Bagian 13
"Wah wah wah, ternyata Yudis yang bookingmu, Linda," ucap Leni sesaat setelah aku dan Mas Yudis tiba di rumahnya.
"Gimana kencan kalian semalam? Asyik? Pasti asyik dong ya. Secara, kencan sama mantan, gitu loh," tambahnya lagi. Ia yang bertanya, ia sendiri yang menjawabnya.
"Apa basa-basinya sudah cukup? Apa kamu tidak ingin menyuruh tamu kehormatan ini untuk duduk?" sahut Mas Yudis.
"Oh, iya ya!" Leni segera merapikan sofa dan meja yang tadi berantakan, lalu menyuruh kami duduk.
"Kupikir kamu mau langsung pulang setelah mengantar Linda. Eh, ternyata masih mau singgah." Leni kembali berbasa-basi.
"Linda, sana buatkan minum untuk tamu spesial kita ini. Buruan," perintah Leni.
Aku hendak beranjak dari tempat dudukku, terapi Mas Yudis menahanku.
"Aku maunya minuman buatanmu," ucap Mas Yudis sambil menatap Leni.
"Aku?" tanya Leni sambil menunjuk wajahnya sendiri.
"Iya, kamu. Asal kamu tau, Linda ini masih kelelahan karena energinya sudah terkuras semalaman. Jadi, kamu jangan nyuruh-nyuruh dia."
Aku langsung menatap Mas Yudis dengan tatapan tajam. Padahal semalam kami tidak melakukan apa-apa. Apa maksudnya coba, berkata seperti itu?
"Oh, begitu ya? Oke, tunggu sebentar. Akan aku buatkan."
Saat Leni hendak beranjak dari tempat duduknya, Mas Yudis malah menahannya.
"Tidak usah. Aku sudah tidak ingin lagi menikmati minuman yang dibuat oleh tanganmu yang ber-najis itu," kata Mas Yudis dengan sombongnya.
"Sombong sekali kamu Yudis! Apa maksudmu mengatakan tanganku bernajis, hah? Mentang-mentang sudah jadi orang kaya sekarang, ngomong seenak jidat! Padahal kamu dulunya cuma seorang kuli. Lupa?" sindir Leni.
"Wajar dong, aku sombong karena aku sudah sukses. Lah, kamu? Coba lihat, sekarang kamu jadi wanita yang tidak benar," balas Mas Yudis.
"Apa urusannya denganmu? Yang penting aku gak minta makan padamu. Kamu juga, gayanya sok suci! Padahal doyan sama wanita malam. Tuh buktinya," sahut Leni.
"Suka-suka aku dong! Yang jelas aku gak pernah booking kamu. Gak level!"
Leni dan Mas Yudis saling adu mulut. Membuat kepalaku semakin pusing.
Ya, Mas Yudis dan Leni dulunya adalah musuh bebuyutan saat masih jaman kanak-kanak. Mereka bagaikan kucing dan tikus, tak pernah akur. Rupanya sekarang masih sama meskipun sudah dewasa.
"Sudah sudah! Ngapain kalian ribut? Kayak anak kecil saja!" sahutku yang mulai jengkel.
"Si Yudis yang mulai," jawab Leni.
"Aku gak peduli. Itu urusan kalian. Sekarang dimana Fatimah? Aku sudah menuruti keinginanmu. Sekarang kembalikan Fatimah padaku."
Aku langsung pada tujuanku, tak mau menunda lebih lama lagi.
"Tenang Linda, santai. Putrimu berada di tempat yang aman dan dia baru saja diberi makan sama Bang Roy. Aku bisa menjamin kalau putrimu baik-baik saja."
"Kuminta kembalikan putriku, Leni. Penuhi janjimu." Aku mendesaknya.
"Kamu masih harus melakukan satu hal lagi. Setelah itu baru kamu boleh bertemu dengan putrimu."
"Maksudmu?" Dahiku mengernyit mendengar ucapannya. Apa maksudnya?
"Temani Bang Roy malam ini. Setelah itu, baru kuserahkan putrimu padamu."
Astaghfirullah, apa lagi ini?
"Leni, kamu mau bermain-main denganku? Kamu mau menipuku?" Tanganku mengepal, hawa panas tiba-tiba seperti terasa menjalar ke seluruh tubuhku.
"Kenapa? Mau marah? Silakan! Kamu tidak ada pilihan selain menuruti perintahku," ancamnya.
"Dasar jahat! Penipu kamu Leni!" bentakku.
Mas Yudis tiba-tiba berdiri dari tempat duduknya, "Linda, tenangkan dirimu. Jangan khawatir. Aku akan mengurus semuanya."
"Leni, kamu mau menjual Linda? Apa kamu tidak takut kena pidana? Kamu akan mendekam lama di penjara jika aku sampai melaporkanmu ke polisi atas tuduhan perdagangan manusia. Apa kamu sudah bosan hidup bebas?" ancam Mas Yudis.
"Yudis, perlu kamu tahu, aku gak takut pada siapapun termasuk kamu."
"Begitukah? Apa kamu sungguh-sungguh dengan ucapanmu? Sekali saja aku menghubungi polisi, bisa kupastikan bahwa hidupmu akan berakhir di balik jeruji besi. Gimana?"
Sepertinya Leni mulai takut. Terlihat dari raut wajahnya yang mulai berubah.
"Jadi bagaimana? Kuberi dua pilihan untukmu. Serahkan Fatimah atau aku yang akan menyeretmu ke kantor polisi!"
"Kamu mengancamku? Apa kamu tidak takut padaku? Aku bisa saja membuka kedokmu kepada istrimu. Kamu pikir aku tidak mengenali siapa istrimu? Aku tau Semuanya, Yudis. Sekali saja kukatakan padanya bahwa kamu ini gemar menyewa wanita malam, kupastikan kamu akan kehilangan segalanya. Apalagi sekarang kamu habis berkencan dengan mantan kekasihmu. Pasti istrimu akan sangat marah. Apa kamu sudah siap jadi gembel, Yudis?" Leni balik mengancam.
Ternyata Leni tahu banyak hal tentang Mas Yudis. Aku tidak tahu, Leni hanya mengancam saja atau justru ia memang tahu banyak hal tentang Mas Yudis. Yang jelas aku tidak peduli akan hal itu. Saat ini, yang kuinginkan hanya putriku, itu saja.
"Aku tau, sekarang kamu menjadi CEO di salah satu perusahaan ternama di kota ini. Dan perusahaan itu adalah milik mertuamu, bukan milikmu. Istilahnya, kamu hanya numpang di situ, ahahay!" Leni kemudian tertawa, padahal menurutku tak ada yang lucu.
"Mendingan kamu pulang aja, Yudis. Urus saja istri dan anakmu. Kamu tidak usah sibuk mengurusi apa yang bukan menjadi urusanmu. Sana!" Leni kemudian mendorong Mas Yudis hingga tubuhnya terjungkal ke belakang.
"Mulai sekarang, semua yang berurusan dengan Linda adalah urusanku juga. Aku berhak ikut campur dan kamu tidak bisa melarangku," tegas Mas Yudis.
Bagaimana ini? Mereka berdebat terus dari tadi. Kapan aku bisa mendapatkan putriku kembali? Dan kapan aku bisa terbebas dari Leni?
Mas Yudis kemudian mengambil ponselnya dari dalam saku celana, lalu menghubungi seseorang.
"Cepat datang ke mari dan bawa apa yang saya perintahkan. Alamatnya akan dishare," ucap Mas Yudis kepada lawan bicaranya di seberang telepon.
"Oh, jadi ceritanya kamu minta bantuan? Kamu takut, Yudis?" tanya Leni.
"Siapa yang takut? Aku sama sekali tidak takut padamu. Aku hanya tidak punya banyak waktu untuk meladeni orang tidak penting seperti kamu. Waktuku sangat berharga, Leni. Tunggu saja, sebentar lagi asisten pribadiku akan datang dan urusan kita akan selesai."
"Oh, ternyata selain jadi CEO, kamu juga punya asisten pribadi? Bolehlah!"
Mas Yudis tak lagi menanggapi ucapan Leni. Ia terlihat fokus pada ponselnya.
Tak lama kemudian, seorang lelaki berpakaian rapi datang sambil menenteng sebuah tas hitam di tangannya. Ternyata lelaki tersebut adalah asisten pribadinya Mas Yudis.
Lelaki tersebut membuka tas yang dibawanya, lalu mengeluarkan amplop coklat dari dalamnya. Amplopnya lumayan tebal. Sepertinya berisi uang.
Hanya dengan menadahkan tangannya saja, lelaki tersebut pun langsung mengerti dan langsung menyerahkan amplop coklat tersebut ke tangan Mas Yudis.
"Ini, Pak," ucap lelaki tersebut kepada Mas Yudis. Lelaki itu menunduk, seperti memberi hormat kepada Mas Yudis.
Mas Yudis kemudian meletakkan amplop tersebut di atas meja dan menyuruh Leni membukanya.
"Kurasa itu cukup untuk membungkam mulut sampahmu itu" ucap Mas Yudis.
Leni kemudian mengambil amplop tersebut dan membukanya. "Kamu mau menyogokku, Yudis?"
"Iya. Kurasa itu lebih dari cukup."
"Kamu tau aja apa yang kuinginkan. Coba dari tadi," kata Leni sambil menghitung lembar demi lembar uang berwarna merah tersebut.
"Kurasa urusan kita sudah selesai. Cepat bawa putrinya Linda ke mari karena kami akan meninggalkan tempat ini secepatnya."
"Kami? Maksudmu?" tanya Leni penuh selidik.
"Iya, aku akan membawa Linda dan putrinya dari sini. Kamu tidak ada hak lagi menahan mereka. Anggap saja uang itu sebagai tebusan."
"Tak bisa begitu, dong! Linda ini sumber penghasilanku. Sumber uangku. Kamu tidak bisa membawanya!"
Mas Yudis menjentikkan jemarinya, lalu asisten pribadinya itu lah selanjutnya yang bicara dengan Leni.
"Linda sayang, gak usah khawatir. Biar asisten pribadiku itu yang mengurus semuanya. Sekarang silakan kemasi barang-barangmu dan kita pergi dari sini."
Aku pun menurut. Masuk ke kamar dan mengambil pakaian yang hanya ada beberapa helai.
Mas Yudis menggandeng tanganku dan membawaku keluar dari rumah Leni. Sedangkan Leni tidak bisa berbuat apa-apa.
"Bagaimana dengan putriku, Mas?"
"Asisten pribadiku yang akan mengurusnya. Sekarang tenangkan dirimu, pasang wajah ceria dan temani aku sarapan. Okey!"
"Apa dia bisa dipercaya, Mas?" tanyaku, khawatir.
"Tenang saja. Dia adalah orang kepercayaanku." Mas Yudis meyakinkanku.
Semoga saja Mas Yudis tidak berbohong. Entah kenapa, aku merasa kalau Mas Yudis memiliki niat lain terhadapku.
Bersambung