Bagian 3
Hari berganti Minggu, Minggu berganti bulan dan bulan pun berganti tahun.
Tak terasa, sudah lima tahun aku tinggal di gubuk yang mulai reot ini. Selama itu pula lah aku menanggung penderitaan. Aku berusaha bertahan dan tetap kuat, itu semua demi putriku, Fatimah. Ia lah sumber kekuatanku dan penyemangat hidupku. Aku sangat menyayangi Fatimah meskipun dulu aku tidak mengharapkan kehadirannya. Bagiku, Fatimah adalah anugerah terindah di hidupku.
Lima tahun, bukanlah waktu yang sebentar. Sampai detik ini, tak ada kabar dari Mas Yudis. Entah ia masih hidup atau justru sudah mati. Yang jelas, tidak pernah sekalipun kudengar kabar tentangnya.
Apa Mas Yudis tidak merasa bersalah atas perbuatannya padaku? Apa ia tidak tahu kalau aku menderita akibat ulahnya? Apa ia tahu kalau benih yang ia titipkan di rahimku sudah lahir dan tumbuh menjadi putri yang cantik? Tak berniat kah ia meminta maaf padaku dan menemui putrinya ini?
Aku sudah tak sanggup menjawab setiap pertanyaan yang keluar dari bibir mungil putriku. Berulang kali putri kecil yang kuberi nama Fatimah itu bertanya tentang ayahnya, aku selalu mencari-cari alasan yang masuk akal untuk meyakinkannya. Rasanya tak ada lagi alasan yang tidak kuucapkan. Kasihan putriku. Pasti ia sangat merindukan sosok seorang ayah.
Tidak lama lagi, putri kecilku berusia lima tahun. Ia ingin agar ayahnya menemuinya tepat di hari ulang tahunnya. Namun, rasanya itu mustahil.
Tuhan, apa yang harus kulakukan? Aku tidak mungkin memberitahunya kalau ibunya ini adalah korban kejahatan lelaki b***t. Fatimah masih terlalu kecil untuk mengerti hal itu.
"Ma, Ayah kapan pulang, sih? Apa Ayah enggak sayang sama kita?" tanya Fatimah saat aku membangunkannya dari tidurnya.
Fatimah kembali menanyakan pertanyaan yang tidak mampu untuk kujawab.
"Ma, Kapan kita pindah dari sini? Di sini sepi, enggak ada teman. Imah enggak betah tinggal di sini. Imah juga takut kalau rumah kita ini roboh, Ma. Ayah kapan beliin rumah buat kita?"
"Sabar ya, Sayang. Doakan saja yang terbaik untuk ayahmu. Enggak lama lagi 'kan lebaran, semoga saja ayahmu bisa pulang dari rantau dan bisa berjumpa dengan kita," ucapku untuk menghibur hatinya.
"Amin … iya, Ma, Fatimah akan selalu sabar menunggu Ayah," jawabnya. Seulas senyum pun terukir di bibir mungilnya.
"Nak, Mama mau ke warung, mau menjual sayur-sayuran ini. Kamu ambil jaket ya, ikut sama Mama."
"Baik, Ma."
Aku selalu mengajak putri kecilku kemanapun aku pergi. Aku tidak tenang jika meninggalkannya sendirian di gubuk. Takut terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Meskipun kami harus melewati persawahan dan menembus dinginnya embun pagi agar bisa sampai ke warung, tapi aku tidak peduli. Yang jelas, aku harus selalu bersamanya karena putriku lah sumber kekuatanku saat ini.
Seperti biasa, sebelum adzan subuh berkumandang, kami sudah tiba di warung milik salah satu warga.
"Assalamualaikum, Bu, ini sayurannya," ucapku kepada sang pemilik warung.
"Waalaikumsalam, Linda. Oh ya, silakan taruh di situ. Ada berapa ikat sayurannya?"
"Daun ubi ada 10 ikat, bayam 10 ikat, daun katuk 7 ikat dan ini ada serai 10 ikat, Bu."
"Oh, baiklah, sebentar saya hitung dulu ya. Uangnya mau dibelanjakan atau diambil saja?"
"Tukar sama beras satu liter, minyak tanah satu liter, telur dua butir, sabun cuci, odol, minyak goreng kemasan kecil dan tambah permen ini, Bu." Aku mengambil permen harga lima ratusan dua biji dan langsung memberikannya kepada sang pemilik warung.
"Ini belanjaannya dan ini sisa uangnya. Ini Ibu tambahkan mie instan, siapa tahu kamu ingin makan mie instan."
"Enggak usah, Bu. Maaf, uangnya enggak cukup. Jika dibelanjakan semuanya, nanti kami mau makan apa, Bu?" Aku menolak. Jujur saja, sudah lama aku pengen makan mie instan, tapi apalah daya, daripada membeli mie instan lebih baik membeli beras.
"Enggak usah bayar, Ibu ikhlas ngasihnya, ambillah, Linda."
"Tapi, Bu–"
"Ini ambillah, enggak usah pakai tapi-tapi." Sang pemilik warung segera memasukkan mie instan tersebut ke dalam kantong plastik dan memberikannya padaku.
"Terima kasih, Bu, Ibu sudah banyak membantuku."
"Sama-sama, Linda."
"Kalau begitu kami permisi dulu ya, Bu, assalamualaikum."
"Linda, tunggu!"
Aku pun menghentikan langkah. "Ada apa lagi, Bu?"
"Apa kamu tahu kalau Yudis akan pulang? Ibu dengar kabar dari mamanya, katanya dia akan pulang."
"Apa? Mas Yudis mau pulang, Bu?" tanyaku penuh selidik.
Semoga saja kabar ini benar. Aku ingin Mas Yudis menemui Fatimah dan mengakui kalau Fatimah adalah putri kandungnya.
"Iya, Linda. Ibu dengar sendiri saat mamanya Yudis berbelanja ke sini. Semoga saja dia mau tanggung jawab, ya. Ibu sebenarnya kasihan padamu. Ibu tahu bahwa kamu ini wanita baik-baik. Ibu berharap dia mengakui kesalahannya dan segera menikahimu."
"Siapa itu Mas Yudis, Ma?" tanya Fatimah sambil memakan permen rasa s**u kesukaannya.
"Nanti juga kamu akan tahu sendiri, Nak. Oh ya, Bu, kami pamit dulu, takutnya ada warga byang melihat kami di sini. Permisi."
"Iya, Linda. Hati-hati."
Aku mengangguk, lalu segera berlalu dari warung tersebut. Hari sudah mulai terang, jangan sampai ada warga yang melihatku. Mereka tidak akan mau lagi berbelanja di warung tersebut jika tahu bahwa sayur-sayuran itu hasil dari kebunku. Itu akan merugikan pemilik warung juga. Aku tidak tega melihatnya jika sampai warungnya sepi pembeli, karena hanya beliau satu-satunya orang yang peduli terhadapku.
***
Ternyata kabar tentang kepulangan Mas Yudis itu benar. Ia benar-benar sudah kembali ke kampung ini. Aku mengetahuinya dari Ibu pemilik warung langgananku yang mengatakan bahwa sudah bertemu langsung dengan Mas Yudis. Tapi kenapa Mas Yudis tidak kunjung menemuiku? Apa ia sudah lupa padaku?
Ini merupakan hari ke tiga semenjak Mas Yudis kembali. Tapi kenapa belum datang juga? Ada apa?
"Ma, kenapa wajah Mama murung?" tanya Fatimah, ia memergokiku sedang menyiangi kangkung sambil senyum-senyum sendiri.
"Enggak kok, Nak. Ibu hanya kecapean saja."
Aku sengaja berkata seperti itu. Takut Fatimah kepikiran.
"Ma, Mas Yudis siapa, sih? Apa Mama mau cerita sama Fatimah?" bujuknya. Putri kecilku itu pun duduk di sampingku, lalu menggenggam tanganku.
Aku terdiam sejenak. Apa mungkin ini saat yang tepat untuk memberitahunya?
"Ma, apa Om Yudis itu ayahku?"
Aku memejam beberapa saat, mengambil napas, lalu menghembuskannya untuk mengurangi sesak di dalam d**a.
"Iya, Nak, dia ayahmu." Akhirnya aku jujur padanya. Putriku memang harus tahu siapa ayahnya. Selama ini aku berusaha menutupi hal yang berkaitan dengan Mas Yudis dari putriku.
"Asyik … sebentar lagi Fatimah akan bertemu dengan Ayah." Putri kecilku bersorak kegirangan, membuat rumah panggung yang kami tempati ini sampai bergoyang karena Fatimah meloncat kegirangan.
"Sayang, jangan gitu, Nak. Nanti rumah kita roboh, loh!"
"Maafin Fatimah ya, Ma."
"Iya, Sayang."
Aku maklum. Mungkin saking bahagianya, ia lupa kalau rumah kami ini adalah gubuk tua yang sudah reot dan bisa roboh kapan saja.
"Ma, Fatimah mau mandi dulu, ya, biar wangi. Nanti kalau Ayah datang biar Ayah mau peluk Fatimah. Ayo, Ma, kita mandi."
Aku pun mengangguk. Segera mengambil handuk dan perlengkapan mandi, lalu membawa Fatimah mandi di sungai yang tidak terlalu jauh dari gubuk kami.
"Oh ya, Ma, kata pemilik warung, Ayah 'kan sudah pulang, tapi kenapa enggak datang nemuin kita, Ma? Ayah itu sebenarnya sayang enggak sih, sama kita?"
Lagi-lagi, aku dibuat pusing oleh pertanyaan putriku. Bagaimana aku bisa menjawabnya, aku sendiri pun tak tahu jawabannya.
***
Sore hari, aku sengaja mengajak putriku ke perkampungan. Aku sudah tidak sabar lagi. Jika Mas Yudis tidak mau mememuiku, maka aku yang akan menemuinya.
Tidak kuhiraukan lagi tatapan sinis para warga yang memandang jijik kepadaku dan putriku. Aku tak peduli. Yang jelas, aku harus menemui Mas Yudis. Ia harus bertanggung jawab seperti janjinya dulu.
Aku akan mendatangi rumahnya. Rasa malu kuabaikan. Ini semua kulakukan demi putriku. Putriku berhak tahu dan bertemu dengan ayahnya. Fatimah
layak mendapat pengakuan dari ayah kandungnya.
"Ma, apa Mama mau membawaku menemui ayah?"
"Iya, Sayang. Kamu akan bertemu dengan ayahmu."
Putriku tersenyum, ia menurut dan terus berjalan di sisiku.
Dari jarak sekitar sepuluh meter, aku melihat sosok seorang lelaki yang tidak asing lagi bagiku. Lelaki itu terlihat tampan sekali dengan balutan baju koko warna putih dan juga peci putih di kepalanya. Ia adalah Mas Yudis, lelaki yang dahulu sangat kucintai.
Tak terasa, kaca-kaca bening tiba-tiba mengalir begitu saja dari sudut netra tanpa bisa ditahan. Aku kembali teringat kejadian lima tahun silam saat lelaki itu merenggut kesucianku secara paksa. Kini benih itu sudah tumbuh menjadi seorang gadis kecil yang cantik jelita. Semoga hati Mas Yudis bisa luluh dan juga merasa bersalah setelah melihat putrinya ini.
"Nak, itu ayahmu. Ayo kita temui dia."
Fatimah mengangguk, ia terlihat bersemangat sekali.
Saat aku dan Fatimah hendak menghampirinya, tiba-tiba seorang wanita muda datang terlebih dahulu menghampirinya. Wanita itu datang bersama anak kecil yang kuperkirakan usianya sekitar empat tahunan.
Tanpa basa-basi, wanita itu langsung duduk di samping Mas Yudis, tanpa jarak. Sementara anak kecil itu kembali masuk ke dalam rumah.
Mas Yudis menggenggam tangan wanita itu, lalu mengelus rambutnya.
Ada hawa panas yang tiba-tiba menjalar di sekujur tubuhku saat menyaksikan pemandangan menyakitkan tersebut.
Apa mungkin Mas Yudis sudah menikah? Tidak, ini tidak mungkin. Aku harus bertanya untuk memastikan kebenarannya.
Lama aku dan putriku bersembunyi di balik pohon mangga ini, menunggu sampai Mas Yudis keluar dari rumah itu. Sungguh, aku sudah tidak tahan melihat mereka bermesraan di depan mataku. Hatiku sakit dan terluka. Namun, aku tidak punya pilihan lain. Aku harus menunggu sampai Mas Yudis benar-benar sendiri karena aku tidak mau memancing keributan.
Akhirnya saat yang ditunggu-tunggu pun tiba. Wanita itu masuk ke dalam rumah. Tinggallah Mas Yudis seorang diri. Inilah saatnya.
Aku dan Fatimah segera keluar dari tempat persembunyian. Menghadang Mas Yudis di tengah jalan yang kebetulan sudah keluar dari rumahnya dengan mengendarai sepeda motor.
"Woy, minggir, aku mau lewat! Kalian mau ditabrak, ya?" bentak Mas Yudis, membuat Fatimah ketakutan.
Aku segera membuka penutup kepalaku dan memperlihatkan wajahku kepada Mas Yudis.
"Li–Linda, i–ini kamu? tanyanya terbata.
"Iya, ini aku, Mas. Kenapa kamu mengingkari janjimu? Kenapa kamu tidak datang menemuiku? Kenapa kamu lari dari tanggung jawab, hah?" Aku menatapnya dengan tatapan tajam.
"Bukan begitu, Lin. Sekarang aku sudah punya kehidupan baru. Aku sudah menikah dan sudah memiliki anak. Jadi tolong jangan ganggu aku lagi." Mas Yudis berucap dengan entengnya tanpa merasa bersalah sedikitpun.
"Kamu bilang apa, Mas? Kamu sudah menikah? Terus bagaimana denganku?"
"Tolong lupakan aku, Lin. Tolong jangan pernah menggangguku lagi."
"Tidak! Kamu harus tanggung jawab. Teganya kamu mengingkari janji, Mas."
"Tanggung jawab untuk apa dan janji yang mana? Coba jelaskan padaku!"
Hati ini seperti diremas-remas mendengar ucapannya. Tidak kusangka jika kata-kata itu akan keluar dari mulut Mas Yudis. Setelah menyesap maduku, kini ia malah mencampakkanku. Benar-benar tega!
Tanganku pun mengepal. Seketika emosi di dalam d**a bergejolak. Tidak kusangka Mas Yudis akan memperlakukanku seperti ini.
"Kamu benar-benar biadap, Mas!"
Aku langsung menendang motornya hingga ia terjatuh dan tertimpa motor.
"Rasakan itu! Itu belum seberapa dibanding dengan apa yang sudah kamu lakuin ke aku."
Bersambung