Tidak ada jalan yang bisa aku pilih selain pasrah menikah dengan Gevan, memberontakpun percuma karena orang tuaku lebih percaya pada rekayasa selembar surat itu, jadi aku putuskan untuk mengikuti permainannya, mari kita lihat siapa yang akan kalah.
Aku berdiri di depan cermin, memperhatikan balutan kebaya putih yang melekat indah di tubuh rampingku, serta polesan make up natural yang membuatku tampak lebih cantik.
Dalam hitungan lebih kurang dari satu jam aku akan resmi menjari istri dari seorang Gevan. Menyedihkan sekali.
"Kamu cantik sekali," ujar Mama yang baru masuk ke kamar. Aku hanya tersenyum tipis. "Ayo turun. Di sana sudah pada nunggu. Ingat, setelah ini kamu bukan tanggung jawab Mama dan Papa lagi, kamu harus nurut sama suami kamu."
Geli banget gue harus nurut sama dia.
Mama menggandengku keluar kamar dan menuju lantai bawah, acara akad nikah ini memang terkesan dadakan jadi yang diundang hanya kerabat dekat. Sedangkan resepsinya menyusul karena mempersiapkan acara tersebut membutuhkan proses, kata orang tuaku yang penting sah dulu sekarang. Sebagai manusia biasa aku hanya bisa pasrah.
Aku duduk di sebelah Gevan yang sudah rapi dengan setelan jas yang senada dengan kebayaku.
Papa menjabat tangan Gevan dan mulai melantangkan suaranya. "Saya nikahkan dan kawinkan putri kandungku, Lathisa Quina Salsabela dengan Gevan Arjuna Prasetya dengan mahar berupa 22 gram emas dan uang sejumlah 22 juta rupiah dibayar tunai."
"Saya terima nikah dan kawinnya Lathisa Quina Salsabela dengan mahar tersebut dibayar tunai."
"Bagaimana, sah?" Penghulu mengedarkan pandangannya ke sekeliling.
"Sah," sahutan para tamu undangan.
"Alhamdulillah."
Setelah itu penghulu membaca doa yang di aamiinkan oleh hadirin.
Aku menangis, bukan karena terharu atau bahagia tapi karena aku sedih menjadi istri dari laki-laki b******k berotak iblis macam Gevan.
"Cium dong ...," celetuk Abang Kevin yang membuatku melotot kesal, sedangkan para tamu ikut bersorak.
Tiba-tiba Gevan menoleh dan mendekatkan bibirnya ke bibir aku, dan spontan aku langsung mundur dan melotot kesal.
"Istri aku malu, di kamar aja katanya," ujar Gevan yang membuatku tambah kesal.
"Sok malu-malu, padahal udah nggak sabar pengin kane." Ini lagi Abang Willy ikut-ikutan.
"Daripada bahas yang tidak berfaedah, mending acaranya kita cukup sampai di sini," ujarku akhirnya.
Aku langsung naik ke atas kamarku, jujur aku sudah gerah memakai pakaian seperti ini, apalagi make up-nya sangat tidak nyaman. Baru saja aku hendak membuka kebaya tiba-tiba seseorang masuk ke kamarku dan menguncinya.
"Sayang, sini aku bantu."
Aku menggeleng. "Nggak usah, mending lo keluar. Gue nggak mau dekat-dekat lo."
"Ganti jadi 'aku-kamu' dan kamu harus panggil Kak Gevan, terus kamu harus nurut sama aku, harus jadi istri yang manis."
"Idih baru jadi suami satu detik yang lalu udah sok ngatur, ogah, lo yang maksa nikah jadi buat apa gue nurut."
Gevan berjalan mendekat lalu mengelus perutku. "Jangan marah-marah nanti baby-nya jadi orang pemarah."
"Gue mana ada hamil."
"Tapi orang-orang tahunya kamu hamil, kalau kamu nggak nurut nanti aku lapor Mama kamu lho."
Aku langsung menonjok perutnya. "Gevan nyebelin, udah gue ke kamar mandi aja."
"Jangan lupa setelah ini kita pindah ke apartemenku."
"OGAH!"
Aku langsung mengunci pintu kamar mandi rapat-rapat, mimpi apa aku harus menjadi istrinya Gevan. Ini mimpi buruk. Aku tidak bisa membayangkan satu rumah apalagi satu kamar dengan dia, masakin dia, siapin pakaian kerja pagi-pagi. Kepalaku hampir meledak memikirkan itu semua.
Setelah melepas kebayaku, menghapus make up aku langsung keluar kamar. Aku kaget saat melihat barang-barangku sudah berada di dalam koper, Gevan mengemasi barangku tanpa izin, dasar seenak jidat.
"Gevan, gue nggak mau pindah."
"Kamu nggak ada pilihan lain, lagian orang tua kamu udah setuju, ayo kita langsung ke apartemen aku."
Aku langsung berlari keluar kamar, dan menghampiri Mama yang sedang membereskan ruang tamu sisa akad nikah tadi. "Ma, Tisha mau tinggal di sini aja, nggak mau ikut Gevan."
"Kamu harus nurut sama suami."
"Tapi, Ma—"
"Apalagi kamu lagi hamil, anak kamu pasti butuh ayahnya, kamu nanti kalau ngidam butuh Gevan."
"Ma—"
"Udah sana siap-siap, jangan banyak protes."
Aku menghentakkan kakiku kesal, menikah muda memang impianku tapi bukan dengan dia.
"Itu Gevannya udah bawa pakaian kamu."
Gevan tersenyum manis seraya menggeret koper, dasar sok manis. Papa dan kedua abangku menghampiri Gevan. "Jaga adik gue, jangan disakiti. Awasa aja kalau dia terluka," ujar Abang Willy.
"Lo akan gue habisi kalau Tisha tersakiti," lanjut Abang Kevin.
"Jaga putri semata wayang Papa, dia memang manja karena anak bungsu dan cewek satu-satunya, tolong bimbing dia dengan lembut seperti Papa menjaga dia sedari kecil," ujar Papa, aku langsung berlari ke arah Papa dan memeluknya, Papa memang tegas tapi aku sayang.
Papa melepas pelukanku. "Tisha harus nurut sama Gevan, ya?"
Aku tidak menjawab.
"Tisha?"
"I-iya," ujarku setengah hati.
Mama menghampiriku dan memelukku erat dan mencium keningku, setelah itu kedua abangku bergantian memelukku.
"Jangan nakal," ujar Abang Kevin.
Abang Willy mengelus perutku. "Jaga baik-baik ponakan Abang."
Setelah itu aku dan Gevan langsung berangkat ke apartemen, aku tidak berniat mengajaknya ngobrol, sepanjang perjalanan aku hanya tidur. Setidaknya tidur lebih berfaedah daripada ngobrol dengan Gevan.
"Gevan, gue tidur di mana?" tanyaku setelah kita sampai di apartemen. Gevan menggeret koperku ke dalam kamar dan aku langsung mengikutinya. "Ini kamar gue?"
"Kamar kita."
"Kok kita? Kita tidur di kamar masing-masing."
"Gimana caranya kita buat anak kalau nggak tidur bareng?"
Aku tersenyum tipis. "Kan di perut gue udah ada bayi, jadi ngapain buat lagi?"
"Maunya bayi betulan. Orang tua kamu pasti mau cucu."
"Yaudah kalau mau bikin, ikut gue." Dia langsung mengikutiku yang berjalan keluar kamar. "Diam di sini, gue ke dalam bentar." Aku langsung masuk ke dalam kamar dan menguncinya rapat-rapat. Aku tertawa puas, aku berhasil mengerjainya.
"QUINNN ... "