Ini gila, benar-benar gila. Bagaimana mungkin orang tuaku lebih percaya sama selembar surat palsu itu daripada kebenaran yang diucapkan putri yang dibesarkannya selama delapan belas tahun.
Helaan napas terus terdengar dari mulutku, aku benci situasi ini, menikah dengan laki-laki itu adalah hal yang tidak ingin aku lakukan di dunia ini.
Aku tidak mau keluar kamar, tidak mau makan dan tidak mau bicara dengan siapapun, ini adalah bentuk pemberontakan yang aku lakukan, berharap Mama dan Papa tidak akan menikahkanku dengan si b******k yang kurang ajar itu.
Aku tidak peduli kalau harus menahan lapar dan dahaga.
"Sha, ayo makan. Kamu dari semalam belum makan, habis ini fitting kebaya buat acara akad nikah kamu, Sha," ucap Mama dari balik pintu.
Apa? Mereka membuat keputusan tanpa meminta persetujuanku, haruskah aku bunuh diri sekarang juga?
"Sha, Mama dan Papa nggak marah karena ini sudah terjadi, sekarang Mama minta jangan membiarkan anak itu tumbuh tanpa ayah, kamu jangan tambah dosa lagi, Sha."
Aku tetap bergeming, biarkan saja terus berkicau, aku enggan membalas ucapannya.
"Tisha, buka pintunya sebelum Papa dobrak." Kali ini Papa yang bersuara. Astaga, hidupku jadi serumit ini.
"Lathisa Quina Salsabela!" Papaku itu orang yang tidak banyak bicara, tapi sekalinya marah akan sangat mengerikan. "Lathisa! Jangan tambah dosa kamu jadi anak durhaka," lanjutnya.
Akhirnya aku beranjak dari kasur dan menarik gagang pintu, dan terlihat mata mamaku yang menatapku sendu, serta wajah amarah Papa sangat terlihat jelas.
Mama memegang pundakku. "Sayang, apapun yang terjadi itu biar menjadi masa lalu, sekarang tugas kamu memperbaiki masa depan, jangan biarkan anak kamu tumbuh tanpa seorang ayah."
Air mata yang semalam aku tahan akhirnya lolos begitu saja, aku menatap orang tuaku secara bergantian. "Tap—"
Belum selesai aku mengeluarkan perkataanku, Papa langsung memotongnya. "Sha, ayo ke bawah. Gevan udah nunggu dari tadi."
Tubuhku langsung mematung mendengar satu nama yang aku benci, setelah dia memfitnahku, dia masih berani menampakkan diri di hadapanku, dosa apa yang aku perbuat di masa lalu, hingga Tuhan mempertemukanku dengan orang sepertinya.
"Tisha, cepat!" tegas Papa.
Aku kembali masuk ke kamarku untuk mengambil tas dan langsung turun ke ruang tamu, di sana sudah ada Gevan yang sedang memainkan ponselnya. Aku berdeham cukup keras sehingga dia memalingkan wajahnya ke hadapanku dan tersenyum tipis, kuakui senyumannya memang manis, dia memang tampan.
Tapi buat apa tampan kalau berhati iblis.
Dia menatapku dari atas sampai bawah. "Lain kali kalau udah jadi istri aku harus lebih rapi, rambutnya disisir, matanya jangan sampai ada belek, di bibir nggak boleh ada sisa iler." Dia menyipitkan matanya. "Jangan-jangan kamu belum mandi?"
"Emang, belum sikat gigi juga. Lo ilfeel sama gue? Yaudah batalin aja perginya, pergi dari hidup gue sekalian."
"Lo-gue? Bukan 'saya' lagi?"
"Bodo amat, gue kesal sama lo."
"Kesal itu kebalikan dari cinta."
"Bawel? Jadi pergi nggak."
"Nggak sabaran banget Mbaknya."
"Anjir!"
Setelah itu dia menghampiriku dan menggenggam tanganku. "Jangan dilepas, nggak apa-apa walaupun kamu bau."
Ini kayak bukan Gevan yang pertama kali gue kenal, kenapa dia bisa semanis ini?
"Gev, gue lapar. Makan, yuk."
"Ke butik dulu, habis itu cari makan."
"Nggak! Gue mau makan, lapar."
Gevan menyentil keningku. "Manja! Yaudah, ayo."
Gevan memberhentikan mobilnya di depan sebuah restoran Jepang, dan aku bukan tipe orang yang suka makanan jepang, rasanya aneh menurutku. Lebih baik aku makan di warung kaki lima pinggir jalan.
"Gev, gue nggak mau di sini."
"Terus?"
"Di warung bebek H. Slamed yang ada di Cibinong-Bogor."
Mampus, gue kerjain lo.
"Kan di Jakarta juga ada, masa harus ke Cibinong buat makan bebek doang, macet terus jauh."
Aku menyeringai, kuikuti permainanmu Gevan. "Ini permintaan anak kamu, Sayang," ujarku sembari mengayunkan lengannya.
"Sial."
Emang enak gue kerjain?
"Oke." Gevan kembali melajukan mobilnya.
Sebenarnya aku tidak tahu apa yang membuat Gevan benar-benar ingin menikahiku, apakah aku harus bertanya atau menunggu dia cerita sendiri?
Tak lama kemudian mobil Gevan berhenti di depan sebuah minimarket. "Beli roti dulu buat ganjal perut kamu." Setelah itu dia keluar dari mobilnya.
Kenapa dia semakin manis? Nggak boleh baper. Ingat dia cowok b******k, paling ini modus dia doang buat naklukin hati gue. Oke, Sha. Calm down.
Tak lama kemudian dia datang menenteng sekantong plastik yang berisi roti dan beberapa camilan, juga air mineral.
"Makan ini dulu, Cibinong masih jauh."
Aku hanya mengangguk, tidak tahu harus berkomentar seperti apa melihat sikapnya yang manis seperti itu.
Aku adalah pemula dalam hubungan asmara, masih buta akan hal mencintai, tidak lihai melihat hati yang tulus dan aku tidak ingin terjatuh ke dalam jurang memilukan, izinkan aku mencintai dan dicintai dengan seseorang yang mengantarkanku pada kebahagiaan yang hakiki.