Bagian 7
Tak terasa, seminggu sudah aku tinggal di sini. Hari-hari kulalui seperti biasa. Memasak, membersihkan rumah, juga mencuci baju para tetangga yang sengaja mereka titipkan padaku.
Biasanya mereka membayar tenagaku dengan menaruh uang di kantong plastik saat menitipkan baju kotor kepadaku. Ya, aku terima berapapun yang mereka kasih. Meskipun aku tahu mereka mendapatkan uang dengan cara yang salah. Setidaknya aku tidak sama dengan mereka. Aku memperoleh uang dari hasil keringatku sendiri. Insyaallah halal.
Tak jarang saat mencuci, sering kali kutemui alat kontrasepsi di sela-sela kantong baju mereka. Aku hanya bisa mengelus d**a sambil beristighfar berulang kali. Semoga Allah menjauhkanku dari pekerjaan hina tersebut.
"Hai Linda sayang." Tiba-tiba seorang lelaki memelukku dari belakang.
Aku yang sedang menjemur pakaian bersama putriku di halaman belakang pun terkejut bukan main. Tanganku bergetar, membuat bakul pakaian yang sedang kupegang terjatuh ke tanah.
"Ups! Maaf. Kamu terkejut, ya? Maaf, ya," ucap lelaki yang tidak memiliki etika tersebut sambil melepas pelukannya.
"Bukan hanya terkejut. Aku hampir terkena serangan jantung gara-gara ulahmu. Kamu lihat itu? Gara-gara kamu, pakaian yang sudah selesai dicuci jadi kotor kembali," bentakku saking kesalnya.
"Yaelah, gitu aja marah! Pake bentak-bentak segala, lagi!" protesnya tanpa merasa bersalah sedikitpun.
"Jelas aku marah. Tolong jangan diulangi lagi. Aku tidak suka." Segera kuraih baskom pakaian tadi, lalu mengisi pakaian yang sudah jatuh ke tanah tadi ke dalamnya.
"Biasa aja, kali! Santai, Linda. Gak usah sewot gitu. Aku cuma sekadar peluk, belum cium dan lainnya. Gitu aja marah!"
"Bang Roy yang terhormat, tolong jangan samakan aku dengan wanita lainnya yang bisa kamu perlakukan sembarangan. Aku beda, tidak sama. Untuk kali ini kamu masih kumaafkan. Jangan sampai diulangi lagi karena aku tidak akan tinggal diam. Camkan itu!" Aku berucap dengan tegas agar lelaki tak tahu diri ini sadar bahwa aku bukanlah wanita seperti yang ia maksud.
"Gak usah sok suci gitu, aku udah tau semua masa lalu kamu dari Leni. Kamu hamil diluar nikah, kan? Tuh, buktinya anakmu lahir tanpa Bapak. Dasar munafik," tudingnya.
Astaghfirullah, ternyata Leni telah menceritakan semua tentangku kepada lelaki ini. Pantas saja lelaki ini menganggapku seperti wanita rendahan, ternyata karena itu.
Ya, orang-orang hanya bisa menyudutkan dan menyalahkan. Padahal di sini aku dan putriku adalah korban.
Fatimah menunduk. Jika sudah diungkit soal ayahnya, ia akan sedih. Aku tahu, hatinya terluka karena ayah kandungnya sendiri tidak mau mengakuinya.
"Ada apa ini?" Leni tiba-tiba datang. Sepertinya ia mendengar perdebatan antara aku dan Roy.
"Ini loh, Len, masa aku peluk dia aja gak boleh? Sok suci bangat enggak, sih?" sahut Roy.
"Aku gak sudi dipeluk-peluk. Aku bukan wanita murahan." Aku tak mau kalah.
Leni kemudian menarik tangan lelaki bernama Roy itu sedikit menjauh dari kami.
"Aku udah pernah ngingetin kamu, Bang, tolong jangan ganggu Linda dulu. Sabar!"
"Apa salahnya, sih? Aku kan juga mau coba barang baru, Leni. Aku bosan sama yang itu-itu terus. Aku juga ingin bereksperimen, Leni."
Aku masih bisa mendengar percakapan mereka karena jarak di antara kami tidak terlalu jauh.
"Dengarkan aku, Bang. Dia itu aset buat kita. Sabar saja, tunggu sampai waktunya tiba. Ingat, jangan pernah melakukan sesuatu hal yang tidak kusukai!"
"Oke, baiklah kalau itu yang kamu inginkan."
Mereka berdua kemudian pergi meninggalkan aku bersama Fatimah. Lelaki itu sempat menoleh ke arahku sambil mengedipkan sebelah matanya. Genit sekali. Nauzubillah.
Dari pembicaraan mereka tadi, dapat kusimpulkan sepertinya Leni memiliki niat jahat terhadapku.
Ya Allah, apa yang harus hamba lakukan? Mau kabur ke mana? Seluk beluk kota Jakarta saja aku belum tahu. Bahkan sudah seminggu di sini, tak sekalipun Leni mengizinkanku keluar. Uang juga tak punya. Upah yang kudapat dari hasil mencuci juga belum seberapa. Bagaimana ini? Aku tidak mungkin selamanya berada di tempat ini. Tempat ini bukan tempat yang aman untukku dan juga anakku.
"Ma, kenapa kita enggak pergi saja dari sini? Fatimah takut sama Om dan Tante Leni, Ma. Mereka bukan orang baik."
Sebenarnya Mama juga tidak betah tinggal di sini, Nak, tapi Mama tidak punya pilihan lain.
"Fatimah enggak usah takut ya, Sayang. Kan ada Mama dan juga Allah, Fatimah berdoa saja ya, semoga kita baik-baik saja." Aku berusaha menghibur putriku.
"Iya, Ma, aamiin."
Setelah selesai menjemur pakaian, aku mengajak putriku masuk ke dalam. Saat melewati kamar Leni, aku mendengar seperti suara desahan. Aku tahu, pasti Leni dan Roy sedang melakukan sesuatu di dalam sana.
Astaghfirullah! Aku tidak bisa menyaksikan orang-orang bermaksiat di depan mata kepalaku sendiri. Rasanya aku tidak tahan lagi berlama-lama berada di sini. Sepertinya sekaranglah saatnya. Aku dan putriku harus kabur dari sini saat Leni sedang sibuk dengan pacarnya di dalam sana.
Gegas kuambil beberapa helai pakaian dari dalam lemari, memasukkannya ke dalam tas, kemudian menuntun tangan putriku. Berjalan dengan pelan menuju pintu depan.
Pelan-pelan kuputar knop pintu agar tidak ketahuan, lalu menutupnya kembali dengan pelan juga.
Sebelumnya, aku sudah mengatakan pada Fatimah agar jangan mengeluarkan suara karena takut ketahuan oleh Leni. Syukurnya, Fatimah mengerti dan ia menurut.
Begitu tiba di halaman rumah, aku langsung menyetop angkot yang kebetulan lewat. Setelah angkot berhenti, aku menaikkan Fatimah. Namun, saat aku hendak naik, tiba-tiba seseorang menarik rambutku dari belakang.
"Mau kemana kamu, hah? Bukankah sudah kuperingatkan agar kamu jangan macam-macam Linda? Fatimah, turun!" Leni menarik tangan putriku sehingga Fatimah menangis dan ketakutan. Setelah Fatimah turun, Leni menyuruh supir angkot untuk melajukan mobilnya kembali.
"Mas, tunggu, jangan pergi, tolong kami, Mas!" Aku berteriak, minta tolong kepada sang supir angkot, tetapi beliau sepertinya tidak mendengar. Mobil yang sedang dikendarainya pun langsung melesat, meninggalkan kawasan rumah petak ini.
Ya Allah, padahal aku ingin meminta sopir angkot tersebut mengantarku ke kantor polisi untuk melaporkan perbuatan Leni. Rencanaku gagal sudah karena ketahuan.
"Masuk! Cepat!" bentak Leni.
"Enggak! Biarin aku dan putriku pergi, Leni. Kami enggak betah tinggal di tempat ini."
"Enak aja! Kamu enggak boleh pergi dari sini. Utangmu aja belum lunas, bagaimana mungkin kamu mau lari dari tanggung jawab?"
Ya, aku memang sepakat memakai uang Leni sebagai ongkos dari kampung ke sini. Namun, tak kusangka jika ia akan menagihnya secepat ini.
"Nanti aku ganti. Sebutkan saja berapa jumlahnya. Tapi tolong izinkan aku dan putriku pergi. Aku akan mencari pekerjaan di luar sana. Kamu enggak usah khawatir, aku enggak akan melupakan kewajibanku karena utang dibawa mati. Aku tidak mau kena azab di akhirat nantinya."
"Hari gini malah ngomongin azab?" Leni malah terbahak. Entah apa yang lucu.
"Kamu mau ke mana? Mau kerja apa? Kamu pikir kota Jakarta ini cuma seluas kampung kita yang bisa kamu lalui dari ujung ke ujung hanya dengan berjalan kaki? Jangan bodoh, Linda. Daripada kamu pergi, lebih baik kamu bekerja seperti aku."
Aku menggeleng.
"Tidak. Aku tidak sudi. Tolong lepaskan aku, Leni."
"Oh, jadi kamu menolak? Oke! Mari kita lihat apakah kamu masih berani menolak setelah aku melakukan sesuatu terhadap putri kesayanganmu ini."
Leni menjentikkan jarinya. Roy pun datang dan segera menggendong Fatimah, lalu membawanya ke dalam.
"Leni, lepaskan putriku. Tolong jangan libatkan dia. Aku mohon, Leni!"
"Katanya mau pergi, yaudah pergi saja. Putrimu biar aku yang rawat. Setelah dia besar nanti akan kujadikan dia sebagai wanita penghibur, sama sepertiku."
"Jangan, Leni, aku mohon!"
"Oke, aku beri pilihan untukmu. Turuti keinginanku jika kamu ingin putrimu selamat. Jika tidak, tanggung sendiri akibatnya."
Setelah mengucapkan kata-kata itu, Leni kemudian meninggalkanku. Masuk ke dalam, lalu menutup pintu dengan keras.
Masih terdengar tangisan pilu putriku dari dalam, membuat hati ini serasa disayat-sayat.
Aku merasa tidak berguna. Tidak bisa melindungi putriku sendiri.
Allah, apa yang harus kulakukan? Tidak mungkin aku meninggalkan putriku. Namun, aku juga tidak sudi menuruti perintah Leni.
Bersambung