Sudah Jatuh Tertimpa Tangga Pula

1585 Kata
Bagian 5 "Sebaiknya kita usir saja wanita ini. Takutnya dia mengulangi perbuatannya yang dulu. Tidak menutup kemungkinan, bukan? Kalau Linda akan hamil lagi? Kampung kita akan ketiban sial jika dia masih berada di sini. Bagaimana? Apa kalian setuju dengan usulku?" Istri pertamanya Pak Murkidi sepertinya sengaja memprovokasi warga untuk memperkeruh suasana. "Setuju," sahut yang lain. "Aku setuju. Lakukan saja yang terbaik untuk kampung kita tercinta ini," sahut Mas Yudis. Di saat semua orang menyudutkanku, Mas Yudis juga ikut-ikutan. Ia setuju dengan usulan istrinya Pak Murkidi si tukang fitnah itu. Kupikir ia akan melindungiku, nyatanya tidak. Mas Yudis benar-benar tidak punya hati nurani! . "Tunggu apa lagi? Usir saja dia! Kalau Linda tidak mau, robohkan juga sekalian gubuk ini biar dia dan anaknya tidak punya tempat tinggal." Istri keduanya Pak Murkidi juga ikut mengompori. "Kalau begitu, kita usir sekarang saja. Lebih cepat lebih baik." Mereka ingin menangkapku, tapi aku melawan. Apa yang ada di sekelilingku, kulemparkan kepada mereka. Saat mereka sibuk menghindari serangan dariku, dengan cepat kutarik tangan putriku, membawanya keluar dari gubuk. Setelah itu kami pun berlari ke dalam hutan dan bersembunyi di balik semak belukar. "Ma, Fatimah takut," bisik Fatimah di telingaku. Suaranya terdengar parau karena putriku menangis dari tadi. Lebih tepatnya, menangis tanpa suara. "Jangan takut, Sayang. Allah bersama kita. Allah akan melindungi kita, percayalah. Fatimah baca surat An-Nas saja di dalam hati untuk mengusir rasa takut ya, Nak." Aku mendekapnya agar putriku tidak merasa takut. Fatimah mengangguk. Selanjutnya, putri kecilku itu pun melafalkan surat An-Nas, samar-samar. Kami bersembunyi cukup lama sampai Fatimah hampir tertidur. Aku segera membawanya keluar dari tempat persembunyian ini karena dari tadi firasatku tidak enak. Aku seperti mendengar suara, tapi entah suara apa. Tiba-tiba angin berembus kencang, disertai hujan rintik-rintik dan juga petir yang sesekali menggelegar. Ketika langit memunculkan cahaya sesaat yang menyilaukan, bulu kudukku langsung meremang begitu menyadari bahwa saat ini kami sedang berada di balik rumpun bambu. Konon kata penduduk kampung, di dekat rumpun bambu ini sering terlihat penampakan makhluk halus. Suara orang menangis juga sering kali terdengar dari sini. Tidak ada warga yang berani datang ke sini. Jika ada yang datang kemari, pasti tidak akan bisa menemukan jalan pulang. Begitulah cerita yang kudengar. Ternyata kami sudah terlalu jauh masuk ke dalam hutan dan aku tidak menyadari hal itu. Yang ada di pikiranku saat ini adalah keselamatanku dan juga putriku. Fatimah memejamkan matanya dan semakin mengeratkan pelukannya. Aku tahu, ia semakin ketakutan. Allah, tolong lindungi kami. Hamba tau, engkaulah pencipta semua makhluk yang ada di dunia ini. Hamba mohon, lindungi kami. Hanya kepada engkaulah hamba memohon dan hanya kepadamu lah hamba meminta pertolongan. Kulafalkan ayat kursi sebanyak 3 kali sambil berjalan perlahan meninggalkan tempat ini. Kami mempercepat langkah agar secepatnya tiba di gubuk. Terpaksa aku membawa Fatimah kembali ke gubuk karena hanya itu satu-satunya tempat bernaung yang kami miliki. "Ma, apa orang-orang jahat itu sudah pergi? Bagaimana kalau mereka masih ada di sana? Fatimah tidak mau ditangkap sama mereka, Ma." Sebenarnya aku juga memikirkan hal itu. Bagaimana kalau mereka belum juga pergi? Ah, tidak mungkin. Pasti mereka sudah pulang karena tidak mau kehujanan. "Mama yakin pasti mereka sudah pergi. Fatimah enggak perlu takut lagi ya, Nak." Aku berusaha menenangkan putriku, padahal pikiranku sendiri juga sedang tidak tenang. Dari kejauhan, aku melihat seperti ada cahaya, terang sekali. Dalam batinku bertanya-tanya, cahaya apa itu? Cahaya kilat? Oh, tidak mungkin. Cahaya yang ditimbulkan dari kilatan langit hanya berdurasi beberapa detik saja. Lantas, cahaya apakah itu? Semakin lama, cahaya itu semakin dekat. Perasaanku semakin tidak tenang saat mencium bau asap. Apa jangan-jangan? Fatimah langsung melepaskan tangannya dari genggamanku. Ia berlari, lalu kemudian berteriak. "Ma, rumah kita kebakaran, Ma, kita enggak punya rumah lagi." Tangis putriku langsung pecah saat mendapati bahwa gubuk yang kami tempati ternyata sudah dilahap si jago merah. Lututku langsung lemas. Rasanya kedua kakiku tidak mampu lagi menopang berat badanku. Seketika, tubuhku pun luruh ke atas tanah yang sedikit lembab akibat turun hujan. Allah, kejam sekali mereka. Sampai hati mereka membakar rumahku. Mereka begitu jahat. Padahal, aku sama sekali tidak pernah mengganggu mereka, tapi kenapa mereka begitu kejam? Air mata tak bisa dibendung lagi. Aku menangis sejadi-jadinya sambil memeluk putriku. Di tengah dingin dan gelapnya malam, di saat semua orang sudah terlelap dan terbuai dalam mimpi indah, di sinilah aku dan putriku. Menangis, meratapi nasib. Para warga begitu kejam. Mereka benar-benar ingin menghancurkan hidupku dan membuatku menderita. Allah, kemana lagi kami mencari tempat untuk berteduh? Semuanya telah habis tak bersisa. Baju di badan adalah satu-satunya yang kami miliki saat ini. Uang tabungan yang tidak seberapa, yang selama ini kusisihkan sedikit demi sedikit juga ikut terbakar. Allah, tolong hamba. "Linda, syukurlah kamu dan anakmu selamat." Seseorang menepuk pundakku. Ia adalah pemilik warung. Satu-satunya orang yang peduli terhadap kami. Aku langsung memeluknya dan menumpahkan kesedihanku. "Sudahlah, Linda. Tak perlu kamu menangis. Yang terpenting kamu dan Fatimah selamat. Tadinya, Ibu pikir mereka telah membakar kalian hidup-hidup. Alhamdulillah, Linda, Allah masih melindungi kalian. Ibu rela menembus gelapnya malam untuk memastikan kondisi kalian." Aku masih menangis, tidak bisa lagi berkata apa-apa. Semua ini begitu berat untukku. Setelah memelukku, kini beliau memeluk Fatimah dan membelai rambutnya. "Fatimah tidak apa-apa, kan, Nak?" Fatimah tidak menjawab. Ia masih sesenggukan. "Mari ikut Ibu. Malam ini kalian tidur di rumah Ibu saja." Aku pun menurut karena sudah tidak memiliki pilihan lain. "Dari mana Ibu tahu kalau rumah kami kebakaran?" "Pak RT yang telah mengumumkan bahwa rumahmu telah dibakar dan kalian telah disingkirkan. Kamu dan putrimu tidak diizinkan lagi menginjakkan kaki di kampung ini. Para warga sudah mengetahui apa yang terjadi. Kamu yang sabar, ya. Ibu percaya padamu. Kamu tidak mungkin melakukan hal serendah itu." Lagi-lagi, aku difitnah. Mereka sungguh kejam! "Linda, sepertinya kamu harus mencari tempat tinggal yang baru. Kamu dan putrimu tidak aman lagi tinggal di gubuk itu." Ya, aku sudah lama memikirkan hal itu. Aku sudah memiliki sedikit tabungan yang akan digunakan untuk menyewa rumah kontrakan di desa sebelah. Rencananya, di desa sebelah aku akan berjualan kue dan gorengan. Setelah uang terkumpul, aku akan menyusul Mas Yudis ke Jakarta untuk membalaskan dendamku. Namun, rencana hanya tinggal rencana. Takdir berkata lain. "Aku harus ke mana, Bu? Aku sudah tidak memiliki apa-apa. Uang tabunganku yang jumlahnya tidak seberapa sudah ikut terbakar bersama rumahku, Bu." "Ikhlaskan saja. Yang terpenting adalah keselamatanmu. Uang bisa dicari, tetapi tidak demikian dengan nyawa." Apa yang dikatakan beliau memang benar. Alhamdulillah Allah masih melindungiku dan juga putriku. "Minum dulu, Lin, kasih anakmu minum teh manis hangat ini." Orang baik ini langsung menghidangkan dua gelas teh yang masih mengepulkan asap sesaat setelah kami tiba di rumahnya. "Maaf, Bu. Apa Ibu tidak takut pada warga? Bagaimana kalau mereka marah pada Ibu saat mengetahui bahwa ada aku dan putriku di sini?" "Para warga pasti sudah tidur pulas, mengingat ini sudah larut malam. Sudahlah, tak usah kamu pikirkan soal itu. Oh ya, apa kalian sudah makan?" Aku terdiam. Seingatnya, kami berdua ketiduran sehingga tak sengaja melewatkan makan malam. Ingin mengatakan belum, tapi takut merepotkan. Jujur, aku merasa sangat lapar. Aku yakin, putriku juga demikian. Tanpa menunggu jawabanku, beliau langsung mengajak kami ke dapur dan menyuruh duduk di meja makan. Alhamdulillah, aku sangat bersyukur karena malam ini kami masih bisa makan nasi dan lauk seadanya. "Linda, jika sudah selesai makannya, temui Ibu di ruang tamu, ya. Ada sesuatu yang ingin Ibu sampaikan padamu. Nanti piring kotornya taruh di tempat cuci piring saja, tidak usah dicuci." Aku pun mengangguk. Segera kumasukkan suapan terakhir ke mulutku, setelah itu baru menyuapi putriku. Setelah membereskan meja makan dan juga mencuci piring bekas kami makan, aku segera menemui beliau. Memang, beliau sudah melarangku untuk mencuci piring, tetapi aku tidak enak. "Linda, sini." Kursi di sebelahnya ditepuk, mengisyaratkan agar aku duduk di sampingnya. "Ada apa, Bu?" tanyaku penasaran. "Begini, Linda. Kalian tidak mungkin tinggal di rumah ini sampai seterusnya. Para warga pasti akan marah jika mengetahui hal ini. Bisa-bisa, Ibu juga ikut menjadi sasaran kemarahan warga." Ya, aku tahu akan hal itu. Para warga menganggapku seperti najis yang harus disingkirkan. Mereka pasti akan marah besar jika tahu aku bersembunyi di sini. "Iya, Bu. Aku tau akan hal itu. Aku dan putriku akan segera pergi dari sini sebelum matahari terbit. Ibu tidak usah khawatir." "Ibu ada usul. Semoga saja kamu bersedia. Bagaimana kalau kamu ikut dengan anak Ibu ke Jakarta? Kebetulan Leni sedang berada di sini dan besok sudah harus kembali ke Jakarta. Kata Leni, majikannya di kota sedang membutuhkan asisten rumah tangga. Gimana? Apa kamu bersedia?" Jakarta? Aku langsung tertarik dengan penawarannya. Aku memang berencana untuk datang ke Jakarta. Aku ingin menghancurkan rumah tangga Mas Yudis. Aku ingin ia hancur sehancur-hancurnya. "Bagaimana, Linda? Apa kamu mau? Nanti di Jakarta kamu akan tinggal bersama Leni di rumah majikannya." "Mau, Bu, tapi aku tidak punya ongkos untuk ke Jakarta." "Masalah ongkos tak perlu dipikirkan. Kamu bisa menggantinya nanti setelah gajian," sahut seorang wanita yang mengenakan piyama warna maroon. Wanita itu adalah Leni, anak dari pemilik rumah ini. Leni kemudian ikut bergabung bersama kami sambil menjelaskan apa yang harus kulakukan nanti setelah tiba di Jakarta. Aku pun menyanggupi karena menurutku pekerjaannya tidaklah berat. Apalagi aku dan Fatimah bisa tinggal di rumah tersebut. Kurang apalagi? Sudah lama aku ingin meninggalkan kampung terkutuk ini. Mungkin sekaranglah saatnya. Aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan. Mas Yudis, tunggu aku. Kita akan bertemu lagi dan aku akan membuat perhitungan denganmu. "Kalau dilihat-lihat, kamu cantik juga, ya. Tinggal dipoles sedikit pasti makin cantik," ucap Leni yang membuat keningku seketika mengernyit. "Maksudnya apa, Kak Leni?" tanyaku penasaran. Leni tidak menjawab. Ia langsung beranjak dari tempat duduknya dan menyuruhku untuk beristirahat karena besok kami sudah harus berangkat. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN