Aku menatap benda berbentuk bulat yang menggantung rapi di dinding menunjukkan jarum pendek di angka tujuh dan jam panjang di angka tiga, aku bergegas ke kamar mandi untuk sekadar mencuci muka dan menyikat gigi, setelah selesai langsung keluar kamar tanpa berniat membersihkan tempat tidur terlebih dahulu, biar saja kalau aku dianggap pemalas.
Mataku tak sengaja menatap pria bertubuh tinggi yang sedang bereksperimen di dapur, aku cukup terpana melihatnya bisa memasak, aku kira dia cuma pria kurang ajar yang suka s**********n wanita. Aku langsung ke arah meja makan, dan duduk di salah satu kursi seraya menunggu masakannya siap dihidangkan.
Aku tertawa geli dalam hati, seharusnya yang melayani adalah istri tapi ini kebalikannya. Aku jadi bingung kenapa Gevan yang pertama kali aku kenal dan Gevan yang akhir-akhir ini beda ya? Apakah dia mempunyai kepribadian ganda?
Saking asyik melamun aku sampai tidak sadar Gevan sudah duduk di hadapanku dengan nasi goreng tersaji di atas meja, dari baunya saja sepertinya enak, semoga sesuai ekspektasi.
"Biar aku yang ambilin." Setelah menyendok nasi goreng ke dalam piring, dia letakkan di hadapanku, aku hanya bisa terdiam melihat perlakuannya yang seperti ini. Setelah aku mengerjainya semalam ternyata dia masih bisa bersikap manis. "Maaf ya, aku cuma bisa masak yang sederhana."
Tanpa menjawab ucapannya, aku langsung mencicipi nasi goreng tersebut dan aku speechless saat nasi itu masuk ke dalam mulutku, ini adalah nasi goreng terenak kedua setelah nasi goreng buatan Mama.
"Enak?"
"Lumayan."
Aku terlalu enggan untuk memujinya, yang ada nanti dia besar kepala.
"Tapi lahap ya makannya."
"Lo nggak kerja?"
"Cuti selama seminggu, terhitung dari acara kemarin karena kita mau bulan madu."
Aku langsung mengangkat wajahku dan menatap Gevan. "Gev, nggak ada bulan madu."
"Kewajiban istri adalah melayani suami, aku semalam terpaksa menahan tapi kali ini nggak boleh gagal, aku udah siapin tempat, kamu tinggal siap-siap."
Astaga, gimana caranya gue lepas dari bulan madu ini ya?
"Udah sekarang kamu mandi, biar aku yang cuci piring."
Dia langsung membawa piring-piring tersebut ke wastafel dan mulai mencucinya sedangkan aku masih terpaku di tempat. Tiba-tiba Gevan menoleh ke arahku. "Apa perlu aku mandiin?"
Aku merinding mendengar pertanyaan itu, akhirnya aku langsung bergegas ke kamar mandi dan segera bersiap, lagi-lagi aku hanya bisa pasrah menerima nasibku.
Setelah menempuh perjalanan sekitar satu jam dua puluh menit akhirnya pesawat landing di Bandara Abdul Rachman Saleh-Malang.
Gevan sudah menyewa mobil secara online tetapi tetap mobil tersebut dibawa oleh driver, entah susah sekali sewa mobil yang bisa dibawa sendiri, mungkin jasa rent car takut adanya penipun.
Tempat tujuan yaitu Batu. Batu adalah daerah yang dulunya masih menyatu dengan Malang, tapi sudah terjadi pemekaran dan Batu telah mempunyai Kota dan Kabupaten sendiri.
"Batu itu dingin banget, jadi kamu harus kuat," ujar Gevan. Ini memang pertama kali aku ke Jawa Timur, jadi masih terasa asing.
"Sama Lembang-Bandung lebih dingin mana?"
"Masih dingin Batu kayaknya. Oh iya, aku udah sewa villa buat beberapa hari ke depan."
Aku hanya mengangguk saja, perjalanan dari Malang ke Batu cukup jauh katanya dan sekarang lebih baik aku tidur.
"Kamu tidur aja, nanti kita jalan-jalan ke banyak tempat bagus."
"Oke." Aku langsung memejamkan mata.
"Quin, bangun," Gevan terus menepuk pipiku, dan aku membuka mata pelan. "Kita makan siang dulu," lanjutnya.
Aku mengikuti Gevan yang sudah turun dari mobil, aku melihat tulisan di depan tempat tersebut adalah Warung Wareg dan langsung naik ke lantai atas, aku terperangah melihat tempat ini, ber-view-kan sawah, langsung melihat pemandangan yang masih hijau dan angin sepoi-sepoi yang menerpa. Seumur-umur aku belum pernah ke tempat seperti ini.
"Kamu mau makan apa?"
"Terserah aja."
Gevan memanggil waiters dan mulai menyebutkan pesanannya. "Dua nila bakar dan dua cah sawi, minumnya dua air mineral ya."
"Baik, ditunggu ya," Waiters kembali ke tempatnya.
"Kenapa air mineral?"
"Karena sehat, kamu itu nggak boleh makan sembarang, jangan sering makan fast food dan jangan sering minum yang berwarna."
"Gue kurang suka ikan, terus tadi apa cah sawi? Baru dengar."
"Aku udah dua kali ke tempat ini, waktu liburan sama orang kantor, dan cah sawi di tempat ini menu favorit aku banget."
Gevan tiba-tiba memegang tanganku yang ada di atas meja. "Quin, jangan 'gue-lo' lagi,bisa?"
Aku berpikir sejenak dan kemudian mengangguk. "Oke, aku coba."
"Nah, gitu dong."
"Gev, aku mau tanya, kenapa kamu mau ajak aku nikah, padahal kita baru ketemu dua kali?" Pertanyaan yang aku pendam, akhirnya bisa terlontarkan juga.
"Nanti kalau udah saatnya aku pasti cerita."
Aku hanya bisa menghela napas pasrah, padahal aku sudah penasaran, aku saja tidak tahu watak asli suamiku, bagaimana kehidupannya dulu, semua terasa asing.
Setelah itu makanannya datang, aku menikmati makanan dalam diam, meski sekali-kali Gevan mengeluarkan ocehannya.
Setelah dari Warung Wareg, Gevan membawaku ke villa yang ada di puncak. Dan cuacanya benar-benar dingin, sore saja sedingin ini apalagi malam. Aku bersembunyi di bawah selimut dengan memakai jaket tebal, aku rasa sebentar lagi akan membeku. Tubuhku terlalu sering menerima panasnya Jakarta dan sekarang berada di tempat dingin membuat tubuhku kaget.
"Quin, mandi. Mumpung masih sore."
"Dingin, Gev. Astaga."
"Jangan jorok, badan kamu udah lengket sama keringat, harus mandi."
"Nggak mau!"
Tak lama kemudian aku merasakan tubuhku melayang, ternyata Gevan menggendongku ala bridal style ke kamar mandi dan ia meletakkan tubuhnya di atas bathup yang belum terisi air.
"Gevaaaannn ... "
"Mau aku mandiin atau mandi sendiri?"
Satu hal yang aku tahu, Gevan adalah orang tak terbantahkan, kalau dia sudah mau harus terlaksana, dasar otoriter menyebalkan.
"Mandi sendiri, sono keluar."
Setelah itu dia keluar, dan aku tidak berniat mandi, lagian aku bukan orang yang menjujung tinggi mandi dua kali sehari. Mandi satu kali sehari saja cukup, buang-buang air, lebih baik hemat air untuk masa depan.
Setelah mencuci muka dengan air yang super dingin aku langsung keluar dan di sana sudah ada Gevan yang sedang menata barang.
"Quin, kamu pakai ini." Gevan memberikan sehelai pakaian yang membuatku terkejut.
Aku langsung mengambilnya dan menatap dengan tatapan geli, tidak kebayang kalau pakaian ini yang aku pakai. "Ogah, di sini cuacanya dingin disuruh pakai beginian."
"Itu lingerie, dan Mami aku yang beliin buat kamu."
Aku menggeleng. "Nggak mau, lagian buat apa sih?"
"Buat malam pertama yang tertunda semalam."
Malam pertama sama dia? Haduh gimana cara lolos dari malam pertama? Ah, gue ada ide.
"Sorry, aku lagi datang bulan."
"Are you sure?"
Aku mengangguk.
"Berapa hari?" tanyanya tak semangat.
"Paling lama seminggu."
"Jadi percuma dong kita honeymoon kalau nggak bisa buat."
Aku tertawa puas dalam hati, emang enak gue kerjain, puasa-puasa deh lo, Tisha dilawan.