Cobaan Datang Lagi

1847 Kata
Bagian 4 "Linda, kamu apa-apaan, sih?" bentak Mas Yudis. Ia mencoba melepaskan kakinya dari himpitan motor. "Dasar wanita tidak waras! Sakit jiwa kamu, ya?" tudingnya. "Kamu yang tak waras dan tak punya hati. Kamu sudah merenggangkan kesucianku secara paksa dan menanamkan benih di rahimku. Aku harus menanggung malu dan menderita gara-gara ulahmu. Sekarang kamu malah lari dari tanggung jawab!" Aku tidak mau kalau darinya. "Linda, bukannya aku tidak mau bertanggung jawab. Hanya saja aku tidak yakin kalau kamu hanya melakukannya denganku. Bisa jadi kamu hamil dengan lelaki lain dan kamu meminta pertanggung jawaban dariku, iya kan?" Remuk sudah rasanya hati ini mendengar tuduhannya. Sungguh tak kusangka jika orang yang selalu kutunggu-tunggu dan kuharapkan kehadirannya malah tega menuduhku seperti itu. Ia menganggap bahwa aku ini w************n. Mas Yudis, kamu kejam! "Bukannya aku tidak peduli padamu, Linda! Kamu tahu sendiri 'kan kalau dulu aku sangat mencintaimu? Aku berubah karena kelakuanmu sendiri, Linda. Kamu telah mengkhianati cintaku. Kamu telah merelakan dirimu disentuh lelaki lain sampai kamu hamil. Maaf Linda, aku tidak bisa memenuhi janjiku karena sesungguhnya kamu lah yang telah menghianati ketulusan cintaku." "Tidak, Mas. Kamu telah keliru. Aku tidak pernah mengkhianatimu. Justru kamu yang telah mengkhianatiku. Kamu telah menikahi wanita lain. Sedangkan aku harus menderita di sini, menanggung malu atas perbuatan yang kamu lakukan. Diusir dari rumahku sendiri, diarak keliling kampung, dicaci, dihina dan dikucilkan. Aku menanggung semuanya sendiri, Mas. Setelah semua yang kamu lakukan padaku, bahkan kamu masih tega menuduhku yang bukan-bukan? Kamu jahat! Kamu benar-benar kejam!" Aku memukul-mukul d**a bidangnya, tapi Mas Yudis malah menahan tanganku. "Linda, tidak usah bersandiwara padaku. Aku sudah tahu siapa kamu. Mama telah menceritakan semuanya. Jadi tolong, jangan ganggu aku lagi." "Terus kamu percaya atas apa yang dikatakan Tante Sarifah?" "Iya, aku lebih percaya pada Mama, wanita yang telah melahirkanku, dibanding dirimu, yang jelas bukan siapa-siapaku." Tak terasa bulir bening kembali mengalir deras dari sudut netra. Sakit bukan main. Rasanya aku tak bisa menerima semua ini. Mas Yudis begitu tega. Ia sama sekali tidak mau mendengar penjelasanku, padahal apa yang ia tuduhkan itu tidak benar. Itu semua adalah fitnah! "Linda, kuminta padamu, mulai sekarang jangan pernah menggangguku lagi karena aku sudah tak peduli padamu. Menyingkirlah, aku mau pergi. Jangan paksa aku untuk berbuat kasar padamu." "Tunggu!, Mas! Coba tatap mata gadis kecil ini. Ini Fatimah. Dia adalah putri kandungmu, darah dagingmu. Tak mengapa kamu tidak peduli padaku, tapi aku mohon akui Fatimah sebagai anakmu." Mas Yudis menatap wajah Fatimah sejenak, hanya beberapa detik. Setelah itu ia langsung memalingkan wajahnya. "Ayah." Fatimah mendekat dan hendak meraih tangan ayahnya, namun Mas Yudis menepisnya. "Maaf, aku tak mengenalmu dan kamu itu bukan anakku. Permisi!" Mas Yudis segera menaiki motornya, lalu tancap gas, meninggalkan aku bersama Fatimah. Tubuhku terasa lemas, rasanya kedua kakiku tidak mampu lagi menopang berat badanku. Seketika, aku pun terjatuh dan terduduk di atas jalan aspal. "Mama, kita pulang, yuk, udah mau malam," ajak Fatimah sambil membantuku berdiri. Aku mengangguk, kemudian mengelap air mata yang sudah membasahi pipi. Saat ini, aku memang tidak berdaya, tapi aku yakin Allah tidak tidur. Allah pasti mendengar doa orang yang terzalimi seperti aku. Aku percaya, cepat atau lambat, Mas Yudis pasti akan kena karmanya. Hari sudah mulai gelap. Aku pun menggendong putriku agar lebih cerah cepat tiba di rumah. Setelah melewati perkampungan, sawah dan juga kebun, kini kami sudah kembali ke gubuk derita yang menjadi saksi bisu perjalanan hidupku dengan putri kecilku. Adzan Maghrib sudah berkumandang saat kami masih dalam perjalanan pulang. Begitu tiba, aku langsung mengajak Fatimah berwudhu, lalu menunaikan ibadah sholat Maghrib. Aku membenamkan wajah di atas sajadah. Memohon dan mengadu pada-Nya, sang pemilik kehidupan. Tiada daya upaya selain memohon dan berserah diri kepada-Nya. "Mama, udahan nangisnya, ya. Jangan sedih lagi, ada Fatimah di sini yang akan selalu nemenin Mama," ucap putriku sambil meraih tanganku setelah kami selesai berdoa. "Ma, apa Fatimah boleh nanya sesuatu?" Aku mengangguk. "Mau nanya apa, Nak?" "Apa Mama merasa tersiksa dengan kehadiran Fatimah?" Jantungku rasanya berhenti berdetak mendengar pertanyaan putriku. Bagaimana mungkin Fatimah bisa berpikiran seperti itu? Perlahan, kulihat kaca-kaca bening mulai membasahi pipinya. Aku langsung mendekapnya ke dalam pelukanku, lalu menciumi pucuk kepalanya. "Jangan pernah bertanya seperti itu lagi ya, Sayang. Mama enggak suka dengernya. Asal kamu tau, Mama sayang bangat sama kamu." Ya, Fatimah adalah satu-satunya sumber kekuatanku. Kuakui, dahulu aku memang tidak mengharapkan kehadirannya. Apalagi, putriku adalah anak yang terlahir di luar pernikahan. Namun, aku sangat menyayanginya, bahkan melebihi diriku sendiri. "Tapi kenapa tadi Mama bilang kepada orang itu kalau Mama menderita?" Ya Tuhan, kasihan putriku. Gara-gara mendengar pertengkaranku dengan Mas Yudis, ia menjadi kepikiran. Bahkan saking kecewanya kepada Mas Yudis, Fatimah tidak mau memanggilnya dengan sebutan ayah. Padahal, Fatimah sudah tahu kalau Mas Yudis adalah ayah kandungnya. "Mama memang menderita selama ini, tapi bukan gara-gara Fatimah. Fatimah adalah sumber kebahagiaan buat Mama. Suatu saat nanti, Mama akan menjelaskan semuanya dan Fatimah akan mengerti kondisi Mama." Aku kembali mendekapnya ke dalam pelukanku, lalu membaringkannya di peraduan. Membacakan ayat-ayat pendek sambil mengelus rambut panjangnya hingga putri kecilku itu pun tertidur. Selanjutnya aku pun merebahkan tubuh di sampingnya. *** Aku terbangun dari tidur saat mendengar derap langkah yang semakin lama semakin mendekat. Tubuhku merinding, aku ketakutan. Aku yakin itu adalah langkah kaki manusia. Seringkali penduduk kampung datang menggangguku. Biasanya mereka ingin memuaskan hasrat dan ingin melampiaskannya padaku. Mereka berpikiran kalau aku ini w************n karena telah hamil dan melahirkan tanpa suami. Nyatanya mereka salah. Aku bukanlah wanita seperti itu. Sekuat apapun mereka mencoba merayu, aku tidak akan pernah luluh. Semakin lama, langkah kaki tersebut kian mendekat. Aku langsung beranjak dari peraduan, dengan pelan melangkahi kaki, mengambil golok yang terletak di dekat tungku api. Siapapun yang berani menyakitiku, maka aku tidak akan segan-segan untuk membunuhnya. Aku akan menjaga kehormatanku, bahkan sampai titik darah penghabisan. Pintu belakang terdengar seperti dicongkel. Menimbulkan sedikit getaran. Guguk tua yang kayunya sudah lapuk ini sebenarnya sudah hampir roboh, tapi aku tidak punya pilihan lain selain harus tetap tinggal di sini. Dengan pelan, aku melangkah menuju pintu dapur. Golok sudah berada di tangan kananku dan aku sudah mengambil ancang-ancang. Pintu dapur terbuka dengan pelan. Muncullah sosok seorang lelaki yang entah sudah berapa kali ingin mencoba menodaiku. Ia adalah Pak Murkidi, si tua bangka yang sudah memiliki empat orang istri. Bahkan beliau sudah memiliki cucu. "Mundur atau aku tebas lehermu itu, tua bangka?" ancamamku sambil mengangkat golok yang berada di tanganku. "Linda, ayolah, tidak usah sok suci seperti itu. Aku akan membayar berapapun yang kamu mau asalkan kamu mau menemaniku malam ini." Lelaki tua itu mencoba mendekat, tapi aku tidak tinggal diam. "Jika masih ingin hidup, segera tinggalkan tempat ini. Jika tidak, kepalamu itu akan berpindah ke lantai. Mau?" Tampaknya lelaki tua itu tidak takut, ia semakin mendekat dan mencoba meraih tanganku. Bugh! Aku langsung menendang alat vitalnya hingga lelaki tua itu mengerang kesakitan. "Aw, sakit!" "Masih kurang?" Aku mengangkat golok, siap-siap menghabisi musuh yang ada di depan mata. "Linda, ayolah! Aku bisa memberikan kehidupan yang layak untukmu dan anakmu asalkan kamu bersedia menikah siri denganku. Pasalnya aku sudah memiliki empat orang istri. Istri-istriku tidak mengizinkanku menikah lagi. Tapi kamu tidak usah khawatir. Kamu akan mendapatkan jatah yang sama dengan keempat istriku. Gimana, kamu mau, ya?" "Jawabanku masih sama seperti sebelumnya. Pulanglah sekarang juga, jangan sampai batas kesabaranku habis, Pak Murkidi," tegasku. Aku tetap waspada. Takut kalau ia berbuat nekat saat aku lengah. "Tidak! Aku tidak mau pulang dengan tangan kosong!" Lelaki itu semakin mendekat, membuatku kehabisan kesabaran. Aku langsung mengayunkan golok, sayangnya seranganku tak mengenai sasaran karena ia menghindar. "Kamu boleh lolos dari serangan pertamaku, tapi jangan harap bisa lolos dari seranganku selanjutnya," ancamku lagi. "Mama … Fatimah takut!" Putriku tiba-tiba menangis karena ketakutan. Terpaksa aku menghampirinya untuk menenangkannya. Lelaki tua itu mengambil kesempatan. Saat aku fokus pada Fatimah, ia berjalan dengan cepat, lalu menodongkan sebilah pisau ke leherku. "Kamu harus memenuhi keinginanku jika kalian masih ingin hidup." Sial! Si tua bangka ini balik mengancamku! Jika biasanya aku bisa mengusirnya hanya dengan mengeluarkan kata-kata ancaman, malam ini aku kesulitan karena ternyata ia membawa senjata tajam. Namun aku tidak takut. Tak semudah itu mengalahkanku, Furgoso! "Mama, Fatimah takut!" Fatimah memelukku semakin erat, sehingga aku tidak bisa berbuat apa-apa. Mau berteriak pun percuma, karena di tempat ini tidak ada orang lain kecuali kami. "Bunuh saja kami. Aku dan putriku lebih baik mati daripada harus menuruti keinginanmu itu. Silakan bunuh kami, ayo! Tapi ingat, arwahku akan datang menghantuimu setiap saat!" "Aku tidak akan membunuhmu, Linda. Aku hanya ingin bersenang-senang denganmu. Setelah tugasmu selesai, kamu akan mendapatkan bayaran yang setimpal." Lelaki tua bangka itu terus saja merayu dengan menawarkan uang yang banyak. Ia pikir aku akan bersedia, apa? Aku tidak sudi! Lebih baik hidup miskin daripada harus menjual diri. Si tua bangka itu terus saja merayu. Seketika terbesit ide di otakku untuk mengalihkan perhatiannya. Aku sengaja bertanya, apa imbalan yang kudapat jika mau menuruti keinginannya. Dengan senang hati ia menjawab akan memberiku uang dua puluh juta. Aku kembali memancingnya dengan berbagai pertanyaan hingga akhirnya ia lengah. Saat itulah aku berhasil merebut pisau tersebut dari tangannya. "Bukankah tadi sudah kuperingatkan agar kamu pulang saja? Tapi kamu tidak mau mendengarkan. Sekarang pisau ini akan menembus jantungmu, Pak Murkidi. Bersiaplah, sebentar lagi kamu akan menemui ajalmu." "Tidak! Jangan lakukan itu, Linda. Aku masih ingin hidup. Aku masih ingin bersama istri dan anak-anakku." "Linda, hentikan!" Tiba-tiba seorang lelaki yang sangat kukenal sudah berdiri di ambang pintu. Lelaki itu datang bersama keempat istri dari Pak Murkidi dan juga para warga. Termasuk Pak RT. "Linda, apa yang kamu lakukan dengan Pak Murkidi? Ternyata benar ya, apa yang dikatakan Mama. Kamu memang wanita yang tidak benar," tuding Mas Yudis. "Papa, ngapain Papa di sini? Apa benar, Papa ada main dengan w************n ini?" Kini giliran salah satu istri dari Pak Murkidi yang bertanya. Beliau bertanya sambil mengarahkan jari telunjuknya ke wajahku. "Kalian jangan nuduh sembarangan. Silakan tanyakan langsung kepada si tua bangka ini," sahutku tak mau kalah sambil mengelus kepala putriku. Ya, putriku semakin ketakutan, apalagi setelah melihat banyak orang di sini. "Jawab, Pa. Ngapain Papa menemui Linda? Jangan-jangan, Papa mau nikah lagi?" "Bukan, Ma. Linda yang sudah menjebak Papa. Katanya putrinya sakit keras dan butuh pertolongan. Eh, setelah Papa datang ke sini, dia malah berusaha menggoda Papa. Karena Papa menolak, makanya dia mau bunuh Papa." Aku menggeleng, tidak terima dengan tuduhan Pak Murkidi. "Itu fitnah. Bapak sendiri yang datang ke sini dan berniat menodaiku. Tidak usah mengarang cerita. Lagian, kapan aku bertemu dan minta tolong pada anda?" Aku berusaha membela diri. "Alah, alasan saja! Pasti kamu ingin menggoda suamiku, iya, kan? Ngaku saja!" Sebuah tamparan dari istri pertamanya Pak Murkidi langsung mendarat di pipiku. Sakit! Tak terima diperlakukan seperti itu, aku langsung membalas. Namun tanganku ditahan oleh Mas Yudis. "Udah salah masih berani ngelawan! Kamu memang wanita tidak tau diri, Linda," ucapnya. Tanganku mengepal, amarahku kian memuncak dan sudah naik sampai ke ubun-ubun. Sudah menodaiku, membuatku menderita, bahkan sekarang Mas Yudis ikut-ikutan memfitnahku. Tunggu saja. Aku tidak terima dengan semua ini. Aku akan menuntut balas kepada orang-orang yang telah membuatku menderita. Terutama kepada kamu, Mas Yudis. Akan kuhancurkan rumah tanggamu. Kamu harus merasakan lebih sakit dari apa yang kurasakan. Itu adalah janjiku dan sumpahku. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN