Saras tertidur pulas dengan ponsel masih menyala. Dia menikmati alur cerita yang terjadi di mimpi. Kalimat demi kalimat yang ada hanyalah belaka. Meskipun, memiliki makna dan nasihat yang nyata. Ya, Saras bertemu dengan sang ibunda di alam bawah sadar saat tengah malam. Dalam mimpi itu ibu berkata, “semua yang sudah terjadi pada Ibu dan Bapak adalah takdir Gusti. Nggak seharusnya kamu menyesali kepulangan kami.”
“Astaghfirullah,” ucap Saras terbangun dari tidurnya.
Saras buru-buru mematikan ponsel, lalu menyambungkan dengan kabel untuk mengisi daya. Dia melirik ke jam dinding. Jarum pendek sudah berada tepat di angka tiga. Ia beranjak dari ranjang, kemudian melangkah ke kamar mandi. Secepat mungkin, dia menyucikan diri dengan aliran air keran untuk bersiap menghadap Tuhan. Sepertiga malam merupakan salah satu waktu Tuhan akan mengabulkan doa-doa hamba-Nya. Apalagi, dia pagi itu hujan deras menambah kenikmatan sembayang—menyejukkan.
Saras menghabiskan waktu kurang lebih dua jam—sampai selesai salat subuh— menghadap Sang Pencipta. Dia mengadu akan hari-harinya yang terasa berat dijalani seorang diri. Ada pula dia merasa terbebani dengan hatinya yang terlalu kotor, merasa bahwa Tuhan tidak adil dalam menyusun alur hidup. Padahal, Tuhan begitu hebat memberikan janji dan tidak akan mengkhianatinya dalam kehidupan setiap manusia. Jalan hidup Saras memang berliku dan penuh duri nan paku, tapi percaya atau tidak … Tuhan sudah menyiapkan hadiah istimewa untuknya. Hanya saja, Saras terlalu membesarkan rasa sakit hatinya.
***
“Saras, hari ini ikut saya ke pelosok, ya. Saya akan berangkat jam sepuluh,” ajak Arsyil. “Saya mau kamu ikut survey supaya ada gambaran untuk membuat copy writing dalam menyusun caption sosial media.”
Wanita dengan kemeja biru muda dan celana kulot putih itu mengangguk pasrah, sambil mengamati punggung Arsyil yang semakin menjauh dari pandangannya. Masih terlalu dini untuk memulai rencana. Lebih baik ikuti alur sesuai prosedur perusahaan. Mengusahakan bangun branding di depan Arsyil dan rekan-rekan di tempat kerja. Begitulah pikiran kotornya sambil menarik kursi hitam yang ada di bilik nomor empat.
“Saras, data-data customer sudah aku kirim ke komputermu, ya. Semoga betah bekerja di sini bersama kami,” ucap salah seorang karyawan yang baru saja menghampiri Saras. “Aku lanjutin kerjaanku dulu. Kalau ada pertanyaan, bisa panggil aku,” sambungnya.
Saras mengangguk melemparkan senyum, matanya membaca name tag di baju rekan kerja. Ternyata, dia bernama Hira. Cewek bergamis putih dengan kerudung pashmina menutup bagian depan dengan sempurna. Mungkin, dia bisa dikatakan wanita idaman mertua.
Kurang lebih dua jam kemudian, Arsyil berdiri di depan meja Saras untuk mengajaknya pergi. Saras pun buru-buru menutup file data customer. Dia dari pagi berusaha mengenali tipe-tipe orang yang sudah b**********n. Hal itu dia lakukan agar memudahkan saat berkomunikasi. Sebab, Saras bekerja di bagian admin sosial media dan pemasaran online.
“Jalan sekarang, Pak?” tanya Saras mengambil tas ransel warna hitam miliknya.
Arsyil tersenyum tipis sambil mengangguk, lalu membalikkan badan. Dia melangkah lebih dulu meninggalkan bilik itu menuju halaman gedung. Sedangkan, Saras mengekor seperti bebek-bebek saat diajak pergi mencari makan.
“Kamu duduk depan, Ras. Masa kamu mau duduk di belakang?” celetuk Arsyil yang sudah duduk di bangku kemudi, sambil menatap tajam perempuan yang masih membeku di samping mobil pick up.
Saras pun menuruti perintah dari atasannya. Mereka duduk bersebelahan, seperti pasutri korban perjodohan. Pandangan mereka sama-sama lurus ke depan, tanpa ada back sound alami yang memecahkan keheningan.
***
Setelah menempuh perjalanan kurang lebih satu jam setengah dengan melintasi jalanan berkelok dan naik-turun, akhirnya Saras dan Arsyil tiba di tempat. Mereka mendatangi lahan sawah salah satu customer. Menurut data yang Saras ketahui, pelanggan itu sudah memberikan kepercayaan kepada PT Kembara selama kurang lebih lima tahun dengan menggunakan produk-produk unggulan. Bahkan, terjamin kualitasnya.
Program survey seperti ini sudah dilakukan sejak lama. Tujuannya, selain untuk mengevaluasi kualitas produk, Arsyil ingin mengeratkan tali silaturahmi. Saat ini, mereka sedang mengamati keefektifan produk obat khusus membasmi ulat pada tanaman cabai. Arsyil ingin memastikan pestisida itu tidak merusak tanaman.
“Pak, sejauh ini tanaman di sawah aman, ya?” tanya Arsyil menyentuh satu tangkai pohon cabai yang mulai berbuah. “Obat yang disemprotkan nggak merusak pohon, ya, Pak?” sambung Arsyil, lalu berjongkok untuk memastikan kondisi pohon yang kuat.
“Aman, Pak. Ulat-ulat yang tadinya menghabisi daun sudah ndak ada lagi,” jawab pria berkaos panjang lengkap dengan sepatu boot, topi, dan menggendong tank penyemprot tanaman.
Arsyil berdiri, lalu mengajak petani itu berkeliling. Sambil berjalan melalui tepi sebelah kanan, Arsyil meminta kepada Saras untuk mengambil beberapa gambar untuk dokumentasi. Apalagi, melihat kondisi tanaman yang ada di sawah itu bisa dijadikan review di sosial media—strategi marketing.
Mendapatkan mandat, Saras pun mengeluarkan ponsel dari tas ransel. Dia mengambil gambar Arsyil dan petani yang sedang berbincang membahas seputar dunia pertanian. Mulai dari harga jual yang menurun drastis, hingga hama-hama yang mulai bermunculan dalam beberapa waktu terakhir. Saras melanjutkan pekerjaannya, dia berjalan melalui jalan yang berbeda. Dia mulai mengambil gambar tanaman cabai dengan begitu apiknya. Namun, aktivitasnya terhenti saat berdiri di tengah-tengah lahan sawah. Saras memasukkan ponsel ke dalam tas ransel, lalu berjongkok mengamati lebih teliti tanaman yang ada di area itu.
“Biar nggak layu,” ucap Saras tersenyum tipis, setelah menyirami satu baris tanaman cabai. Dia menyiramkan satu air dalam ember yang sudah dicampur dengan pestisida.
Berhubung sinar matahari sudah terasa di atas kepala, Saras pun melangkah kembali ke tempat semula. Ternyata, di sana sudah ada dua pria yang menunggunya. Bahkan, mereka kebingungan mencari keberadaan Saras yang tertutup dengan lebatnya daun pohon cabai yang tumbuh tinggi.
“Loh, kok bawa ember?” tanya pria dengan topi cokelat lusuh dan kotor.
Saras baru teringat bahwa ember itu belum dikembalikan ke tempat semula. “Oh, iya, Pak. Tadi kebawa sama saya,” balas Saras, lalu memberikan benda itu kepada pemiliknya.
Petani itu melirik ke dalam ember. Dia menyadari ada yang berbeda dengan isinya. Bukan berganti cairan, melainkan volume air yang berkurang. Petani itu masih ingat seberapa banyak air yang dia tuangkan ke ember itu. Padahal, dia belum sempat menggunakannya. Namun, bapak tua itu berpikir, “mungkin Mbak Saras ndak sengaja menumpahkan cairannya. Semoga saja ndak ada masalah sama tanaman cabai.”
“Pak Arsyil, Mbak Saras, mari makan siang,” kata petani itu duduk di galengan, lalu membuka rantang merah yang dia bawa dari rumah sejak pagi.
Mereka duduk beralaskan bagor putih. Pohon pinus menjadi tempat berteduh sembari menikmati pemandangan yang menakjubkan. Gunung yang masih aktif di kota itu terlihat lebih dekat dan jelas. Selain itu, Saras terheran dengan penduduk lereng gunung yang masih banyak, bisa dilihat padatnya pemukiman warga. Seakan-akan, mereka tidak takut sewaktu-waktu gunung itu mengamuk. Saras mengalihkan pandangannya, dia melihat area persawahan warga dengan beraneka ragam tanaman sayuran. Bahkan, ada yang menanam bakau saja. Pertama kalinya bagi Saras menginjakkan kaki di sebuah desa yang ada di kecamatan berinisial D. Di tempat tersebut juga ada satu pos pengamatan gunung aktif.
“Pak, seandainya ada masalah akibat pemakaian produk dari toko Pak Arsyil … Apa saya boleh komplain dan meminta pertanggungjawaban?” tanya petani itu dengan ragu—penuh firasat tidak mengenakkan hati, setelah meneguk air putih dari botol bekas minuman kemasan.