Bagian 2
"Linda, Nenek Saidah, keluar kalian!"
"Dobrak saja pintunya! Kelamaan jika menunggu mereka membuka pintu!"
"Betul. Dobrak saja! Setelah itu, seret keluar dan usir dari kampung ini!"
Suara ribut-ribut dari arah luar membuatku terbangun dari tidur. Kepalaku terasa pusing karena kurang tidur, juga karena terlalu banyak menangis.
Aku segera beranjak dari tempat tidur, lalu membuka pintu kamar untuk melihat apa yang terjadi.
"Ada apa ini? Kenapa kalian menggedor-gedor pintu rumah saya tengah malam begini?"
Terdengar suara pintu dibuka, lalu aku mendengar Nenek bertanya kepada orang yang mengetuk pintu tersebut.
"Hey, Nenek Saidah, mana cucumu si Linda itu? Cucumu itu telah mencoreng nama baik kampung ini. Dia telah membawa aib. Kami tidak mau kampung ini ketiban sial karena ada wanita yang hamil diluar nikah di sini," ucap seseorang yang kuduga adalah Pak RT.
Lututku langsung lemas mendengarnya. Aku ketakutan. Niat untuk keluar kuurungkan. Aku kembali lagi ke kamar dan menguncinya dari dalam.
Ternyata Pak RT dan juga warga sudah tahu tentang kehamilanku. Bagaimana ini? Apa yang harus kulakukan? Apa mereka akan menghakimiku?
Tidak! Aku tidak mau dihukum atas kesalahan yang tak pernah kulakukan.
"Linda … keluar kau! Kami tau, kau pasti bersembunyi di dalam. Cepat keluar!"
Aku menutup telinga saat mendengar para warga kembali memanggil namaku.
"Hentikan! Saya minta kalian pergi dari sini dan kembali ke rumah kalian masing-masing. Berhenti membuat keributan di rumah saya dan berhenti memfitnah cucu saya!"
"Hey Nenek Saidah, tidak usah kau lindungi cucumu yang murahan itu. Suruh saja si Linda itu keluar."
Itu seperti suara Tante Sarifah, mamanya Mas Yudis. Aku yakin, pasti Tante Sarifah lah yang telah menyebarkan kabar kehamilanku ini kepada warga.
"Cucu saya bukan w************n, Sarifah. Linda wanita baik-baik," tegas Nenek.
"Jika cucumu si Linda itu wanita baik-baik, tidak mungkin ia hamil tanpa suami. Akui saja kalau cucumu itu wanita murahan."
"Tidak! Kalian salah. Linda adalah wanita baik-baik. Di sini dia adalah korban. Ya, saat ini Linda memang sedang mengandung. Namun itu semua bukan keinginannya. Yudis, anaknya Sarifah lah yang telah menodainya. Yudis telah merenggut kesucian Linda secara paksa sebelum dia berangkat ke kota. Kami sudah mendatangi rumah Yudis untuk meminta pertanggung jawaban, tapi mamanya Yudis tidak mau tanggung jawab. Dia tidak mau tau dan malah mengusir kami dari rumahnya. Jadi kalian jangan menyalahkan cucu saya. Seharusnya si Yudis lah yang dihukum, bukan Linda!" tegas Nenek, berusaha membelaku.
"Hey Nenek Saidah, kamu tidak usah menyebarkan fitnah bohong. Cucumu yang hamil kok' malah anakku si Yudis yang disalahkan?" sahut Tante Sarifah.
"Saya berkata benar bapak-bapak, ibu-ibu, cucu saya tidak bersalah. Yudis lah yang pantas dihukum. Bukan Linda."
"Sudahlah, tidak usah banyak alasan! Ayo, usir Linda. Usir w************n itu dari kampung ini! Usir wanita pembawa sial itu sekarang juga!"
"Jangan … tolong jangan usir cucu saya. Linda tidak punya siapa-siapa lagi. Pak RT, tolong bantu kami, Pak!"
"Maaf, Nenek Saidah. Saya tidak bisa mentolerir kesalahan cucu Anda. Kesalahannya sudah sangat fatal. Kampung ini akan terkena sial kalau si Linda masih tetap berada di sini."
"Cucu saya tidak bersalah, Pak. Jangan usir dia. Saya mohon!"
Sekuat apapun Nenek mencoba menahan mereka, tetap saja tidak bisa. Para warga langsung menerobos masuk dan mendobrak pintu kamarku.
"Apa-apaan ini? Aku mau dibawa ke mana? Lepasin!" Aku berusaha berontak, tapi tenagaku tidak cukup kuat untuk melawan mereka.
"Ayo kita usir wanita ini."
Aku ditarik paksa dan diseret hingga keluar rumah.
Tidak ada yang mau mendengar penjelasanku meskipun aku sudah memohon dan bersujud di hadapan mereka semua.
Aku diusir dari rumahku sendiri. Diarak keliling kampung. Disiram dengan air comberan, dicaci, dihina bahkan sampai ada yang menjambak rambutku dan menyumpahiku dengan sumpah serapah. Mereka benar-benar memperlakukanku seperti hewan.
Tuhan, apa salahku? Kenapa harus aku yang menanggung beban seberat ini? Kenapa bukan lelaki itu saja ya Allah? Ini sungguh tidak adil!
***
Di sinilah aku sekarang, menyendiri di sebuah gubuk di tengah-tengah kebun milik salah satu warga yang kasihan kepadaku.
Gubuk berdinding papan beratap seng yang luasnya tidak seberapa ini akan menjadi saksi bisu atas penderitaanku.
Di malam hari, aku hanya ditemani oleh lampu teplok dan juga suara jangkrik. Di siang hari, aku ditemani oleh kupu-kupu dan juga capung yang selalu beterbangan di atas gubukku ini. Para kupu-kupu menari, seolah menghibur hatiku yang dilanda kesedihan dan kesepian.
Gubuk ini sungguh sangat jauh dari pemukiman warga. Aku selalu ketakutan di malam hari. Takut kalau ada orang yang berniat untuk berbuat jahat padaku. Aku hanya bisa berdoa, semoga Tuhan senantiasa melindungiku.
Untuk bertahan hidup, aku menanami sayur-sayuran di sekitar gubuk. Luasnya cukup untuk sekadar menanami sayur-sayuran, cabai, tomat dan yang lainnya. Hasilnya akan dijual ke salah satu warung yang ada di perkampungan.
Tidak ada pilihan. Mau tidak mau, suka tidak suka, aku harus menjalani semua ini.
Setelah panen, aku akan menjual hasil kebunku ke salah satu toko sayuran milik warga. Aku harus datang ke toko tersebut sebelum matahari terbit. Menerobos dinginnya embun pagi, melewati kebun dan persawahan yang gelap dan sepi demi sesuap nasi.
Menurut pemilik toko, warga tidak akan mau membeli sayur-sayuran tersebut jika tahu bahwa aku lah yang menanamnya. Mereka takut ketiban sial, katanya. Sampai segitunya mereka membenciku?
Para warga begitu kejam. Mereka tidak mau mendengar penjelasanku sedikit pun. Padahal, aku adalah korban. Seharusnya aku dilindungi, bukan malah diperlakukan seperti ini. Dimusuhi dan dikucilkan. Sungguh sakit sekali rasanya.
Aku benci keadaan seperti ini. Aku begitu menderita dan merasa tersiksa hidup di tempat ini. Jika dulu aku masih punya tempat untuk mengadu, sekarang tidak lagi. Nenek adalah satu-satunya keluarga yang kumiliki, sekarang beliau telah tiada.
Nenek harus meregang nyawa karena berusaha melindungiku saat para warga hendak mengusirku. Nenek terkena pukulan oleh salah satu warga dan beliau mengembuskan napas terakhirnya di depan mataku sendiri. Tak ada yang peduli dan tak ada yang mau disalahkan atas peristiwa itu.
"Jaga diri baik-baik ya, Nak. Bersabarlah. Insya Allah, cepat atau lambat, kebenaran akan segera terungkap. Maaf, Nenek tidak bisa lagi melindungimu."
Itulah pesan terakhir Nenek sebelum beliau pergi meninggalkanku untuk selamanya.
Aku hanya bisa pasrah dan menangis saat melihat Nenek meninggal dengan cara tragis seperti itu.
Aku tidak bisa menuntut karena aku tidak berdaya. Bahkan untuk memandikan dan mengantarkan Nenek ke tempat peristirahatan terakhir saja pun, aku tidak diizinkan.
Itulah momen paling menyedihkan dalam hidupku. Andai aku punya kekuatan, sudah kumusnahkan seluruh penghuni kampung agar rasa sakit hatiku ini terlampiaskan. Namun apalah daya, aku hanya manusia biasa yang lemah dan tak berdaya.
Tak terasa, semakin hari kandunganku kian membesar. Aku mulai melalui masa-masa sulit. Mungkin ini yang dikatakan masa ngidam bagi wanita yang sedang hamil muda. Sakit, pusing, mual, muntah, serta kehilangan selera makan kulalui seorang diri, tanpa orang tua, tanpa Nenek dan tanpa suami.
Lelaki yang aku harapkan bertanggung jawab atas semua ini malah tidak pernah terdengar lagi kabarnya. Masih ingatkah ia padaku? Wanita yang telah ia renggut kesuciannya dan saat ini sedang mengandung anaknya?
Aku selalu menunggunya. Bukan berharap untuk dinikahi, tapi setidaknya Mas Yudis membersihkan nama baikku agar aku bisa kembali ke rumah dan tinggal di tempat yang layak.
Aku selalu berharap akan datangnya keajaiban agar aku bisa keluar dari masa-masa sulit ini. Allah, kapankah saat itu tiba?
Bersambung