Direnggut Paksa

1564 Kata
Bagian 1 "Aku hamil, Tante," ucapku kepada Tante Sarifah sesaat setelah beliau menanyakan tujuanku dan Nenek datang menemuinya. Harga diri kuabaikan. Yang ada di pikiranku saat ini adalah bagaimana caranya agar Mas Yudis secepatnya menikahiku. Sebenarnya aku malu untuk mengungkapkan hal ini kepada Tante Sarifah. Ini adalah aib. Namun, aku tidak punya pilihan lain. Tante Sarifah harus mengetahui apa yang telah diperbuat anaknya terhadapku. Dengan ditemani Nenek, aku pun mengatakannya kepada Tante Sarifah. Tujuanku datang ke sini adalah untuk meminta pertanggung jawaban. Saat ini Mas Yudis sedang merantau ke kota Jakarta dan aku tidak tahu di mana alamatnya. Nomor HP-nya pun sudah tidak aktif. Sebenarnya aku takut untuk datang kemari, tetapi Nenek memaksa. Akhirnya aku menurut saja. "Kamu hamil?" tanyanya ketus, lalu membuang muka. Seolah enggan menatap wajahku. Aku mengangguk. Berharap ibunya Mas Yudis segera menikahkan aku dengan anaknya. Jujur, aku sudah tidak lagi mencintai Mas Yudis. Bahkan aku sangat membencinya karena ia telah merusak hidupku, tetapi aku tak punya pilihan. Mas Yudis harus menikahiku demi janin yang ada di dalam rahimku ini. "Kamu ini lucu ya, Linda! Apa hubungannya kehamilanmu itu denganku, hah?" "Tante ada kaitannya dengan kehamilanku ini karena anak yang ada di dalam kandunganku ini adalah anak dari Mas Yudis, Tante. Tolong suruh Mas Yudis pulang secepatnya karena dia harus bertanggung jawab, Tante," ucapku dengan sopan. Aku masih menunduk, tidak berani menatapnya matanya. Aku merasa telah kehilangan harga diri. Tetapi kuabaikan semua itu. Ada hal yang lebih penting dari sekadar mementingkan harga diri. "Aku tidak peduli dan tidak mau tau. Yudis sudah tiga bulan lebih pergi merantau. Kenapa baru bilang sekarang?" Tante Sarifah berdiri dari tempat duduknya, ia memindai penampilanku dari ujung rambut hingga ujung kaki. "Karena aku baru mengetahui bahwa aku ini hamil, Tante." "Tapi aku curiga padamu. Apa jangan-jangan, kamu telah tidur dengan lelaki lain? Karena lelaki itu tidak mau tanggung jawab, makanya kamu minta pertanggung jawaban pada anakku Yudis, iya? Dasar wanita licik! Murahan!" Bukannya memberi solusi, Tante Sarifah malah mencaci maki dan menuduhku yang bukan-bukan. Ya Tuhan, kenapa jadi begini? Bukan ini yang kuinginkan. "Aku bukan wanita seperti itu, Tante. Aku bukan w************n. Mas Yudis lah yang jahat karena dia telah merenggut kesucianku secara paksa. Dia harus tanggung jawab, Tante." Tentu saja aku menyangkal dan membela diri karena tuduhannya tidak benar. "Tidak usah sok suci, Linda. Jika kamu wanita baik-baik, mana mungkin kamu bisa hamil. Aku tahu betul bagaimana anakku. Yudis itu orang baik. Dia tidak mungkin melakukan apa yang kamu tuduhkan," sangkalnya. "Yudis itu anak yang berbakti dan selalu menurut apa kata orang tua. Jangankan menghamili anak orang, membantah orang tua saja tidak berani," lanjutnya lagi. "Tapi aku tidak bohong, Tante. Mas Yudis memang melakukan itu padaku." "Tidak mungkin! Pasti kamu mau menjebak anakku, kan? Pergi kau dari sini sebelum kesabaranku habis. Keluar!" "Sarifah! Tolong jaga bicaramu! Jangan hina cucu saya," sahut Nenek. "Linda ini wanita baik-baik. Anakmu lah yang b******n, dia telah menodai cucu saya. Jadi anakmu harus bertanggung jawab, Sarifah. Jangan sampai saya melaporkan kasus ini ke polisi. Bisa-bisa anakmu akan mendekam di balik jeruji besi," ancam Nenek. Nenek terlihat murka, mungkin beliau tidak terima melihat cucunya dihina habis-habisan. "Hey Nenek Saidah, kamu mau mengancamku, hah? Kamu pikir kamu siapa? Kalian hanya orang miskin yang tidak punya apa-apa. Asal kamu tahu ya, Nenek Saidah, cucumu ini bukan wanita baik-baik! Buktinya dia hamil tuh! Mana ada wanita baik-baik yang hamil diluar nikah!" Tante Sarifah tak mau kalah. "Satu hal yang perlu kalian tahu, aku tidak akan pernah merestui anakku menikahi cucumu yang murahan ini. Linda, jangan pernah bermimpi untuk menjadi menantuku, karena sampai kapanpun aku tidak sudi kamu menikah dengan Yudis. Camkan itu!" "Cukup! Tutup mulutmu, Sarifah! Berhenti menghina cucu saya!" Nenek semakin murka. "Kalian yang harusnya tutup mulut. Kalian telah membuka aib sendiri. Lihat saja, aku akan melaporkan kalian kepada pak RT agar kalian diusir dari kampung ini. Pergi sana! Jangan pernah menginjakkan kaki lagi di rumahku ini!" Tante Sarifah langsung mendorongku dan Nenek keluar dari rumahnya. Beliau kemudian menutup pintu dengan keras sehingga menimbulkan bunyi yang memekikkan telinga. Inilah yang paling aku takutkan. Pasti aib-ku akan tersebar di kampung ini. Aku harus menanggung malu atas perbuatan Mas Yudis. Mas Yudis, kamu jahat! Seandainya kamu ada di sini, aku pasti sudah memukulmu dan menghajarmu habis-habisan. Sungguh, aku membencimu, Mas Yudis! "Linda, kamu lihat sendiri, kan? Mamanya Yudis tidak mempercayaimu. Terus, sekarang bagaimana? Seandainya saja kamu masih suci, pasti saat ini kamu sudah menikah dengan anaknya Kyai Umar. Kyai Umar adalah orang terkaya nomor dua di kampung ini. Pasti hidupmu akan bahagia jika menikah dengan anaknya yang sudah sarjana itu. Ya, tiga hari yang lalu keluarga Kyai Umar memang datang ke rumah untuk meminangku. Kyai Umar berniat meminangku untuk putranya yang bernama Ali. Namun setelah kuceritakan bahwa diriku sudah tidak suci, Kyai Umar beserta keluarganya langsung pergi begitu saja tanpa mau mendengar alasanku. Mas Ali tidak masalah. Lelaki itu mau menerimaku apa adanya karena ia sudah lama mencintaiku. Tetapi tidak demikian dengan orang tuanya. Mereka tidak terima. Ya, aku sadar diri. Mana mungkin ada lelaki yang mau menerima gadis yang sudah tak suci lagi? Semua lelaki pasti menginginkan gadis yang belum pernah disentuh oleh lelaki lain. Aku sempat berpikir, tak mengapa tidak menikah selamanya. Aku bisa hidup sendiri meskipun tanpa pendamping hidup. Namun sesuatu yang tak pernah kuduga sebelumnya datang padaku. Aku hamil. Sungguh ini begitu berat bagiku. Aku tidak mungkin bisa menyembunyikan kehamilanku ini karena perutku semakin lama akan semakin besar. "Terus sekarang aku harus bagaimana, Nek?" tanyaku khawatir. Nenek hanya diam, bahkan setelah kami tiba di rumah pun, Nenek tidak mau bicara. Ya Allah … semua ini salah Mas Yudis. Mas Yudis lah yang telah membuatku menanggung malu seperti ini. Jika saja saat itu aku tidak menuruti keinginan Mas Yudis untuk menemuinya di pinggir sawah, mungkin semua ini tidak akan terjadi. *** "Linda, besok Mas akan merantau ke Jakarta. Mas minta nanti sore temui Mas, ya. Mas ingin mengucapkan salam perpisahan padamu," pinta Mas Yudis. Aku yang baru pulang dari sungai pun menganggukkan kepala, mengiyakan permintaannya. Sesuai janji, setelah sore tiba, aku pun menemuinya di pinggir sawah. "Linda, maaf, Mas harus merantau ke Jakarta. Ini semua Mas lekukan demi kita, demi masa depan kita, Lin. Mas akan mencari pekerjaan di kota. Setelah uang terkumpul, Mas akan datang melamarmu. Mas harap, kamu sabar menunggu sampai Mas kembali." "Iya, Mas. Aku akan sabar dan setia menunggumu." "Mas senang mendengarnya. Oh ya, apa boleh Mas minta sesuatu darimu? Mas ingin kamu memberikan kenang-kenangan spesial yang gak bisa dilupakan seumur hidup." "Boleh, Mas. Aku juga ingin Mas selalu mengingatku. Ini aku udah siapin sesuatu buat kamu." Aku kemudian memberikan sebuah kain batik untuknya. "Kalau Mas kedinginan, ambil saja kain ini dan bayangin wajahku. Mas juga bisa menggunakannya sebagai selimut." "Maaf, Linda, tapi bukan ini yang Mas inginkan," tolaknya sambil menatapku dengan sorot mata yang sulit diartikan. "Lantas, apa? Aku enggak punya uang beli sesuatu yang kamu inginkan. Mas 'kan tahu sendiri kalau aku bukan orang kaya?" "Mas tahu itu, Sayang. Makanya Mas mau merantau, cari uang biar bisa nikahin kamu dan bahagiain kamu." Aku sungguh merasa tersanjung dengan ucapannya. Ternyata Mas Yudis sangat mencintaiku. Mas Yudis kemudian mendekat, menggenggam tanganku, lalu membisikkan sesuatu di telingaku yang membuatku seketika ingin menamparnya dan mengakhiri hubungan dengannya. "Enggak, Mas. Untuk yang satu itu, aku enggak bisa. Lebih baik kita akhiri hubungan ini. Kita putus saja! Permisi!" Mas Yudis kemudian menghadangku dan mencekal pergelangan tanganku. "Jangan pergi, Linda. Kamu itu milik Mas seutuhnya. Mas tidak mau ada lelaki lain yang melamarmu saat Mas pergi nanti. Kamu harus nurut!" "Lelaki sejati itu menjaga wanitanya, Mas, bukan malah merusak kehormatannya. Kupikir kamu lelaki baik-baik, ternyata aku salah. Lepasin! Aku enggak mau lagi ada hubungan sama kamu. Aku benci kamu, Mas!" Aku menyesal karena sudah mau menerima cintanya. Ternyata lelaki yang sangat kucintai adalah lelaki yang hanya mementingkan hawa nafsu. "Sekali lagi kuperingatkan, lepasin! Jika tidak, aku akan berteriak minta tolong." Aku mengeluarkan kata-kata ancaman. "Di sini tidak ada siapa-siapa, Linda. Hanya ada kita berdua!" Sial! Ternyata Mas Yudis sudah mengatur segalanya. "Aku bilang lepasin! Biarin aku pergi!" Aku berontak. Berusaha melepaskan diri dari lelaki yang sudah dirasuki setan itu. Namun, aku tidak cukup kuat untuk melawannya. Semuanya terjadi begitu cepat. Sekuat apapun aku melawan, percuma saja. Semuanya tenggelam oleh kekuatan lelaki yang telah dirasuki hawa nafsu itu. "Maafin Mas, Linda. Mas terpaksa melakukannya. Hanya ini satu-satunya cara untuk mengikat cinta kita. Mas tidak mau kamu dinikahi oleh lelaki lain. Mas tidak yakin kamu bisa setia. Kamu adalah wanita tercantik di kampung ini. Mas tau, banyak lelaki yang menginginkanmu. Setelah ini, Mas bisa pergi dengan tenang tanpa perlu khawatir meninggalkanmu di sini karena Mas yakin, kamu akan setia menunggu sampai Mas kembali." Maaf? Apa ia pikir dengan minta maaf, ia bisa mengembalikan kesucianku? "Kamu jahat, Mas! Aku benci kamu!" "Linda, Mas mohon jangan menangis lagi. Mas memang salah. Semuanya sudah terjadi. Mas janji akan bertanggung jawab. Mas pasti akan menikahimu setelah sukses di Jakarta." Menangis dan menangis. Hanya itu yang bisa kulakukan. Hanya air mata yang bisa mengungkapkan betapa hancurnya hatiku. Aku merasa sudah tak berguna dan tak berarti. "Linda, kamu menangis lagi? Sudahlah, berhenti memikirkan lelaki jahat itu. Ayo tidur, sudah malam." Tepukan di pundakku sejenak membuyarkan lamunanku. Aku kembali teringat kejadian itu. Kejadian yang tidak mungkin bisa kulupakan, bahkan hingga seumur hidupku. "Iya, Nek!" Bagaimana mungkin aku bisa tidur dalam keadaan seperti ini? Beban batin yang kurasakan ini teramat berat. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN