Hal pertama yang aku lihat saat buka mata adalah ruangan serba putih yang bau obat-obatan sangat menyengat, dan saat aku mengedarkan pandangan ke sekeliling aku melihat pria yang waktu itu mengejarku, dia tersenyum ramah, namun aku sama sekali tak membalasnya.
"Kenapa saya bisa ada di sini?"
"Kamu pingsan setelah nabrak tiang, terus aku bawa ke sini."
"Saya mau pulang," ujarku yakin.
"Kamu udah nggak pusing?"
Aku menggeleng, karena memang keadaanku sudah jauh lebih baik.
"Oke, aku antar."
"Saya bisa sendiri."
"Tasmu ketinggalan di tempat pingsan tadi, otomatis hape sama dompetmu di situ kan?"
"Astaga Tuhan."
"Jadi nggak ada pilihan lain. Aku urus administrasi kamu dulu." Setelah mengucapkan itu, dia keluar dari ruangan ini.
Sialan, aku benar-benar terjebak dalam kondisi terburuk yang pernah aku alami dalam hidupku. Tuhan, lindungi aku dari orang yang punya niat buruk. Lebih baik sekarang kabur, bodo amat kalau aku harus pulang jalan kaki, asal aku nggak ketemu lagi sama pria b******k itu.
Aku lepas infus dari tanganku dan segera turun dari ranjang sempit ini, baru beberapa langkah tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka. Bunuh saja aku, Tuhan.
Dia menghampiriku dan menggandeng tanganku, namun aku langsung menepisnya. Seharusnya aku senang karena akhirnya ada seorang pria selain Papa, kedua abangku dan Tito yang menggandeng tanganku, tapi aku justru merasa risih berada di dekatnya.
Aku dan dia berjalan beriringan dengan hening, aku sama sekali tidak ingin mengajaknya ngobrol, dan sepertinya dia pun begitu.
"Maaf tadi aku khilaf," ujarnya saat aku dan dia masuk ke dalam mobil.
Aku menoleh, ini aku nggak salah dengar? Dia minta maaf? Sebenarnya dia pria yang baik atau bukan? Tapi aku harus tetap waspada, dengan perlakuan dia yang seperti tadi aku belum bisa menyimpulkan kalau dia pria yang baik.
"Kelemahanku adalah dadamu."
Mataku langsung turun ke arah d**a, memang gaun yang aku kenakan belahan dadanya sedikit terbuka. "Kenapa saya?"
"Entah, yang jelas saat melihatmu tadi, mataku langsung tertuju ke dadamu, dan jujur aku terangsang."
"Yaudah cepat antar saya pulang, sebelum kamu semakin aneh."
Akhirnya dia mengangguk dan mulai menjalankan mobilnya.
Setelah sampai di rumah, aku langsung mandi, sumpah hari ini adalah hari yang melelahkan, hampir diperkosa, lari-lari sampai kejedot tiang. Biarlah apa yang terjadi hari ini menjadi rahasiaku.
Seakan sudah menjadi suatu rutinitas dalam keluargaku, sesibuk apapun kita harus menyempatkan makan malam bersama agar keharmonisan keluarga tetap terjaga.
Seperti malam ini kita semua sudah berkumpul dalam meja makan yang sama.
"Sha, kamu udah Papa daftarkan di kampusnya abang-abangmu," aku hampir tersedak nasi saat mendengat ucapan Papa.
"Tisha udah bilang, Pa. Aku nggak mau kuliah?"
"Lalu kamu mau jadi apa, hah?" Suara Papaku naik satu oktaf, jujur baru kali ini aku mendengar suara Papaku setinggi ini.
"Aku mau nikah."
"Jadi kamu serius?"
Aku mengangguk.
"Sama siapa? Siapa yang mau sama anak yang nggak tahu apa-apa kayak kamu? Sekolah yang tinggi biar kamu bisa dapatin suami yang setara."
Aku menghela napas. "Pa, nggak perlu sekolah tinggi untuk mendapatkan pria yang baik, aku percaya itu."
"Siapa? Bawa dia ke hadapan Papa, baru Papa percaya."
Papa adalah sosok ayah yang tegas, dan setiap ucapannya tidak pernah main-main. Lalu aku harus bawa siapa? Tidak mungkin Tito, atau pria tadi? Ah, itu lebih tidak mungkin.
"Nggak bisa jawab kan? Jadi nurut aja, nggak usah aneh-aneh."
Mama ikut bersuara, "Sha, nikah itu bukan cuma tentang enak-enaknya aja, banyak hal yang dipertimbangkan, bukan cuma kesiapan mental, kamu mau rumah tangga kamu nantinya nggak harmonis?"
"Kamu nurut aja, Sha." Abang Willy ikut memojokkanku.
Aku bisa merasakan Abang Kevin mengelus punggungku. "Menurut Kevin kalau Tisha mau nikah di umur sekarang nggak masalah, dan yang lebih penting dia nggak mau kuliah, misal dia tetap paksa kuliah pasti nggak akan berjalan lancar karena sesuatu yang dipaksa itu nggak akan baik."
Aku bersyukur, di saat yang lain menentang keinginanku, ada Abang Kevin yang mendukung.
"Oke, kita buat perjanjian. Papa kasih waktu 3 hari buat Tisha bawa calon suaminya ke hadapan Papa, kalau dalam waktu 3 hari Tisha nggak bisa membuktikan, maka Tisha harus kuliah!"
Aku tidak tahu dalam waktu tiga hari bisa membuktikan ke Papa.
"Deal?" lanjut Papa.
Aku mengangguk pasrah. "Deal."
Semesta tolong berpihaklah kepadaku.