Bab 2. Bintang Kegelapan

1091 Kata
Saras menatap Arsyil yang tengah berdiri di depan minimarket. Pria itu mengenakan setelan santai—kaos berkerah warna hitam dan celana pendek model cargo warna putih. Wanita dengan pakaian yang sama sejak pagi memberikan senyum, sok terlihat ramah di depan atasan daripada dipecat mendadak. “Pak, mari masuk,” ajak Saras basa-basi, lalu melangkah memasuki gedung berisikan rak-rak display barang dagangan dengan berbagai merk. Saras melangkah lebih cepat mengelilingi setiap sudut rak untuk mencari barang-barang yang dibutuhkan. Kakinya terhenti di rak makanan instan. Dia mengambil beberapa bungkus mi dari salah satu merk terkenal di Indonesia. “Coba varian baru, deh. Penasaran sama rasanya. Soalnya kalau lihat review berkuah hitam.” Saras mengambil satu bungkus mi varian rasa rawon pedas mercon, lalu dimasukkan keranjang. “Seriusan beli mi instan sebanyak itu, hmm?” Saras membeku sesaat, setelah mendengarkan bisikan di telinga kananya. Dia sudah hafal pemilik suara berat dan serak itu. Apa-apaan, pria itu seakan sedang menggodaku. Saras, harus bisa menahan diri. Batin Saras terus bergejolak mendengarkan suara yang terdengar candu di telinganya. Apalagi, Arsyil melontarkan kata “hmm” di akhir kalimat yang mampu membuat penggemar karya fiksi salah tingkah, termasuk Saras. “Nduk, kamu masih muda. Jagalah lambungmu. Kurang-kurangin maem mi instan.” Arsyil berbisik sambil memegang bahu kanan Saras, lalu melangkahkan kaki ke arah almari es. Dia mengambil satu botol air mineral. *** Sekitar pukul delapan malam, Saras sudah di kontrakan dengan setelan baju tidur. Rambut sepanjang punggung yang masih basah dibalut dengan handuk cokelat kesayangannya. Dia duduk di depan meja rias, tangannya mulai mengaplikasikan serangkaian skincare untuk merawat kulit. Salah satu rutinitas Saras sebagai bentuk reward atas keberhasilannya bertahan hidup di setiap harinya. Terkadang, manusia melupakan definisi berhasil. Mereka hanya terpaku pada gelar, jabatan, dan paling utama besarnya angka saldo rekening. Padahal, bisa bertahan hidup di gempuran masalah dan beban hidup adalah keberhasilan yang tidak ada nilainya. Bagi Saras, tentu saja memiliki pandangan berbeda dengan kebanyakan orang jauh lebih relevan. Andai kata selama ini Saras terlalu mengejar pekerjaan dengan penghasilan besar, saat ini dia sudah meninggalkan dunia. Terdengar suara dering dari ponsel Saras, dia pun beranjak menuju ranjang untuk mengambil benda pipih itu di kasur. Dia menerima sebuah pesan dari salah satu kerabat. Dia buru-buru membacanya karena daya baterai ponsel yang tinggal sepuluh persen. Saat keluar sore tadi, Saras lupa tidak mengisi daya terlebih dahulu. Bahkan, posisinya masih di tempat yang sama saat dia mendengarkan musik. [Saras, besok datang ke rumah, ya. Tante mau membicarkan mengenai penjualan rumahmu.] Begitulah isi pesan dari seseorang yang Saras labeli dengan sebutan tante. Sebetulnya, Saras sudah malas membahas hal itu. Entahlah, harta yang tidak seberapa itu justru menjadi alasan utama perpecahan antar saudara. Sudah dua tahun rumah itu laku, tapi Saras sama sekali tidak memegang wujud uangnya. “Dari dulu juga sudah dibahas. Tuh harta nggak ada apa-apanya dibanding nyawa, kenapa mereka selalu memperebutkannya? Apa mereka lupa kalau ada aku sebagai hak waris utama?” Saras mengisi daya ponsel tanpa membalas pesan itu terlebih dahulu. Dia melangkah ke dapur untuk menyiapkan makan malamnya. Kini, Saras menyibukkan diri di depan kompor. Dia memilih berkutat dengan panci dan peralatan lain untuk memasak mi instan dan membuat kopi. Hal itu menjadi kebiasaannya untuk mengalihkan perasaannya yang sedang buruk. Ya, dia benci dengan pembahasan mengenai harta yang Saras sendiri tidak tahu asal-usulnya, tapi selalu menjadi penyebab keretakan silaturahmi. “Apa itu sehat? Selama ini juga sudah sakit-sakitan,” lirih Saras sambil menuangkan mi dari panci ke mangkuk keramik berwarna biru. Dia seakan tidak peduli dengan makanannya yang bisa merusak organ dalam jangka panjang. “Begini banget hidup sendiri dituntut semuanya bisa sendiri. Sudah menjadi tulang punggung untuk diri sendiri, masih harus berperan sebagai tulang rusuk agar hidup terasa lengkap.” Mandiri? Memang ada perempuan yang benar-benar mandiri? Tidak ada. Kodrat seorang wanita itu ingin dimanja. Mereka menjadi sekuat dan semandiri itu dikarenakan oleh keadaan yang memaksanya. Kemudian, waktu terus berjalan menjadikan mereka terbiasa. Begitu juga dengan kehidupan Saras. Banyak orang yang beranggapan bahwa dia memiliki mental baja. Pada kenyataannya, dia hanya menjelma bintang yang hidup dalam kegelapan yang kesepian. Ingat, dunia ini hanya berisi gimik yang melelahkan. Saras membawa menu makan malamnya ke pojok dapur. Meskipun kontrakan itu berada di pedesaan, kondisinya tidak kalah estetik dari rumah-rumah megah yang dibangun di tengah perkotaan. Saras membuka kain penutup jendela untuk melihat situasi malam hari di samping bangungan berukuran tiga petak itu. Dia duduk di sudut ruang itu menikmati dua menu yang tidak cocok untuk penderita asam lambung, seperti Saras. “Kapan bisa merasakan punya keluarga lagi?” Saras menatap lurus ke jendela, dia menikmati sorot lampu jalanan. “Andai saja pria sialan itu nggak menabrak Bapak dan Ibu, aku nggak akan sehancur ini. Aku pun masih punya tempat untuk pulang saat merasa capek.” Nyawa harus dibayar dengan nyawa. Begitu juga dengan kehancuran. Saras memejamkan matanya sejenak. Dia tidak mengerti dengan dirinya sendiri. Setiap ada satu masalah baru dalam hidupnya, Saras merasa seakan-akan semua masalah yang sudah terjadi ikut menghantui pikirannya. Ia selalu tidak bisa mengontrol pikiran yang berujung meningkatkan rasa dendam. Tepat di suapan terakhir, Saras mendengar ponselnya berdering. Dia buru-buru ke kamar—meninggalkan peralatan makan dalam keadaan kotor di meja—untuk mengecek pesan masuk. Dia berdiri di depan meja berbentuk lingkaran dari kayu dan berwarna putih, tempat Saras mengisi daya ponsel. [Selamat malam, Saras. Saya mau memberitahu beberapa hal terkait pekerjaanmu. Pertama, jam kerja dimulai pukul delapan pagi. Kedua, pakaian kerja di Hari Selasa bebas. Asalkan sopan dan rapi. Terima kasih. Tertanda Arsyil.] Saras membacanya dalam hati, lalu mengetik balasan pesan tersebut. [Baik, Pak. Terima kasih informasinya.] Saras melepaskan handuk di kepalanya, lalu menaruh di jemuran kecil yang ada di belakang pintu kamar. “Kalau saja bukan atasanku … Dih, malas balas pesan dengan long text! Sabar, demi tujuan terbesarmu, Saras,” gerutunya. Tanpa membersihkan kontrakan dan mematikan lampu terlebih dahulu, Saras memilih merebahkan diri di kasur. Dia membuka salah satu sosial media dan menyibukkan diri dengan menonton konten-konten yang disuguhkan. Dia terhanyut dalam kelucuan, kesedihan, dan kesenangan yang dibuat oleh kreator hebat. Sampai tidak terasa, hal itu membuat Saras dalam kondisi moodswing. Apakah ini dikarenakan faktor hidup Saras yang terlalu flat? Saras masih menghadap ke layar hp yang menayangkan sebuah video. “Sakit, ya? Sabar, ya. Kamu nggak perlu mencari tahu lebih dalam lagi. Itu hanya akan menambah rasa sakitmu. Yakinlah, besok bakal ada waktumu untuk berbahagia. Tuhan sudah mengatur alur hidupmu dengan sempurna” Jleb. Kalimat itu terlalu menampar untuk Saras. Namun, apakah kalimat itu mempan menggagalkan rencana Saras? Entahlah, hati manusia bisa berubah-ubah setiap detiknya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN