3. Ternyata Dia

1018 Kata
Aku harus cari calon suami dalam waktu tiga hari? Yang benar saja. Dikira cari suami seperti cari kutu? Aku memutar otak untuk mendapatkan ide, apakah aku harus meminta Tito untuk menjadi suamiku? Tidak mungkin, dia bukan kriteriaku, untuk makan saja dia masih minta orang tua. Atau pria yang aku temukan kemarin? Tidak. Dia b******k. Cari jodoh online? Apa aku harus download aplikasi Tantan, Mico atau Say Hi? Ah tidak, yang ada aku dapat jodoh yang tidak sesuai harapan. Bisa saja di foto dia tampan, aslinya lebih dari kata biasa. Bisa saja dia ngaku mapan, tahunya kere atau masih minta jajan ke orang tua. Yang kenal dunia maya banya fake. "Udah nyerah aja." Tiba-tiba Abang Willy masuk ke kamarku. "Apa enaknya nikah cepat-cepat, jadi mahasiswa itu menyenangkan." Aku tersenyum kecut. "Terima pelajaran pas sekolah aja rasanya kepala gue mau pecah, apalagi berhadapan sama materi kuliah dengan segala tugas-tugasnya, dan sekarang Bang Willy lagi sibuk skripsi kan? Gue nggak kebayang kalau gue yang jalanin, bisa-bisa gue buang itu skripsi ke laut." Di antara aku dan kedua abangku, memang aku yang paling b**o, bukan b**o sih, cuma kurang pintar, aku susah tangkap materi, jadi bikin malas belajar. Makanya aku mau punya suami yang pintar untuk memperbaiki keturunan. "Terus mau nikah sama siapa?" "Makanya itu bingung." "Nikah aja sama guling." "Sialan." "Coba minta bantuan ke Kevin, kakaknya pacar Kevin itu masuk kriteria lo, tapi gue nggak yakin sih dia mau." Aku mendelik kesal, masih bisanya dia meremehkanku tapi tetap saja informasinya sangat berharga, aku langsung melenggang keluar kamar menuju kamar Abang Kevin. "Bangke ... " Aku langsung naik ke atas kasurnya. "Apaan bangke-bangke, gue tenggelemin tahu rasa lo." Aku hanya memasang cengiran. "Bang, bantuin gue dong." "Apaan?" "Kenalin gue ke pacarnya kakak Bang Kevin." "Hah?" Aku langsung menepuk jidat, karena kesalahan memilih kosa kata. "Maksud gue, kenalin kakaknya pacar Bang Kevin ke gue." "Buat apa?" "Mau diajak nikah." "Gila, cari sendiri. Ya kali gue kenalin ke dia." "Please, kenalan aja dulu. Endingnya kayak apa biar jadi urusan nanti." Harapanku sekarang hanya Bang Kevin. Semoga abangku yang kurang ganteng ini mau membantu adiknya yang cantik ini. "Boleh deh, asal lo ngasih gue duit jajan." "Iya duit jajan gue semua buat lo deh." Dia tersenyum puas, dasar abang kurang ajar. "Oke, nanti gue atur pertemuan kalian." "By the way, nama dia siapa?" "Gevan Arjuna Prasetya." Setelah Abang Kevin menghubungi dia dan langsung disetujui, akhirnya sekarang aku sedang bersiap-siap, memakai gaun terbaik yang aku punya, memoles make up secantik mungkin, aku ingin memiliki kesan menarik di pertemuan pertama nanti. Sumpah aku deg-degan, jantungku serasa mau copot. Setelah siap, aku langsung turun ke lantai bawah. Di sana sudah ada Abang Kevin yang akan mengantar ke tempat aku bertemu dia. "Dia itu usianya terpaut kurang lebih 9 tahun sama lo, jadi harus sopan," ujarnya saat jalan ke arah garasi mobil. "Pasti, gue mau jaga image depan calon suami." "Pede banget anjir." Abang Kevin melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang, sembari ditemani lagu love dari Keyshia Cole. "Lo tahu nggak pas dibawain sama Anneth jagoan gue di audisi Indonesia Idol lagu ini, asli keren parah." Abang aku yang satu ini memang sangat suka acara musik yang satu itu, apalagi ada Anneth yang katanya sudah cantik, jago nyanyi, paket komplit sekali. Salah satu syarat buat jadi pacar dia, harus bisa nyanyi biar bisa diajak duet, karena Abang Kevin sendiri adalah anak Band yang suka manggung di kafe. "Lo gebet aja noh si Anneth." "Kalau bisa juga gue mau, tapi sayang dia non Islam, kalau gue pacaran sama yang nggak seiman bisa dihajar sama Mama dan Papa." "Lagian lo udah punya pacar, nggak usah maruk." Dibanding Abang Willy, dia ini lebih banyak bicara, sering aku cap laki-laki bermulut nyinyir, tapi biar bagaimanapun aku lebih dekat sama Abang Kevin daripada Abang Willy, mungkin karena usia kita yang tidak terpaut jauh. Tak berapa lama mobil berhenti tepat di depan sebuah kafe, aku menoleh. "Ini tempatnya?" "Iya, cari di meja 26." "Siap, aku udah cantik?" "Iya, cantik. Sana cepat." Aku langsung bergegas keluar dari mobil dan masuk ke dalam kafe, mataku terus mencari meja nomor 26, setelah menemukan aku menarik napas dan melangkahkan kaki dengan gaya slow motion. Harus jaga image. "Hai," sapaku saat aku sudah berdiri di sebelah pria yang menungguku. Dia menoleh dan aku sangat terkejut melihatnya, begitupun pria itu, tapi sedetik kemudian dia mempersilakan aku duduk. "Saya pulang aja." Dia berdiri dari tempatnya, langsung mencekal pergelangan tanganku. "Kamu sendiri yang mau kita bertemu. Tapi kenapa kamu pergi?" "Saya nggak tahu kalau pria itu kamu." "Memangnya kenapa kalau itu aku?" "Karena kamu brengsek." "Karena kamu belum mengenal aku lebih dalam, makanya kamu bilang aku brengsek." "Oh ya? Pertemuan pertama kita udah buat saya tahu siapa kamu." "Duduk atau aku suruh adik aku buat putus sama Kevin?" Huh diancam, kurang ajar dan ancamannya menyangkut Abang Kevin. Mau tidak mau aku langsung duduk di hadapannya. "Kita kenalan dulu," Dia mengulurkan tangannya dan aku menyambutnya dengan ogah-ogahan. "Gevan Arjuna Prasetya, panggil aja Gev." "Tisha," ujarku singkat. "Panjangnya?" "Lathisa." "Cuma sekata?" Aku menghela napas. "Lathisa Quina Salsabela, puas?" Setelah itu aku melepaskan tangan dia. "Quin." "Tisha, not Quin." "Aku maunya Quin karena kamu ratu di hatiku." Astaga, selain b******k dia juga tukang gombal, dasar pria tua alay. "Tapi itu kan Queen bukan Quin." "Bacaannya tetap sama kan?" "Iya terserahlah." "Gev dan Quin bagus banget masuk undangan." Rasanya aku pengin muntah mendengar ucapannya, sumpah aku tidak mau menikah dengannya, apa ini yang namanya terjebak sama permainan sendiri? "Kamu mau makan apa?" "Nggak lapar." "Yaudah kita jalan, ke mana maunya?" "Pulang." "Enak aja, kamu sendiri yang minta ketemuan." "Dasar Om-Om." "Apa kamu bilang?" "Aku belum setua itu." "Emang benar, umur situ kan 27 tahun, saya baru 18, berarti situ Om-Om." "Nggak sopan ya kamu. Jangan bilang 'saya' dong pake 'aku' aja, formal amat kayak ngomong sama presiden." "Bawel." "Aku tahu permasalahan kamu sekarang, aku bisa bantu kamu tapi kamu harus turuti perintahku." Siapa dia? Keluarga bukan, orang tua bukan, abang bukan, teman bukan, sok-sok'an ngatur. "Aku bisa jadi suami kamu biar kamu terbebas dari kuliah yang kamu benci." Aku melongo mendengar ucapannya, dasar Bangke sialan, ngapain lo cerita-cerita.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN