Main Cantik

1244 Kata
Bagian 9 "Jangan kasar dong, Sayang. Apa kamu enggak kangen sama aku?" "Jangankan kangen. Menyebut namamu saja aku tidak sudi," balasku. Lelaki itu kembali berdiri, lalu merapikan penampilannya. Ia kembali mendekat. Cuih! Aku meludahi wajahnya. Hal yang dari dulu ingin kulakukan dan sekarang baru kesampaian. Ia tidak marah sama sekali. Dengan santai, ia menyambar tisu yang ada di atas meja, mengelap wajahnya, lalu ia mendekat lagi, kemudian meraih tanganku. Aku refleks menepis tangannya. Tak sudi disentuhnya. "Jangan galak-galak, dong! Please, kamu jangan memancing amarahku. Aku udah booking kamu. Jadi kamu harus nurut sama aku," titahnya. "Enggak sudi!" "Kamu enggak perlu jual mahal, Linda. Aku tau kalau kamu sedang butuh uang. Aku sudah membayarmu. Jadi sekarang layani aku." Allah, jika masih bisa memilih, aku lebih baik mati daripada harus melayani lelaki yang sudah menghancurkan hidupku itu. Masih kuingat kejadian lima tahun silam, saat lelaki itu mengucapkan kata-kata manis serta janji manis. Memuji, menyanjung, seolah ia sangat mencintaiku. Ia membuatku melayang, aku merasa disayang dan dicintai. Namun, setelah itu, ia malah merenggut kesucianku secara paksa. Mengambil apa yang tidak seharusnya menjadi miliknya. Setelah mendapatkan apa yang diinginkan, ia malah mencampakkanku, membiarkanku menanggung malu dan beban sendirian. Sementara dirinya malah hidup bahagia bersama gadis lain. "Ayo, duduklah di sini!" Ia menepuk kasur yang ada di sebelahnya, memintaku untuk duduk di sana. Aku bergeming, tak sedikitpun aku berniat menuruti keinginannya. "Apa aku harus berbuat kasar agar kamu mau nurut, Linda?" ancamnya. "Bukankah hanya itu yang bisa kamu lakukan? Apa kamu belum puas sudah merenggut kesucianku?" Kini aku menantang, menatapnya dengan tatapan tajam. "Itu masa lalu, Linda, tidak perlu diungkit lagi!" "Tidak perlu diungkit lagi kamu bilang? Enak betul kamu, ya!" "Aku membooking-mu bukan untuk membahas hal itu. Bahkan, aku sudah melupakan semuanya. Sekarang, aku hanya ingin melepas rindu denganmu, Linda. Mendekatlah, mari kita habiskan malam yang indah ini bersama-sama. Kemarilah!" Lelaki itu tak kehabisan cara. Ia mendekat, menatapku dengan sorot mata tajam sambil mencengkram pergelangan tanganku, lalu membawaku menuju ranjang. Apa yang bisa kulakukan? Apa aku masih bisa menjaga kesucianku? Entahlah! Melawan, aku tidak yakin bisa mengalahkannya. Ia adalah seorang lelaki, pasti lebih kuat dariku. Tuhan, tolong beri hamba jalan agar hamba bisa bebas dari lelaki ini. Aku tak berhenti berdoa. Meminta dan memohon kepada Sang Khaliq. Meskipun kecil kemungkinan aku bisa bebas dari sini, tetapi aku yakin kalau Allah tidak tidur. Tak terasa, bulir bening sudah mengalir dari sudut netra. Ya, hanya air mata yang bisa mengungkapkan bagaimana perasaanku saat ini. "Hey, kamu menangis?" tanyanya sambil menyeka air mataku dengan punggung tangannya. "Harus happy, dong, kita di sini buat senang-senang. Ayo, tersenyumlah, sudahi kesedihanmu," bujuknya. Ia berjongkok di hadapanku sambil menggenggam tanganku. Aku bahkan pasrah saat ia menggenggam tanganku. Tak ada perlawanan lagi. Seketika, terbesit ide di dalam benakku. Ya, aku harus bisa menaklukkan hatinya. Satu-satunya cara yang bisa kulakukan yaitu dengan kelembutan. Lelaki, jika dilawan dengan kekerasan alamat wanita yang akan terluka. Baiklah, aku akan bermain cantik. Akan kusentuh hatinya agar ia kasihan padaku. Dengan demikian, aku bisa memanfaatkannya. "Mas, aku yakin kalau kamu masih punya rasa belas kasihan. Kamu adalah orang baik. Kamu tidak mungkin tega memaksaku melayanimu. Seperti yang kamu lakukan dulu. Iya kan, Mas?" Aku mulai menjalankan rencanaku. "Belas kasihan? Apa maksudmu? Menurutmu, apa wanita hina sepertimu pantas dikasihani?" Degh! Tanganku mengepal seiring degupan jantung yang berpacu lebih cepat dari biasanya saat mendengar kata-kata itu keluar dari mulutnya. "Terserah kamu mau menganggap aku wanita seperti apa, Mas. Itu hak kamu. Tapi jika boleh, aku ingin meminta pertolonganmu. Aku mohon, tolong aku, Mas. Tolong selamatkan aku dan putriku. Leni yang memaksaku melakukan pekerjaan ini. Sejujurnya, aku tidak sudi. Namun, aku terpaksa karena Leni menyekap Fatimah. Tolong aku, Mas!" Kening lelaki yang duduk di sampingku ini mengernyit, seperti tidak percaya dengan apa yang kusampaikan. "Apa maksudmu? Jadi, ini semua bukan kemauanmu, begitu?" Aku mengangguk sambil memasang raut sedih di wajahku. "Bukankah dari dulu kamu sudah biasa melakukan pekerjaan seperti ini? Bahkan kata orang-orang, ketika di kampung, kamu sudah sering bergonta-ganti pasangan hingga mengakibatkan kamu hamil. Begitu, kan, kenyataannya?" Tuduhannya sungguh membuat hati ini sakit. Rasanya, ingin kucakar saja wajahnya. Tetapi aku tidak bisa melakukannya. "Tolong jaga bicaramu, Mas. Itu fitnah. Aku bukan wanita seperti itu. Kamu tega sekali, Mas. Asal kamu tau, hanya kamu lelaki yang pernah menyentuhku. Kamulah sumber penderitaanku, Mas. Gara-gara kamu, aku harus menanggung penderitaan. Dituduh sebagai wanita pezina, murahan, pembawa sial dan diusir dari kampung. Aku harus menjalani kehamilan seorang diri. Setelah itu harus membesarkan putriku seorang diri. Tidak cukup sampai di situ. Kamu dan para warga kembali memfitnah, bahkan sampai tega membakarnya gubuk yang kami tempati dibakar. Apa kamu belum puas melihatku dan putrimu menderita? Kenapa tidak kamu bunuh saja aku, Mas." Mas Yudis terdiam, wajahnya tertunduk. Aku tidak tahu ia merasa bersalah atau tidak. Yang jelas, semua yang kukatakan itu benar adanya. Bukan cerita yang dibuat-buat. "Jadi semua yang kudengar tentangmu itu tidak benar?" Mas Yudis kemudian memukul kasur. Mungkin ia kecewa kepada dirinya sendiri karena telanjur percaya dengan hasutan orang lain. "Itu artinya gadis kecil itu putri kandungku?" tanyanya lagi. Aku hanya menjawabnya dengan anggukan kepala. Sebenarnya aku sudah tidak peduli. Ia mengakui Fatimah sebagai anak kandungnya atau tidak. Yang jelas saat ini aku harus bisa membuatnya iba agar putriku bisa selamat. "Apa kamu bisa membuktikan ucapanmu? Kamu bersedia jika putrimu menjalani tes DNA?" "Jika memang itu yang kamu inginkan, aku bersedia, Mas." Mas Yudis pun duduk kembali di atas ranjang. Ia terlihat frustasi. Mas Yudis bahkan menjambak rambutnya sendiri. "Linda, maafkan aku, ya. Mungkin aku tidak akan bisa memaafkan diriku sendiri jika ternyata semua yang kamu katakan itu benar. Kamu bersedia maafin aku kan, Lin?" Aku diam, tak berniat menjawabnya. Sekalipun kamu mengakui Fatimah sebagai putrimu dan meminta maaf pada kami, aku tetap tidak bisa memaafkanmu, Mas. Hati ini sudah terlalu sakit. Tidak bisa diobati hanya dengan kata maaf saja. "Andai saja kamu tidak merenggut kesucianku dan menanamkan benih di rahimku, mungkin aku tidak akan menderita seperti ini, Mas." "Maafin aku, Lin. Aku benar-benar menyesal. Dulu, aku memang berniat menikahimu karena aku sangat mencintaimu. Namun, setelah Mama menceritakan semua tentangmu, aku sangat marah dan kecewa terhadapmu. Karena putus asa, aku pun menerima tawaran papanya Jasmine untuk menikah dengan putrinya." Kami pun mengobrol dari hati ke hati. Mas Yudis dengan sukarela menceritakan tentang rumah tangganya. Mulai dari awal mula pertemuannya dengan wanita itu, hingga akhirnya mereka memutuskan untuk naik ke jenjang yang lebih serius, yaitu pernikahan. Ternyata selama ini Mas Yudis tidak bahagia bersama istrinya yang bernama Jasmine itu. Bodo amat! Aku tidak peduli. Justru aku senang saat mengetahui semuanya. Kukira selama ini Mas Yudis hidup bahagia dengan anak dan istrinya. Ternyata aku keliru. Justru yang terjadi adalah sebaliknya. Rasain kamu, Mas! Emang enak? Aku pura-pura ikut sedih mendengar ceritanya. Padahal dalam hati aku merasa puas karena Mas Yudis kena karmanya. Itu belum seberapa. Setelah ini akan ada pembalasan yang lebih menyakitkan lagi. Tunggu saja tanggal mainnya. Malam ini, kami menghabiskan malam sambil bercerita banyak hal. Termasuk mengenang masa-masa dulu saat kami masih berstatus sebagai sepasang kekasih, padahal aku sama sekali tidak ingin mengingatnya lagi. Kenangan manis itu sudah lama kuhapus dari memori dan kuisi dengan dendam membara yang siap meledak kapan saja. Di hadapan Mas Yudis aku bersikap manis, padahal sebenarnya aku ingin sekali memukul dan mencaci makinya. Puas bernostalgia, Mas Yudis kembali meminta maaf atas kesalahannya, bahkan ia mengajakku menikah. Mas Yudis bilang ingin menebus semua kesalahannya. Ia ingin menjadi suami dan ayah yang baik untuk Fatimah. Aku pura-pura mengiyakan. Padahal aku hanya memanfaatkannya saja. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN