Entah takdir seperti apa yang aku jalani, aku keukeh ingin nikah muda dan semesta mengirimkan seseorang yang ingin aku jauhi, aku sudah terlanjur masuk ke dalam permainan yang aku buat sendiri. Mau menyesal juga sudah tidak ada gunanya, yang bisa aku lakukan hanya pasrah dan ikuti alur yang ada.
Aku juga tidak tahu apa motif yang membuat pria itu bersikeras menjadikanku sebagai miliknya, kalau alasan cuma d**a saja, sepertinya bukan. Sebab, masih banyak wanita lain di luaran sana yang jauh lebih menarik dan aku yakin dengan ketampanan dan kemapanan seorang Gevan pasti akan mudah menaklukan wanita manapun, aku saja hampir jatuh ke pesonanya, namun setelah tahu kelakukannya aku jadi benci Gevan.
"Gimana kencannya?" Pertanyaan itu membuyarkan lamunanku, aku menoleh dan menghela napas kesal.
Abang Kevin duduk di sebelahku. "Pasti lo langsung jatuh hati sama Kak Gev, kan?"
Aku tersenyum miring. "Sama sekali nggak, dia laki-laki b******k yang nggak pengin aku jadikan suami."
Terlihat kening Abang Kevin mengernyit, sepertinya presepsi yang baru saja aku lontarkan adalah hal yang salah. "Sha, gue cukup dekat sama Kak Gev, dan dia laki-laki yang baik, dia sayang keluarganya."
"Sayangnya gue nggak bisa menilai seperti itu, karena kenyataannya dia laki-laki brengsek."
"Kenapa lo bisa beranggapan kayak gitu?"
Aku mengendikkan bahu. "Bagi gue, dia cuma laki-laki b******k yang haus akan s**********n wanita."
"LATHISA!"
Aku kaget mendengar bentakan Abang Kevin, dia bukan tipe pemarah tapi hanya karena itu bisa buat dia bentak aku? Aku tidak habis pikir sepenting apa Gevan buat Abang Kevin.
"Lo nggak bisa bilang seperti itu, dia Abangnya Kayla dan gue nggak mau lo menjelek-jelekkan semua yang ada hubungannya dengan Kayla."
Aku jadi mengerti, jadi hanya karena Gevan adalah kakaknya pacar dia.
Aku beranjak dari tempat dudukku. "Ini adalah hal yang paling gue takutkan, ketika abang-abang gue mulai jatuh cinta pasti gue bukan lagi princess yang katanya dulu akan selalu dilindungi." Aku menahan agar air mataku tidak tumpah. "Oke, fine. Gue nggak bakal menuntut lo untuk selalu menomorsatukan gue. Tapi please, jangan hanya karena dia kakaknya Kayla lo jadi bentak gue."
Setelah mengucapkan itu, aku langsung meninggalkan kolam renang dan menuju kamarku.
Aku mengambil pigura di atas nakas, di samping kanan dan kiri ada kedua abangku yang memeluk erat aku yang berdiri di tengah, foto diambil beberapa tahun lalu, sebelum mereka sibuk dengan kehidupan masing-masing. Kalau harus memilih aku tidak ingin tumbuh dewasa, aku ingin tetap menjadi adik yang selalu mereka sayang, tapi takdir semesta seakan menjauhkan ikatan saudara yang pada saat itu pernah sedekat nadi.
Tak lama kemudian, ada seseorang yang mengetuk pintu kamarku.
"Bang Kevin boleh masuk?" tanya seseorang dari luar.
"Masuk aja, nggak dikunci."
Abang Kevin langsung masuk ke kamarku dan memelukku erat, ia berbisik, "Maafin gue, gue nggak ada maksud buat bentak lo, asal lo tahu, sampai kapanpun lo akan tetap menjadi princess di hati gue, Sha. Lo adalah adik cewek gue satu-satunya dan gue sayang lo lebih dari apapun."
Aku terisak mendengar ucapannya, lalu dia melepas pelukannya dan menyeka air mata di pipiku. "Kenapa nangis?"
"Gue terharu."
"Lebay, nggak usah nangis, nanti makin jelek."
"Sialan."
Dia tertawa lepas, menggodaku sepertinya hiburan tersendiri.
"Jangan berubah, Bang."
"Lo kira gue power rangers yang bisa berubah?"
Aku ikut tertawa mendengar ucapannya, dasar Bangke.
"Yaudah sana tidur, udah malam." Dia mengacak rambutku. "Good night, jomblo nggak ada yang ucapin jadi gue yang ucapin."
"Anjir, night too."
Baru saja Abang Kevin hendak keluar kamar, tiba-tiba ada Abang Willy yang masuk ke kamarku. "Cie yang sebentar lagi nikah."
"Kata siapa? Orang gue ngaku kalah, bodo amat kalau harus kuliah karena gue nggak bisa cari calon suami dalam waktu tiga hari."
"Terus yang di bawah lagi ngobrol sama Mama dan Papa itu siapa?"
Aku melongo, bingung dengan ucapan Abang Willy, tanpa tunggu lama aku langsung keluar dari kamarku dan menuju ruang tamu, kakiku lemas saat melihat laki-laki yang aku temui tadi sore kini berhadapan dengan orang tuaku. Mati aja, Sha!
Aku menatap kedua orang tuaku. "Kenapa dia ada di sini?"
"Dia datang ke sini ingin melamarmu, besok dia akan datang sama orang tuanya untuk membicarakan mahar kalau kita setuju," ucap Papa.
Aku menggeleng. "Tisha nggak mau nikah sama dia."
"Kenapa? Bukankah ini yang kamu mau menikah muda dengan laki-laki yang mapan, terus sekarang kamu berubah pikiran untuk kuliah?"
"Iya, aku mau kuliah aja. Setelah aku pikir-pikir kuliah lebih penting saat ini daripada menikah."
Itu hanya alibiku saja, daripada aku harus tersiksa menjadi istri dari laki-laki b******k ini, lebih baik aku tersiksa menjadi mahasiswa. Membayangkan saja satu rumah dengannya adalah hal mengerikan.
"Kalau Quin mau nikah sambil kuliah nggak masalah, Om. Saya yang akan tanggung semua kebutuhan dia."
"Nggak mau!" tolakku.
"Om terserah sama Tishanya aja," tutur Papa.
Terlihat laki-laki itu tersenyum licik, dia beranjak dari sofa dan menghampiriku, dia berjongkok dan mengelus perutku. "Kasihan kalau anak kita harus tumbuh tanpa seorang ayah."
Aku terkejut mendengar ucapannya."Bohong, jangan fitnah."
"Tisha, apa benar?" tanya Papa, sedangkan Mama terlihat shock.
Aku menggeleng.
"Ngaku aja, Sayang. Aku akan bertanggung jawab sebelum perutmu besar."
Kemudian dia mengeluarkan sesuatu dari saku jaket denimnya, lalu menyerahkan ke Papa. "Ini adalah hasil dari dokter yang menyatakan Quin positif hamil."
Papa langsung membacanya dan langsung beranjak dari tempat duduknya untuk menghampiriku. "Memangnya Papa pernah mengajarkan kamu jadi w************n, hah?"
"Pa, itu rekayasa."
"Nasi sudah menjadi bubur, menikahlah dengan Gevan sebelum perutmu membesar!" ucap Papa final.
Aku merasa tubuhku akan ambruk, duniaku akan hancur, dasar laki-laki b******k, aku menyesal pernah kenal dengan laki-laki seperti dia.