gev?"
"Kenalin ini Quin, istriku."
"Kak Gevan udah nikah? Kok nggak undang?"
"Baru akad, belum resepsi."
Gita menatapku intens, dia meneliti wajahku secara seksama membuatku bingung. "Selera kamu udah berubah ya, anak-anak."
"Jangan asal ngomong, gue bukan anak-anak."
"Terus apa? Bocah?"
"d**a gue udah gede dan b****g gue montok, jadi gue bukan bocah lagi."
Gevan langsung menoleh ke arahku. "Quin, mending sekarang kamu lanjut makan."
Biar apa? Biar lo bisa berduaan doang sama dia? Dasar ngeselin.
Aku langsung meninggalkan mereka, peduli amat sama pembahasannya, yang ada hanya bikin aku sakit hati, makan apel pun jadi tidak selera, aku langsung keluar dari kebun apel tersebut, tidak tahu mau ke mana, mau pulang tidak ada kendaraan, mau pesan grab tidak ada duit, dompetku ketinggalan di villa.
Aku terus berjalan, menyusuri jalan setapak, jangan kira tempat ini ramai, justru sepi karena letaknya jauh dari jalan raya, di sampingnya hanya ada sawah dan kebun-kebun. Aku bergidik ngeri, membayangkan kalau ada begal atau preman di sekitar sini. Lebih parah lagi kalau ada binatang buas.
Tiba-tiba ponselku bergetar ternyata ada telepon masuk dari Gevan, aku tidak berniat mengangkatnya. Sedetik kemudian muncul pesan w******p.
Gevan : kamu di mana?
Aku hanya membaca, lalu setelahnya memasukkan kembali ponsel ke dalam saku celanaku, tidak peduli kalau Gevan spam chat atau apa.
Gue istrinya Gevan dan dia lebih bela si Gita-Gita itu. Yaudah nikah aja sama Gita sana.
Tak lama kemudian ada sebuah mobil yang berhenti di sampingku, dan si pengemudi menurunkan kacanya. "Quin, jangan kayak anak kecil."
"Yaudah nikah aja sama dia yang udah dewasa."
Aku terus berjalan tanpa mempedulikannya, lalu dia turun dari mobilnya dan mengejarku. "Quin, mau jalan sampai mana?"
"Emang kamu peduli?"
Gevan menarik tanganku hingga badanku terhuyung ke belakang. "Kamu cemburu?"
Cemburu? Haha. Mana mungkin.
"Aku nggak cemburu, cuma kesal doang karena kamu lebih bela dia daripada aku. Aku itu istrimu, Gevan."
Gevan langsung mendekap erat tubuhku. "Aku senang kalau kamu gini."
"Kok senang?"
"Karena kamu cemburu, cemburu tanda sayang. Dan kesimpulannya kamu sayang aku."
Aku langsung melepasakan dekapannya. "Dibilang nggak cemburu, cuma kesal!"
"Kamu itu kesal karena aku sama Gita tadi? Dan itu artinya kamu cemburu."
"Nggak, pokoknya nggak!"
Dia langsung mengecup bibirku dan memainkan dengan lembut, aku hanya diam tidak tahu harus berbuat apa. Ini yang pertama dan rasanya duniaku seakan runtuh. Lalu beberapa detik setelahnya dia menjauhkan bibirnya.
"Ternyata mudah sekali buat bibir kamu berhenti mengoceh. By the way, aku harus ajari kamu tentang banyak hal." Dia berbisik. "Istriku polos sekali."