Bagian 8
Aku terduduk di atas tanah. Sejenak berpikir. Apa yang harus kulakukan?
Ingin minta tolong, tapi pada siapa? Tetangga kiri kanan seolah menutup mata dan telinga. Mereka tak peduli.
"Mama …." Putriku kembali memanggilku sambil menangis. Ia menggedor-gedor jendela kaca dari dalam sambil menatapku.
Kasihan putriku. Tak seharusnya ia menderita seperti ini. Sedari kecil hingga sekarang, aku belum bisa membahagiakannya. Aku belum bisa menjadi ibu yang baik untuknya.
Tidak! Aku tidak tega melihat air mata putriku. Aku akan menuruti perintah Leni meskipun itu bertentangan dengan hatiku. Apa boleh buat, aku tidak punya pilihan lain. Keselamatan putriku jauh lebih penting melebihi apapun.
Aku mendekat ke pintu, lalu mengetuknya. Pintu langsung dibuka oleh Leni dan putriku langsung menghambur ke pelukanku.
"Gak jadi pergi, Linda?" tanyanya sambil melipat kedua tangannya.
"Aku bilang juga apa? Pasti dia tidak sanggup ninggalin anaknya," sahut Roy sambil mengembuskan asap rokoknya.
"Bagus! Itu namanya sayang anak. Oh ya, Linda, aku tidak mau berbasa-basi lagi. Nanti malam kamu sudah harus bekerja. Sekarang cepat mandi. Aku udah siapin baju buat kamu. Dandan yang cantik karena aku akan mempromosikanmu. Cepat, sana!"
Aku menggeleng. Rasanya aku tidak rela melakukan pekerjaan haram itu. Aku tidak sudi tubuhku disentuh oleh lelaki hidung belang.
"Tunggu apalagi? Sana, buruan!" Leni mendorong tubuhku sehingga aku terhuyung ke belakang.
"Leni, tolong aku. Tolong jangan jual aku, Leni!" Aku memohon sambil menangkupkan kedua tangan di depan d**a.
"Bodoh! Ini kerjaan enak, Linda. Kamu cukup melayani pelanggan saja dan kamu udah dapat duit. Kurang apalagi, coba? Lagian, kamu bukan gadis perawan lagi, jadi enggak usah sok suci. Udah pernah hamil dan melahirkan juga! Kalau tampang kamu enggak cantik, aku ogah nampung kamu. Ngapain? Aku hanya mau nampung orang yang bisa memberikan keuntungan bagiku. Udah ah, sana! Jangan sampai batas kesabaranku habis! Bang Roy, ambil anaknya!"
"Oke."
Roy langsung menggendong Fatimah dan membawanya keluar rumah.
"Mama …! Putriku berteriak, lalu menangis. Ia kemudian pasrah saat Roy menggendong tubuh kecilnya.
Hati ini bagai teriris melihat tangis pilu putriku. Sakit!
"Tolong jangan bawa putriku. Jangan sakiti dia!" Air mata tak bisa dibendung lagi. Mengalir deras dari kelopak mata.
Kamu jahat, Leni! Kamu tak punya hati nurani." Untuk pertama kalinya, aku membentaknya.
"Ya, aku memang jahat. Terserah kamu mau ngomong apa. Aku enggak peduli. Sekarang gini aja, kalau mau anakmu selamat, turuti saja perintahku!"
Bak kerbau yang dicucuk hidungnya, aku pun menurut. Melakukan semua perintah Leni tanpa berani melawan. Aku hanya bisa pasrah sambil terus berdoa semoga Tuhan senantiasa melindungi putriku. Dan semoga aku dan putriku bisa keluar dari tempat terkutuk ini.
"Apa kubilang? Kamu ini cantik, Linda, pasti banyak yang suka sama kamu," kata Leni setelah ia selesai merias wajahku.
Cantik dari mana? Aku tidak suka pakaian kurang bahan dan dandanan menor seperti ini. Ini bukanlah diriku yang sesungguhnya. Bahkan, aku malu melihat diriku sendiri.
"Apa enggak ada pakaian yang lebih sopan? Aku enggak nyaman, Leni," protesku.
"Pakaian wanita malam ya begini. Mana ada yang mau booking kamu kalau tampilan kamu aja enggak menarik. Dasar norak!"
Norak, bego dan bodoh. Kata-kata itu sering kali diucapkan oleh Leni padaku.Leni suka sekali merendahkan orang. Padahal belum tentu ia lebih pintar dariku.
"Berdiri, dong, pake high heels-nya. Mulai sekarang setiap mau bertemu tamu, kamu harus memakai high heels. Ingat, kamu harus selalu tampil cantik dan mempesona agar bisa menggaet para lelaki hidung belang. Ayo coba jalan!"
Aku menurut, mencoba berjalan menggunakan high heels, tapi susah sekali. Bahkan aku sampai terjatuh beberapa kali.
"Benar-benar norak, ya. Pake high heels aja enggak bisa. Kampungan!" umpatnya.
Ya sudah, kamu duduk yang manis aja di sini. Males ngajarin kamu. Enggak ngerti-ngerti.
Leni kemudian mengarahkan kamera ponselnya padaku, lalu mengambil fotoku.
Setengah jam kemudian, Leni pun lompat-lompat sambil bersorak kegirangan.
"Udah ada yang booking kamu, Lin. Enggak tanggung-tanggung. Sepuluh juta untuk satu malam. Keren! Jika begini terus, kita bisa cepat kaya, Linda."
Leni tertawa bahagia, sedangkan aku dirundung duka.
"Enggak usah sedih gitu mukanya, santai aja. Dulu aku juga gitu. Pas baru pertama kali masih takut-takut. Tapi ternyata setelah dilakuin sekali aja malah ketagihan. Kamu juga, lama-lama nanti pasti terbiasa."
Tidak, Leni. Kamu melakukannya karena keinginanmu sendiri. Sedangkan aku karena paksaan. Jika saja putriku tidak berada di tangan kalian, aku pasti sudah kabur.
"Btw, aku udah pernah dengar sedikit cerita tentang kamu. Katanya kamu dihamili sama pacar sendiri hingga terusir dari kampung. Apa kamu enggak ingin balas dendam kepada orang-orang yang telah mendzalimimu? Aku kasih tau ya, Linda. Kamu harus bisa ngumpulin duit yang banyak biar bisa ngelakuin apa yang kamu mau. Makanya aku kasih kamu jalan instan. Bagaimana caranya biar bisa mendapatkan uang dengan cara cepat. Ya, begini caranya. Makanya jangan pernah ngatain aku jahat, karena pada dasarnya aku ini baik."
Baik darimana? Kalau kamu baik, kamu tidak mungkin tega mengambil keuntungan dariku.
"Yasudah, selamat bekerja aja, semoga sukses. Ayo, aku antar."
"Putriku di mana, Leni?" Aku tak bisa berhenti memikirkan keselamatan putriku. Takut diapa-apain sama si Roy.
"Sebelum pergi, aku ingin bertemu dengan putriku sekali saja, please!"
"Aman! Fatimah ada sama Bang Roy. Ayo buruan, jangan sampai kita telat datangnya!"
"Tidak, sebelum kamu kasih tau di mana putriku berada, aku enggak akan mau pergi denganmu."
"Yaelah, keras kepala banget, sih! Untung aku sedang senang, jika tidak, udah habis kamu Linda. Tunggu sebentar biar aku telepon Bang Roy."
Leni segera melakukan panggilan video dengan Roy. Terlihat di sana Fatimah sedang dikurung di sebuah ruangan. Putriku menangis, seperti orang ketakutan. Kasihan kamu, Nak.
"Masih belum mau nurut? Ikut saja denganku jika kamu mau putrimu selamat."
"Aku akan nurut. Tapi tolong jangan sakiti putriku."
"Siap," ucap Leni sambil mengacungkan jempolnya.
***
Taksi yang kami tumpangi berhenti di depan sebuah hotel mewah. Leni segera membukakan pintu dan memaksaku untuk turun.
Setelah naik lift, akhirnya kami tiba di depan kamar nomor 137.
"Halo, Mas, kami udah di luar," ucap Leni kepada seseorang di seberang telepon.
"Oke, Mas, baik." Setelah mengatakan itu, Leni pun menyudahi panggilannya.
"Linda, kamu masuk saja. Orangnya sudah menunggumu di dalam. Ingat, servicenya harus mantap ya. Jangan ngecewain pelanggan. Kalau kamu macam-macam, anak kamu taruhannya," ancamnya sambil memutar knop pintu, lalu mendorongku masuk ke dalam.
Tubuhku bergetar, debaran jantungku kian kencang saat melihat seorang laki-laki yang sedang duduk membelakangiku di atas ranjang.
Aku semakin dekat dengan lembah dosa. Tuhan, apakah aku masih bisa lolos dari terkaman buaya darat yang sudah membooking diriku?
"Mendekatkan," katanya.
Aku tidak menghiraukannya. Aku tetap berdiri di tempat semula. Tuhan, tolong lindungi hamba!
Lelaki itu berdiri, kemudian menoleh padaku sambil memamerkan senyumnya.
"Akhirnya kita bertemu lagi, Linda," ucapnya sambil berjalan ke arahku.
Astaghfirullah! Kenapa aku harus bertemu lagi dengan orang yang paling kubenci di dunia ini? Jadi lelaki ini yang sudah membooking-ku?
"Kemarilah, Sayang, kita nikmati pertemuan kita ini. Kita tuntaskan rindu yang tertunda." Lelaki itu merentangkan kedua tangannya, tapi aku justru mendorongnya sekuat tenagaku.
Bersambung