Bab 4. Human Error

1106 Kata
“Tentu saja, Pak. Silakan datang ke toko atau menghubungi melalui media sosial ataupun nomor kontak kami,” jawab Arsyil dengan ramah. “Memang, saat ini Bapak merasakan apa? Bukannya tanaman cabai subur dan lebat?” “Nggak tahu, Pak. Saya merasa ada yang mengganjal. Kalau sampai gagal panen, saya rugi banyak. Produk pertanian yang saya gunakan dari toko Pak Arsyil harganya lumayan mahal semua.” Bapak petani menunduk sejenak, lalu mengamati Arsyil yang mengangguk memahami kekhawatiran konsumennya. Padahal, sesuai uji coba sebelum diedarkan jika produk digunakan sesuai dosis tidak akan memengaruhi tanaman menjadi buruk. Kecuali, cuaca dan keadaan alam memburuk. “Saya akan bertanggung jawab, Pak. Asalkan, penyebabnya ada indikasi kesalahan dari produk kami.” Arsyil pun sadar, sebaik-baiknya produk pasti akan ada human error ataupun mesin mengalami kesalahan teknis saat proses pembuatan produk. Seperti, lalai memasukkan formula bahan-bahan. Pembuatan sebuah produk pasti membutuhkan takaran yang sesuai untuk mempertahankan kualitas. “Pak, saya tinggal dulu, ya. Masih ada pekerjaan lain. Kalau ada apa-apa, tinggal hubungi kami. Toko buka bukan untuk jual-beli, tapi kami akan melayani komplain konsumen juga,” sambung Arsyil beranjak dari galengan diikuti oleh Saras. *** “Saras, mau makan apa?” tanya Arsyil menatap lurus, fokus menyetir. “Kebetulan hujan, jadi makan soto saja, ya. Tadinya, saya mau mengajak makan nasi goreng di warung langganan saya.” Dih, apa fungsinya tanya kalau akhirnya diputuskan sendiri? Saras mengangguk tunduk. Saras tahu betul, mendebat pria itu akan berujung blunder. Dia memilih mengikuti permainan Arsyil untuk melindungi diri. Baginya, masih ada banyak rencana yang harus berjalan sampai mendapatkan tujuan bekerja bersama Arsyil. “Terserah, Bapak.” “Kalau sudah lewat jam kerja … Stop call me Bapak, Saras,” kata Arsyil sambil tertawa kecil. Rupanya, pria seperti Arsyil mengetahui trend anak muda. “Kamu cukup nyeluk saya Mas,” lanjutnya berusaha mencairkan suasana, tidak seperti saat perjalanan tadi pagi. “Iya.” Saras mengalihkan pandangan ke samping, menikmati jurang-jurang dan rindangnya pepohonan di wilayah pegunungan itu. Beberapa waktu kemudian, mereka sudah jauh dari desa dengan jarak radius 5 km dari puncak gunung aktif. Kini, mereka berada di sebuah warung sederhana tidak jauh dari sebuah pasar. Tempat transaksi jual-beli tradisional yang tidak begitu besar. Namun, di sana seakan menjadi pusat jual-beli sayur mayur hasil petani. Berada di warung soto dengan pintu dan gerobak serba biru, Arsyil dan Saras menikmati soto ditemani hujan deras yang masih mengguyur. Keduanya menempati meja paling depan agar bisa melihat situasi di luar bangunan yang berdiri kokoh di pertigaan Pasar Soka yang ada di Jalan Sengi, Sewukan. “Saras, sebenarnya kamu itu berpotensi bekerja di perusahaan yang lebih besar. Bahkan, mereka bisa memberikan jabatan tinggi. Kenapa kamu malah mendaftarkan diri di perusahaan saya yang belum semaju perusahaan di luar sana? Apalagi, kamu sudah terbiasa dengan kehidupan industri tengah kota.” Arsyil mengambil segelas jeruk hangat. Jangan sampai salah memberikan jawaban. “Asal saya dari desa. Kalau ilmu yang saya punya bisa untuk kemajuan yang ada di desa, kenapa tidak?” Saras diam sejenak. “Mungkin menjadi admin sosial media menjadi awal karier saya. Berada di bagian ini juga tidak menyeleweng jauh dari jurusan yang saya ambil sewaktu kuliah.” “Tapi, kamu harus mempelajari copy writing dan mengamati trend yang sedang ada.” Saras mengangguk. “Itu tantangan baru untuk saya. Adanya pergantian waktu, kita juga harus cepat menyadari adanya perubahan. Bukan hanya sadar, kita juga harus bisa mengikuti era digital ini. Waktu kuliah pun yang Bapak katakan sudah dipelajari, meskipun mungkin tidak spesifik jurusan yang berkaitan.” Saras mengambil ponsel dari dalam tas ransel saat melihat Arsyil kembali menikmati satu porsi soto miliknya, lalu Saras berselencar di sosial media untuk membuang jenuh menunggu hujan tak kunjung mereda. Setelaha lima menit menikmati soto, Saras tersadar ada yang aneh. Dia terbiasa makan makanan berkuah ditambah dengan gorengan. Akhirnya, dia memilih beranjak dari bangku plastik untuk menghampiri pemilik warung yang sedang menyiapkan stok gorengan. “Maaf, Bu Endang, saya boleh minta tambah tempe goreng yang masih hangat?” kata Saras dengan sopan berada di samping ibu-ibu yang sedang berkutat dengan wajan berukuran besar. Sebenarnya, Saras tidak mengenal nama penjualnya, tapi banner yang terpasang di depan warung menuliskan nama yang sudah diucapkan. “Boleh, silakan ambil sendiri yang sudah ada di serok,” jawabnya. Saras mengambil dua tempe, lalu kembali ke tempat duduk dan melanjutkan aktivitas mengisi perut. *** Keesokan harinya, Saras sudah duduk di meja kerjanya. Dia mulai membuka laptop. Perempuan dengan celana cream itu sudah bersiap untuk menunaikan kewajiban sebagai karyawan. Saras memulai dengan membuat agenda yang dimulai dari pukul delapan sampai empat sore nanti. Dia sudah terbiasa bekerja dengan sistem terjadwal dan terencana. Ada banyak manfaat dari sistem kerja yang Saras buat untuk diri sendiri. Selain menghindari waktu yang terbuang sia-sia, dia tidak ingin ada hal kecil terlewatkan karena terlalu menonjolkan pekerjaan yang menjadi prioritas. Di mana, Saras harus meningkatkan algoritma sosial media dan melayani followers, serta konsumen melalui sosial media. Padahal, ada hal kecil yang harus dia kerjakan. Misalnya, mengamati trend dengan niche yang sama. Jangan sesekali kalian pikir admin sosial media merupakan pekerjaan yang mudah. Padahal, mereka dituntut untuk menaikkan algoritma dan membuat konten yang menarik khalayak agar akun tersebut berkembang. Selain itu, admin sosial media juga harus merahasiakan password akun-akun yang dimiliki. Baru dua menit setelah Saras selesai membuat jadwal kerja, dia melihat Hira tengah ribut dengan Arsyil di ruangannya. Entahlah, apa yang mereka sedang bahas. Saras pikir, dia tidak ada kapasitas untuk ikut campur. Cukup menunggu panggilan untuk rapat membahas permasalahan yang sedang terjadi. “Kita patut selidiki penyebabnya,” ucap Arsyil dengan tegas, lalu meninggalkan ruangan Hira. Pria dengan kaos hitam itu melangkah menuju tempat menyemai benih berbagai jenis tanaman sayuran dan cabai. Saras mengintip ke ruangan Hira, lalu berkata lirih, “oke, ada celah lebih besar untuk terus melancarkan rencanaku.” Di ujuang sana, Hira terlihat kebingungan untuk mencari penyebab permasalahan. Padahal, dia sudah teliti dalam mengerjakan tugasnya. Saras kembali mengerjakan pekerjaannya. Dia mulai memikirkan caption untuk mengunggah foto hasil survey ke pelosok. Belum juga masalah Hira terselesaikan, tiba-tiba saat jam istirahat ada gosip yang menggemparkan. Ada banyak komplain dari customer yang masuk. Kata mereka, pestisida yang dijual PT Kembara sudah kadaluarsa. Ada juga yang komplain tanamannya jadi hancur karena penggunaan obat. Padahal, sebelumnya tidak ada masalah. Tepat pukul dua belas siang, Arsyil mendatangi satu ruangan yang digunakan karyawan untuk istirahat. “Kita harus mencari tahu siapa di balik semua ini! Tadi, laporan keuangan ada selisih yang cukup signifikan. Penjualan kita meningkat, tapi kenapa malah mengalami kerugian? Sekarang, ada banyak komplain mendadak. Saya rasa ada yang tidak beres di sini.” Arsyil berdiri di ambang pintu, sambil menatap ke semua karyawannya seakan mengintimidasi.

Cerita bagus bermula dari sini

Unduh dengan memindai kode QR untuk membaca banyak cerita gratis dan buku yang diperbarui setiap hari

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN