Terjebak Dalam Situasi Yang Sulit

1573 Kata
Bagian 6 "Linda, ayo bangun, buruan siap-siap!" ucap seseorang sambil mengguncang tubuhku. Aku yang baru saja terlelap, segera membuka mata dan langsung terduduk. Kepalaku masih terasa sakit. Perasaan, aku baru tidur sebentar dan sekarang sudah pagi. "Gak usah mandi. Enggak keburu. Nanti kita ketinggalan mobil, ayo!" Wanita yang bernama Leni itu terlihat sudah rapi dengan setelan jeans blue dan kaos putih lengan panjang yang menempel sempurna di tubuhnya. "Nih, pake!" Leni melemparkan gamis set cadar ke hadapanku dan menyuruhku untuk memakainya. "Kamu harus memakai pakaian itu biar tidak ada warga yang mengenalimu. Bisa berabe urusannya kalau para warga sampai tau kamu tidur di rumah ini," katanya lagi sambil memasukkan ponsel ke dalam tasnya. Tanpa banyak bertanya, aku langsung memakai gamis set cadar warna hitam tersebut. "Nah, kalau kayak gini kan, enggak ada lagi yang bisa ngenalin kamu. Oh ya, itu anak kamu jangan lupa dipakein penutup kepala ya. Kalian berdua ini sudah seperti teroris saja, tau enggak sih! Ribet, nyusahin!' "Leni, kalau mau bantu orang itu jangan setengah-setengah, Nak! Nanti kamu juga yang dapat pahala kalau kamu ikhlas," sahut ibunya. Mungkin ibunya risih mendengar mulut anaknya yang nyerocos terus dari tadi. "Iya, tau!" Leni tidak mau kalah. Aku sempat berpikir, apa di Jakarta nanti aku bisa betah tinggal bersama Leni, ya? Tapi langsung saja kutepis keraguan itu. Aku yakin, sebenarnya Leni orangnya baik, hanya mulutnya saja yang tidak punya rem. "Bu, kami pergi dulu, ya. Terima kasih atas semua kebaikannya selama ini. Maaf jika aku selalu merepotkan Ibu," pamitku kepada ibu pemilik warung sambil mencium punggung tangannya. "Kamu tidak merepotkan, Nak. Ibu ikhlas dan senang bisa membantumu. Nanti kalau sudah tiba di Jakarta hati-hati ya, Nak. Ibu kota itu sangat kejam, Nak, kamu harus selalu waspada dan hati-hati." "Iya, Bu, insyaallah, aku bisa jaga diri." "Ibu harap juga begitu. Oh ya, Leni, Ibu titip Linda. Tolong kamu ajari dan bimbingan dia. Dia tidak punya siapa-siapa di Jakarta selain kamu, Nak. Jadi, tolong Linda nya dijaga ya, Nak!" "Ah, Ibu lebay bangat sih! Linda udah besar, loh, ngapain harus dijaga segala? Udah ah, kami pamit dulu, takut ketinggalan mobil travel." Leni pun meraih punggung tangan ibunya, lalu menciumnya. Setelah itu, ia segera berjalan mendahului kami. Kami harus berjalan ke pinggir jalak besar sana untuk mencari tumpangan. Karena desa ini letaknya di pedalaman, jadi tidak ada angkutan umum yang lewat di desa ini. "Ingat ya, kalau ada warga yang manggil atau nanya, kalian diam saja. Biar aku yang jawab." Aku hanya mengangguk. Terus berjalan mengekor di belakangnya sambil menenteng tas dan menuntun Fathimah. "Eh, Leni, pagi-pagi udah rapi? Mau ke mana?" tanya salah seorang warga yang sedang menyapu di halaman rumahnya. "Mau balik ke Jakarta, Bu, jatah liburannya udah habis," jawab Leni dengan ramah. "Itu sama siapa?" "Oh, ini teman kerja saya, Bu. Dia kerja sama saya di rumah majikan saya." "Sepertinya saya pernah melihatnya. Wajahnya tidak asing bagi saya. Siapa namamu, Mbak?" "Dia bukan penduduk kampung sini, Bu," sahut Leni. Leni berbasa-basi sebentar, agar penduduk kampung tidak curiga. Kemudian ia mengedipkan matanya padaku. Mengisyaratkan agar kami segera mempercepat langkah. Setelah menempuh jarak yang lumayan jauh hingga membuat kaki ini pegal-pegal, akhirnya kami tiba juga di pinggir jalan besar. Leni menyuruhku duduk dan menunggu di atas bangku kayu, sementara dirinya pergi mencari sarapan. "Ma, sebenarnya kita mau ke mana?" tanya Fatimah yang dari tadi hanya diam saja. "Kita akan ikut dengan Tante Leni ke Jakarta, Nak. Di sana kita akan memulai hidup baru." Fatimah hanya manggut-manggut. Ia merekatkan jaketnya karena udara memang sangat dingin, terasa seperti menusuk hingga ke tulang. "Ini sarapan buat kalian, buruan dimakan. Bentar lagi mobil travel akan datang. Aku enggak mau kalian muntah-muntah saat dalam perjalanan nanti." Leni menyodorkan sebuah kotak makanan yang berisi nasi uduk padaku. Aku segera membuka kotak makanan tersebut, lalu menyantapnya berdua dengan Fatimah. Leni memang judes. Ia cerewet. Namun, aku tahu hatinya baik. Buktinya ia peduli padaku dan putriku. Setelah selesai menyantap nasi uduk, akhirnya yang ditunggu-tunggu pun tiba. Mobil travel datang. Mobil inilah yang akan membawa kami ke pelabuhan Pangkalbalam. Setelah dari pelabuhan, kami akan naik kapal menuju kota Jakarta. Kami segera naik ke mobil tersebut. Leni duduk di jok depan, di samping pak supir, sementara aku dan Fatimah duduk di jok belakang. Semoga saja aku dan putriku kuat di perjalanan. Aku belum pernah membawa putriku bepergian jauh, jadi aku sedikit khawatir, takut ia sakit. *** Taksi yang kami tumpangi berhenti di depan kawasan rumah petak. Rumah dengan warna cat yang sama, yaitu warna hijau. "Turun, sudah sampai," ucap Leni sambil membuka pintu mobil. Aku hanya menurut. Segera menurunkan barang-barang, lalu mengikuti Leni masuk ke dalam rumah. Bunyi lagu dangdut menggema, membuat telinga sakit mendengarnya. Entah dari rumah yang mana suara musik itu, aku juga tidak tahu. "Ini rumah siapa, Leni?" tanyaku, sedikit takut. "Rumah kontrakanku," jawabnya sekenanya. Setahuku, Leni bekerja sebagai asisten rumah tangga dan tinggal di rumah majikannya. Tapi kok, ngontrak? "Enggak usah banyak tanya. Bawa saja masuk putrimu dan juga barang-barangmu. Kamarmu ada di belakang. Buruan!" "Ayo kita masuk, Nak!" Ada rasa was-was dan takut saat pertama kali menginjakkan kaki di rumah kontrakannya Leni ini. Udaranya pengap sekali. Puntung rokok juga berserakan di mana-mana. "Cepat rapikan barang-barangmu. Habis itu, kamu harus masak. Aku sudah lapar," teriaknya dari luar. Aku tak menjawab. Buru-buru kumelangkahkan kaki ke kamar, lalu merebahkan tubuh di atas tempat tidur. Berhari-hari berada di kapal itu rasanya sungguh melelahkan. Rasanya aku butuh istirahat. Badanku juga rasanya pegal semua. "Fatimah, bobok dulu ya, Nak. Istirahat dulu, pasti capek, kan?" Aku menepuk kasur di sebelahku agar putriku berbaring di sampingku. "Iya, Ma." Fatimah pun menurut. "Ma, semoga di sini enggak ada orang jahat, ya. Semoga Allah selalu melindungi kita." "Iya, Nak. Aamiin!" Itulah yang kuharapkan. Aku sudah bosan bertemu orang jahat. Aku ingin hidup tenang dan hidup bahagia bersama putriku. Tak lama kemudian, terdengar suara cekikikan dari arah ruang tamu. Sepertinya Leni sedang mengobrol dengan temannya atau siapalah. Yang jelas, aku tidak tertarik untuk mengetahui siapa lawan bicaranya karena saat ini mataku sangat mengantuk. "Linda, bangun!" Baru beberapa menit mata ini terpejam, Leni sudah berteriak membangunkanku. "Linda, cepat bangun. Kamu harus masak. Semua bahan-bahannya sudah aku siapkan di dapur. Buruan, enggak pake lama." Aku memaksakan diri untuk bangun meskipun kepala masih terasa pusing. Dengan langkah berat, aku menuju kamar mandi untuk mencuci muka. Saat sedang asyik mencuci muka, tiba-tiba aku merasakan ada yang memelukku dari belakang. Spontan aku berteriak dan langsung memukul orang tersebut dengan gayung yang sedang kupegang. Astaghfirullah, kenapa ada lelaki di sini? Perasaan saat aku masuk tidak ada siapa-siapa di dalam kamar mandi. "Tolong … tolong!" Aku berteriak sambil berlari meninggalkan lelaki tersebut. "Ada apa, sih?" tanya Leni saat aku tak sengaja menabrak tubuhnya. Terlalu panik, membuatku tidak bisa fokus lagi. "Itu, ada laki-laki di kamar mandi. Dia mau macam-macam sama aku. Tolong aku, Leni." "Oh, itu Bang Roy. Kamu gak usah takut, dia memang agak usil orangnya. Apalagi sama orang baru. Tapi kamu enggak usah khawatir, dia itu orangnya baik." "Tapi aku takut, Leni." "Enggak apa-apa. Kamu kerjain yang aku perintahkan tadi aja, ya. Buruan, aku sama Bang Roy mau makan." Aku pun menurut. Segera menuju dapur dan mulai memotong-motong tempe dan juga menyiapkan bumbu. Lelaki itu datang menghampiriku. Ia kemudian tersenyum ke arahku, lalu mengikuti Leni dan mereka berdua pun masuk ke dalam kamarnya Leni. Astaghfirullah! Leni berduaan dengan lelaki di dalam kamar. Apa mereka telah melakukan sesuatu yang dilarang agama? Ya Allah, hamba sungguh tidak kuat lama-lama berada di tempat ini. Bagaimana jika ibunya tahu apa yang dilakukan Leni selama ini? Di kampung, Leni terlihat polos. Namun ternyata di kota perilakunya berubah drastis. "Linda, anggap saja kamu tidak mengetahui apa-apa, ya. Tugasmu di rumah ini cukup menjadi asisten rumah tangga. Tidak usah khawatir, aku akan menggajimu setiap bulan. Tapi ingat, tutup mata dan telinga. Paham?" Leni mengatakan itu setelah tamu keduanya pergi. Kini ia telah siap dengan dress di atas lutut. Kalau aku menyebutnya, baju kurang bahan. "Turuti saja perintahku jika kamu masih ingin bertahan hidup. Kurasa itu lebih baik karena kamu tidak punya pilihan lain," katanya lagi sambil memoles lipstik ke bibirnya. Aku baru tahu bahwa Leni adalah wanita panggilan. Dan aku sungguh menyesal karena telah percaya padanya dan mau ikut dengannya ke kota ini. Tok tok tok! Tiba-tiba pintu diketuk. Muncullah seorang lelaki bertampang preman dari balik pintu tersebut. "Sudah siap, Sayang? Eh, tunggu dulu, siapa dia?" Lelaki itu menatapku dan memindai penampilanku dari ujung rambut hingga ujung kaki. "Biasa, Sayang, orang baru," jawab Leni. "Apa aku boleh bersamanya malam ini?" Degh! Seketika jantungku rasanya seolah berhenti berdetak saat mendengar pertanyaan dari lelaki itu. Ya, aku tahu ke mana arah pembicaraannya. "Tahan dulu. Nanti," sahut Leni. "Apa maksudmu, Leni? Apa kamu ingin menyeretku ke dalam pekerjaanmu yang tidak benar itu?" Kali ini aku tidak takut lagi. "Tidak, aku cuma bercanda. Ya sudah, kunci saja pintunya. Kemungkinan aku akan lama pulangnya. Istirahatlah, karena besok aku akan memberimu pekerjaan yang menyenangkan. Enggak capek, dan pastinya bisa menghasilkan banyak cuan. Bukankah kamu butuh uang, Linda?" Pekerjaan apa yang ia maksud? Apa jangan-jangan …. Aku memang butuh uang, tapi aku tidak mau melakukan pekerjaan yang haram. Sepertinya aku dan putriku tidak aman tinggal di rumah ini? Apa aku kabur saja sebelum Leni kembali? Tapi ke mana? Bahkan aku tidak tahu seluk-beluk kota Jakarta. Bahkan, uang sepeserpun aku tidak punya. Bagaimana ini? Kenapa situasinya semakin sulit? Sungguh, aku tidak sudi mengikuti pekerjaan Leni. Semua ini gara-gara Mas Yudis. Ia lah yang menyebabkan semua kesulitan ini. Allah, tolong hamba. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN