9. Mabuk

980 Kata
Setelah honeymoon yang buat anak gagal, akhirnya kami kembali ke Jakarta. Gevan menjalankan rutinitasnya sebagai karyawan salah satu perusahan, dan aku tidak tahu harus berbuat apa. Ternyata nikah muda tidak seindah yang aku bayangkan, aku jadi rindu masa single-ku, masa di mana aku masih bisa main sepuasnya sama Tito tanpa harus menjaga perasaan siapapun. Aku jadi rindu Mama, Papa, Abang Willy dan Abang Kevin. Lebih baik sekarang aku ke rumah orang tuaku daripada aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku langsung mengambil tas dan memesan ojek online yang akan mengantarku ke sana. Saat menutup pintu apartemen, tiba-tiba ada yang menyapaku dan aku menoleh. Seorang pria kini tersenyum ke arahku. "Halo, kita belum kenalan," ujarnya. Aku mengulas senyuman. "Tisha." "Andra. Kamu Istrinya Gevan?" Aku mengangguk, dia tampan mempunyai senyuman menarik tapi yang aku rasa dari tatapannya itu mempunyai arti khusus, mungkin itu hanya perasaanku saja. "Kita tetangga." "Iya, aku duluan." Aku rasa berada lama-lama di dekatnya hanya hawa negatif yang aku rasakan. "Iya, aku harap kita bisa ngobrol lebih lama lagi." Setelah mengangguk aku langsung menghilang dari hadapannya. Saat sampai di rumah Mama, aku jadi semakin rindu dengan segala sesuatu yang ada di rumah ini, selama delapan belas tahun tinggal du rumah ini, ada banyak kenangan yang tercipta. Aku melihat Mama sedang membuat kue di dapur. Brownis buatan Mama selalu menjadi favoritku, aku jadi rindu masakan Mama. "Nggak ke toko?" tanyaku tiba-tiba yang membuat Mama kaget karena sebelumnya tidak sadar ada aku di dekatnya. Mamaku ini memang mempunyai toko kue yang lumayan besar, dulu Mama adalah seorang karyawati di perusahaan tapi memilih resign karena tidak ada waktu untuk mengurus anak-anaknya dan Papa. Akhinya Mama memutuskan untuk membuka toko kue, mengingat dirinya juga suka membuat kue. "Tadi Mama niatnya buat brownis ini mau diantar ke apartemen kamu, karena kamu udah ada di sini, kamu bawa pulang sendiri aja," ujar Mama sembari memasukkan satu loyang brownis ke dalam oven. "Ma, Tisha kangen." Mama tersenyum tipis dan melepaskan celemeknya. "Sambil menunggu kuenya matang, ayo kita ngobrol." Aku dan Mama duduk di meja makan yang ada di dapur ini. "Kamu nggak betah, ya?" tebak Mama. "Iya, Tisha ngerasa gagal jadi istri. Belum bisa memberikan apa yang seharusnya Gevan terima." Mamaku membulatkan matanya, sepertinya dia mengerti ke mana arah pembicaraanku. "Bukannya kalian udah?" "Mama kira aku beneran hamil? Aku nggak hamil, Ma. Dan Mama sama Papa nggak pernah mau dengarin penjelasan aku." "Surat itu?" "Itu hanya rekayasa Gevan biar dia bisa nikah sama aku. Aku juga bingung kenapa Gevan sebegitu niatnya, padahal sebelum nikah itu baru ketemu dua kali." "Serius?" Sedetik setelahnya, Mama mengubah ekspresi kaget menjadi tertawa pelan. "Lucu sekali, berarti jalan kamu emang seperti itu. Mama yakin Gevan itu laki-laki yang baik." Kalau aja pertemuan pertama gue dan Gevan nggak seperti itu, pasti gue juga bakal mikir Gevan cowok yang baik. "Tisha, Mama kasih tahu. Bagaimanapun pertemuan kalian, kenapa kalian bisa menikah dan apapun yang terjadi sekarang. Kamu harus tetap menjalankan kewajiban kamu, melayani Gevan dalam hal intim ataupun melayani segala kebutuhannya." "I can't." "Terus sekarang kamu mau gimana?" Aku menggeleng, jujur aku tidak tahu harus seperti apa. "Sekarang jalani apa yang udah kamu mulai, Gevan berhak mendapatkan haknya. Jangan jad istri durhaka, Sha." "Tapi, Ma ... " "Jangan siksa suami kamu, belajarlah jadi istri yang baik." "Tapi Tisha belum sanggup karena pasti sakit dan Tisha malu." Mama menaikkan sebelah alisnya. "Malu kenapa?" "Naked di depan orang asing." "Dia bukan orang asing, dia itu suami kamu. Kamu milik dia, segala yang ada di tubuh kamu ini adalah milik dia." "Ma ... " "Tisha, jangan banyak protes. Mama juga butuh cucu, menikah juga harus memproduksi keturunan." Apa yang Mama bilang benar, orang tuaku butuh cucu dan aku juga butuh anak yang menjadi generasiku, mungkin setelah pulang dari sini aku harus memulainya. Semoga ini awal yang baik. Bau menyengkat kini menyapa hidungku, dan seketika ingatanku melayan ke brownis. "Ma, kue ... " "Astaga ... " Mama langsung berlari ke arah oven dan mengangkat kue yang sudah gosong. "Kamu sih, Sha. Ajak ngobrol sampai lupa lagi oven kue. Kamu mau makan kue gosong?" "Nggak lah, Ma. Ayo kita buat ulang. Biar Tisha bantu." Aku langsung beranjak dari tempatku, dan menghampiri Mama yang masih manyun. Mamaku ini tua-tua masih suka merajuk. Keasyikan di rumah Mama sampai lupa waktu, aku langsung berburu-buru pulang karena hari sudah larut, namun saat aku hendak memesan ojek online, tiba-tiba Tito mengirimkan pesan w******p. Tito : Sha, laki lo lagi mabuk Aku langsung terkejut membaca pesan dari sahabatku, selama ini aku tidak tahu kalau Gevan ini tukang mabuk. Aku : share location Setelah itu aku langsung meminta supir Mama untuk mengantarku ke tempat tersebut, pikiranku berkecamak. Baru saja aku memikirkan untuk menjadi istri yang baik, ternyata Gevan membuat ulah. Mempunyai impian suami sholeh benar-benar tidak bisa aku dapatkan. Selama delapan belas tahun hidup di dunia ini, aku belum pernah ke tempat seperti ini, meski sahabatku sendiri adalah anak clubbing. Setelah turun dari mobil aku langsung masuk ke dalam, lampu kerlap-kerlip membuatku sakit mata dan suara musik disko yang membuat telingaku hampir pecah. Mataku terus mencari keberadaan Gevan dan kakiku semakin melangkah ke dalam, lalu akhirnya aku menemukan dirinya yang sedang mabuk di meja bartender dengan seorang perempuan. "Gevan? Gita?" ujarku setelah berada di dekat mereka. Tangan Gevan meraba tubuh Gita dengan semaunya dalam keadaan mabuk, dan Gita mengeluarkan desahan yang membuat Gevan semakin b*******h. Aku menghela napas pelan, lalu menarik tangan Gevan. "Lepaskan tanganmu dari dia!" ujarku dengan nada bergetar, seraya menahan tangis. Aku menatap ke arah Gita yang sedang tersenyum licik. "Jangan jadi pelakor!" "Kamu itu hanya jalang yang diangkat jadi istri," balasnya. Aku maju satu langkah dan menampar pipi Gita. "Jaga ucapanmu." Setelah mengatakan itu, aku langsung menarik Gevan dengan susah payah agar ke mobil. Samar-samar aku mendengar ucapan Gita. "Gevan cuma sayang Nathasa, sepupu kamu." Tubuhku memaku mendengar itu, siapa Gevan? Kenapa dia bisa kenal Kak Thasa? Teka-teki yang sulit kupecahkan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN