Bagian 12
POV Linda
Jarum jam menunjukkan pukul tujuh pagi. Mas Yudis belum juga bangun, sementara aku sama sekali tidak tidur malam ini. Aku sengaja menahan kantuk. Takut jika Mas Yudis melakukan sesuatu yang tidak diinginkan, seperti dulu.
Semalam, setelah selesai mencurahkan seluruh isi hatinya, Mas Yudis tertidur. Setelah ia tidur, aku memilih untuk pindah ke sofa. Jujur saja, aku tidak sudi satu ranjang dengannya biarpun ia mengatakan tidak akan melakukan sesuatu terhadapku. Namun, siapa yang bisa menjamin?
Rasanya aku ingin segera keluar dari tempat ini, lalu menyelamatkan putriku.
Aku sangat mengkhawatirkan keadaan putriku. Ini kali pertama kami berpisah. Selama ini kami tidak pernah berpisah walau sedetikpun. Dan keadaan seperti ini sangat menyiksaku.
Bagaimana kabarmu Fatimah sayang? Apa kamu sudah makan, Nak? Apa kamu kedinginan semalam? Aku berbicara sendiri seperti orang bodoh. Tanpa terasa, rupanya air mata sudah membasahi pipiku.
"Linda, kamu kenapa nangis lagi?" Mas Yudis ternyata sudah berdiri di hadapanku. Aku tidak menyadari ternyata dirinya sudah bangun.
Aku diam, tak menjawab.
"Jangan nangis lagi, dong! Aku gak bisa liat kamu sedih begitu! Coba katakan apa yang membuatmu menangis pagi-pagi begini?"
"Aku cuma mau Fatimah, Mas. Itu saja!"
"Oke. Aku ke kamar mandi dulu. Setelah itu kita otw jemput putrimu. Gimana?"
Aku hanya mengangguk.
Mas Yudis kemudian masuk ke kamar mandi. Lama ia berada di dalam, tak keluar dari tadi. Padahal aku di sini sudah jenuh menunggunya.
Mas Yudis tidak tahu, satu detik saja sangat berarti bagiku. Aku takut Fatimah kenapa-kenapa. Hal itu terus yang ada di pikiranku dari tadi.
Akhirnya aku mengetuk pintu kamar mandi karena sudah tak sabar.
"Sebentar!" ucap Mas Yudis dari dalam.
"Buruan dong," desakku.
Beberapa menit kemudian, pintu kamar mandi terbuka. Mas Yudis keluar dalam keadaan rambut basah. Wajahnya terlihat lebih fresh. Bajunya juga sudah berganti. Pantas saja lama. Ternyata Mas Yudis mandi.
"Kamu enggak mandi?" tanyanya.
"Nanti aja. Lagian aku enggak bawa baju ganti. Kita pergi sekarang yuk, Mas!"
"Bentar ya!" Mas Yudis malah menjatuhkan bobotnya di atas sofa sambil memainkan ponselnya. Astaghfirullah! Benar-benar menguji kesabaran. Niat menolong enggak, sih?
"Gila! Leni minta tarifnya ditambah karena kamu belum pulang juga ke rumahnya. Dia pikir kita senang-senang di sini, padahal bukan," ucap Mas Yudis. Matanya tak beralih dari ponsel yang berada di tangannya tersebut.
Aku hanya diam saja. Tak merespon. Itu semua tidak penting bagiku.
"Oke, aku akan meminta putrimu kepada Leni. Sekalian aku akan menebus kalian. Tapi sebelum itu, kita sarapan dulu."
"Tidak usah. Nanti aja sarapannya," tolakku.
"Kamu gak usah khawatir lagi, Linda. Urusan putrimu serahkan saja padaku. Yang terpenting sekarang kita sarapan dulu."
Mas Yudis selalu saja mengatakan putrimu. Padahal sudah kukatakan kalau Fatimah itu putrinya juga.
"Mana mungkin aku bisa sarapan sedangkan aku tidak tahu putriku sudah makan atau belum."
Mas Yudis terlihat bersalah setelah mendengar jawabanku. Ia kemudian mengangguk. "Oke, kita jemput putrimu sekarang."
Aku mengikuti Mas Yudis yang menuju ke arah pintu. Syukurlah akhirnya aku akan keluar dari tempat ini.
Saat hendak memutarkan knop pintu, Mas Yudis berbalik badan. Ia malah memperhatikan penampilanku dari ujung rambut hingga ujung kaki.
"Kamu tidak mungkin keluar dengan pakaian seperti ini. Aku tidak mau lelaki lain tergoda akan kecantikan calon istriku ini. Tunggu sebentar, aku akan membeli baju untukmu."
Tanpa menunggu persetujuanku, Mas Yudis langsung keluar dan mengurungkan di dalam.
Kenapa lelaki itu menjengkelkan sekali, sih? Dalam keadaan seperti ini sempat-sempatnya memikirkan untuk membeli baju.
Perputaran jam dinding terasa lama sekali. Sepuluh menit terasa seperti satu jam. Jika saja aku bisa keluar dari sini, sudah tentu aku tinggalkan tempat ini.
Tak lama kemudian, kulihat knop pintu diputar dan muncullah sosok Mas dari balik pintu tersebut.qawaq
"Ini, pakailah," katanya sambil menyerahkan paper bag yang ia bawa kepadaku.
Aku pun menerima paper bag tersebut
dan langsung menuju kamar mandi. Akhirnya aku bisa mengganti baju kurang bahan ini dengan pakaian yang lebih sopan.
Mas Yudis memang sudah berubah baik, tapi ia tetap tidak bisa menarik simpatiku. Sampai kapanpun aku tidak akan pernah bisa melupakan semua yang telah dilakukannya terhadapku.
***
"Apa istrimu tidak marah, Mas?" tanyaku ketika kami sudah berada di dalam mobil.
"Maksudnya?" Kening Mas Yudis terlihat mengernyit.
"Kamu enggak pulang semalaman loh!"
"Oh, tidak usah dipikirin. Soal istriku, itu urusan gampang," ucapnya dengan entengnya.
Mudah sekali bagi Mas Yudis mengucapkan kata-kata itu. Tak berharga kah istrinya baginya?
"Aku sudah katakan padanya bahwa aku ada tugas ke luar kota. Semua urusanku juga sudah dihandle oleh asisten pribadiku. Perlu kukasih tahu padamu, Linda, istriku tidak pernah ikut campur dengan urusanku. Jadi, aku bisa bebas melakukan apa saja," ucapnya lagi.
Aku melempar pandangan ke kaca jendela, memperhatikan kendaraan yang lalu lalang agar Mas Yudis tidak melanjutkannya lagi. Bahkan aku menyesal karena telah menanyakan hal itu. Seharusnya aku tidak perlu mencari tahu tentang istrinya. Tak ada urusannya bagiku.
"Linda, nanti setelah kamu dan putrimu bebas dari Leni, kita langsung saja ke rumah sakit untuk menjalani tes DNA, ya? Setelah hasilnya keluar dan terbukti bahwa akulah ayah kandung dari putrimu, aku akan menikahimu."
Ucapan Mas Yudis barusan hampir saja membuat jantungku copot dari rongganya. Bagaimana ini? Apa yang harus kulakukan?
Jujur, aku tidak bisa menikah dengannya. Bagaimana mungkin aku bisa hidup dengan lelaki yang sudah menghancurkan hidupku? Bukan hanya menghancurkan hidupku. Ia sudah mencampakkan serta mengkhianatiku. Bertubi-tubi sakit yang ia berikan dan tidak akan pernah bisa dimaafkan sampai kapanpun. Tujuanku untuk menghancurkannya, bukan untuk menikah dengannya. Dendam dan api amarah di hati ini masih berkobar. Hanya dengan melihat kehancurannya lah, baru kobaran api di dalam hati ini bisa padam.
"Linda, kenapa kamu tidak menjawab pertanyaanku? Kamu masih ragu padaku?"
Mas Yudis tiba-tiba menginjak rem mendadak, membuatku terkejut setengah mati. Alhamdulillah, untung aku masih selamat.
"Mas apa-apaan, sih?" protesku yang kesal padanya.
"Kenapa kamu tidak menjawab pertanyaanku tadi, Linda?" ulangnya lagi.
"Kamu masih ragu padaku? Aku bukan Yudis yang dulu lagi, Linda. Kamu lihat, kan? Sekarang aku menjabat sebagai CEO di perusahaan terbesar di kota ini. Aku kaya raya dan punya segalanya. Kamu mau minta apa? Rumah, mobil, perhiasan? Pasti aku kasih. Terus, apalagi yang kamu takutkan? Aku akan membahagiakanmu dan kamu tidak akan pernah kekurangan." Mas Yudis begitu bersemangat membanggakan dirinya.
Kamu boleh bangga dengan apa yang kamu miliki sekarang, Mas. Namun, tidak demikian denganku. Aku tetap menganggapmu sebagai lelaki pecundang sampai kapanpun.
"Lantas, bagaimana dengan istrimu? Apa kamu ingin menjadikanku yang kedua? Aku akan menjadi duri dalam rumah tangga kalian dan disebut sebagai pelakor, begitu, Mas?"
"Linda, tolong jangan bawa-bawa istriku. Ini soal kita berdua, kamu dan aku."
Enteng sekali Mas Yudis berkata seperti itu. Mana ada wanita yang mau dimadu! Oke, sepertinya aku harus mengubah rencanaku.
"Baik, aku bersedia menikah denganmu, tapi dengan satu syarat."
"Apa? Katakan saja."
"Ceraikan istrimu dan jadikan aku menjadi istri satu-satunya. Gimana, bersedia?"
Bersambung