Niat hati tidak ikut makan pagi bersama keluarga Adiwangsa. Akan tetapi, saat Harlan menelepon dan mencari Rex, tidak ada yang bisa ia perbuat selain mencoba untuk masuk ke dalam ruang yang terasa menyeramkan tersebut.
“Kamu itu pantasnya makan di belakang, dengan pembantu dan sopir! Jangan merasa sudah menjadi bagian dari keluarga kami, ya!” bentak Ajeng sekali lagi.
Lyra berhenti melangkah, hatinya bergetar dengan perih kesekian ribu kalinya.
Eva tertawa pelan, “Mungkin dia merasa besar kepala karena Papa selalu membelanya. Ajian apa, sih, yang kamu beri ke Papaku sampai bisa tunduk begitu?”
Menggeleng, “Demi Tuhan, saya tidak pernah menggunakan hal-hal kotor semacam itu!” seru Lyra mendelik.
“Eh, tapi benar, lho, Ma! Katanya Marina juga paling Lyra ini memakai ilmu hitam sampai Papa seperti kerbau dicocok hidung. Lihat saja bagaimana Papa selalu membelanya dan menyengsarakan kita!” desis Rex terkekeh, melirik sinis pada sang istri.
“Kalau aku pakai ilmu hitam, kenapa tidak kamu saja yang aku pelet, Mas? Dengan begitu kamu bisa jatuh cinta padaku dan tidak menyuruh tidur di lantai!” jawab Lyra menanggapi tuduhan suaminya dengan jengkel.
Ajeng terbelalak, “Kamu menyuruh istrimu sendiri tidur di atas lantai, Rex?”
“Iya, Ma. Kenapa? Dia pantas tidur di lantai! Pembantu. ‘kan, tidurnya memang di lantai?”
“Bagus! Teruskan!” gelak Ajeng ternyata pura-pura kaget. Di akhir tetap saja ia menertawakan kemalangan Lyra. “Heh, kalau kamu benar pakai ilmu hitam, awas, ya!”
“Aku akan pergi ke orang pintar untuk melihat apa benar kamu memakai ilmu hitam untuk membuat suamiku tunduk! Jika memang benar, aku akan membalas berkali lipat lebih kejam!” ancam Ajeng memandang sinis, merendahkan.
Tidak merasa perlu lebih lama mendengar semua cemooh dan tuduhan menyakitkan hati, Lyra membalikkan tubuh, dan berjalan cepat meninggalkan ruang makan. Ia bisa mendengar tiga orang terbahak menertawakan kepergiannya.
Sampai di rumah bagian belakang, tempat di mana para pekerja berkumpul, Lyra segera mengambil peralatan makan. Mbak Yanti menghampiri dengan heran.
“Kok, kamu makan di sini? Tempatmu sekarang bersama keluarga Adiwangsa. Kamu sudah bukan perawat lagi, Lyra," ucap wanita menjelang paruh baya itu memandang lirih.
Hanya tersenyum, lalu menggeleng. Itu yang Lyra lakukan. Jika mengucap sesuatu, pasti dia akan menangis akibat tidak kuat menahan sakit hati.
“Ada apa, toh? Kenapa kamu di sini?” Mbak Yanti terus mendesak karena merasa ini sungguh janggal.
Menghela napas berat, Lyra duduk di atas lantai, di sebelah pintu masuk dapur para asisten rumah tangga. “Sudah, Mbak, jangan banyak tanya, ya? Aku hanya mau makan di sini dengan kalian. Anggap saja aku kangen,” ucapnya dengan mata berkaca-kaca.
“Apa mereka menjahati kamu?” kulik Mbak Yanti tepat sasaran.
Lyra tidak menjawab. Ia menunduk dan mulai menyantap makanan yang terasa hambar meski sebenarnya cukup enak. Namun, dalam situasi seperti ini, apa pun akan dirasa hambar.
“Nyonya Ajeng dan Mbak Eva memang sombong sejak dulu. Yang selalu baik dengan kita hanya Tuan Harlan,” gumam Mbak Yanti memandang iba pada temannya. “Kamu harus sabar, Lyra.”
“Iya, tidak masalah, kok,” jawab Lyra kian menunduk karena sekarang satu butir air mata akhirnya turun dan ia terisak.
Mbak Yanti merangkul teman kerjanya itu, lalu meletakkan piring di atas lantai. “Sudah, sudah, kamu harus legawa. Orang kecil seperti kita tidak punya banyak pilihan.”
“Mas Rexanda menyuruhku tidur di atas lantai. Dia membenciku, dia selalu menyiksaku! Menuduh aku yang menjebaknya, padahal dia sendiri yang menodaiku!” tangis Lyra tidak bisa membendung lagi sakit hati bertubi.
Rambut panjangnya dibelai Mbak Yanti. “Ya, Tuhan, aku tidak menyangka Mas Rexanda bisa sedemikian kejam. Lalu, apa renacanmu selanjutnya? Kenapa tidak dilaporkan saja kepada Tuan Harlan?”
“Dia akan semakin menyiksaku kalau melaporkan. Lagipula, aku tidak bisa meminta cerai. Aku tidak mau punya bayi tanpa ayah. Bagaimana kalau aku hamil?” isak Lyra sesenggukan, mengusap air mata yang terus deras menuruni pipi mulusnya.
Mbak Yanti mengembus berat, “Benar juga. Kenapa, ya, orang rendahan seperti kita selalu diinjak-injak? Memangnya kita bukan manusia? Ya, ampun! Sampai kamu disuruh tidur di bawah itu keterlaluan!”
“Mbak, nanti siang temani aku beli kasur lipat, ya? Aku tidak mau tidur di kursi terus menerus. Badanku sakit semua, leherku apalagi,” pinta Lyra menatap sedih.
Asisten rumah tangga yang sudah sepuluh tahun ikut dengan keluarga Adiwangsa mengangguk. “Ya, nanti siang selesai setrika, kita naik sepeda motor dan beli kasur lipat di luar komplek. Aku tahu tempatnya.”
“Terima kasih, Mbak,” angguk Lyra.
“Sudah, habiskan makananmu. Menghadapi siksaan batin begini, kamu harus kuat secara fisik. Makan yang banyak! Semoga hati Mas Rexanda segera terbuka! Aku tidak sabar melihatmu bahagia dengan beliau,” ucap Mbak Yanti menyemangati.
Lyra tersenyum getir, “Semoga, ya, meski aku sangsi itu bisa terjadi ....”
***
Setelah sarapan, Lyra kembali ke kamar tidur Rex. Ia menemukan suaminya sedang melakukan video call dengan seorang wanita.
“Sayang, ini aku perlihatkan istri buruk rupaku!” tawa Rex mencibir.
Mendadak, Lyra ditarik dan dirangkul hingga wajah wanita itu muncul di layar.
“Oh, jadi itu yang namanya Lyra? Ya, ampun! Jelek sekali!” tawa Marina mengejek.
Tertegun, Lyra menatap layar, memperhatikan wajah Marina yang nampak sangat cantik. Hidung mancung, rambut dicat cokelat terang, dan memakai soft lens berwarna biru terang. Untuk sesaat, kekasihnya Rex itu terlihat seperti orang asing sungguhan.
Rex tertawa mendengar ejekan kekasihnya, “Iya, ‘kan, dia jelek? Makanya, kamu tidak usah cemburu meski aku satu kamar dengannya. Biar ada gempa bumi sekalipun, aku tidak akan menyentuhnya! Aku akan muntah sebelum mau mencumbu pembantu macam dia!"
Menggeleng jengah, lama kelamaan hinaan suaminya seperti sudah menjadi kebiasaan di telinga Lyra, meski hati tetap sakit dan perih. Karena sejatinya, manusia mana yang bisa terima dihujat dan dicemooh terus menerus?
Ia melepaskan diri dari rangkulan paksa Rex, lalu duduk di atas ranjang, menyalakan televisi. Berusaha tidak memedulikan apa pun yang dilakukan sang suami dengan kekasih gelapnya.
“Jadi, aku akan ke kantor Papa dulu sampai siang untuk mengecek file penting. Setelah itu, aku akan menjemputmu. Lalu, kita ke bioskop, makan di restoran, dan malamnya clubbing seperti biasa.” Rex menjelaskan rencananya kepada Marina.
“Ada club baru di Hotel Roosevelt! Kata teman-teman DJ-nya is the best! Vibes-nya di sana juga oke punya! Namanya Saxon Fly, di lobby hotel. Kita ke sana saja, ya?” usul Marina bersemangat. Tidak peduli kalau lelaki itu sudah menikah, justru sengaja memanasi Lyra dengan kemesraan mereka.
Rex tertawa penuh makna, “Bagaimana kalau kita check in hotelnya sekalian, Sayang? Sudah lama kita tidak bobok bareng, ‘kan?”
Lyra mendelik, melirik pada suaminya tanpa bisa dicegah. Napas tercekat di tenggorokan. ‘Kamu mau tidur dengan wanita lain? Apa kamu benar-benar sudah gila, Mas?’
Marina tentu saja menyambut tawaran ini dengan sebaik mungkin. “I love it, Rex Sayang! Aku juga merindukanmu! Kita harus memadu rindu sampai puas nanti malam! Aku ingin merasakan panasnya ranjang kita lagi, Sayang!”
“Oh, tentu! Kalau denganmu aku pasti akan menjadi panas, Marina. Berbeda dengan yang sekarang ada di kamarku ini. Harus mabuk dan tak sadarkan diri dulu, baru bisa terangsang! Karena kalau sadar, yang ada aku sudah muntah duluan!” gelak Rex sengaja menghina.
Sejak kemarin, ia sudah bertekad akan membuat Lyra kian menderita hingga menyerah dan meminta cerai. Maka, cara apa pun akan ia lakukan termasuk terang-terangan berselingkuh seperti ini.
“Ya, sudah. Aku mau mandi dulu, ya, Sayang. Sampai jumpa nanti siang! Love you! Mwah!” Marina memberikan kiss bye yang sangat mesra.
“Love you too, Marina Sayang! Cup! Cup! Mwah!” Rex membalas dengan tidak kalah mesra.
Begitu suaminya selesai menelepon, Lyra mematikan televisi. “Mas, kamu ini apa-apaan, sih?” protesnya menatap marah.
“Heh, urusan apa denganmu? Tutup mulut busukmu itu!” cuek Rex mengendikkan bahu.
‘Rasakan! Aku akan membuatmu semakin menderita, wanita sialan! Kita lihat seberapa kuat kamu menjadi istriku! Terus saja ada di sini dan kamu akan mati berdiri!’ kekeh pemuda tampan itu di dalam hati.
Lyra turun dari atas ranjang, “Kita sudah menikah! Aku tahu, kita tidak saling cinta. Tapi, jangan juga mempermainkan pernikahan seperti ini. Dosa, Mas!”
“Cerewet! Bawel, ya, kamu! Siapa suruh menjebakku saat mabuk, hah? Ini semua gara-gara kamu! Tidak usah bicara soal dosa! Jangan sok alim kamu, ya!” bentak Rex melotot.
“Kita boleh tidak saling cinta, tapi kamu tidak boleh selingkuh begitu! Apalagi, kamu mau tidur dengan wanita lain! Itu namanya berzina! Tolong, Mas, gunakan akalmu, gunakan hatimu! Jangan berbu—“
“DIAM!” bentak Rex disertai satu tamparan kencang mendarat di pipi Lyra. “Diam kamu, wanita b******k!”
Bunyi telapak tangan menggempur kulit pipi terdengar sangat pedas. Pipi sang wanita memerah seketika dan d**a Lyra kembang kempis.
Dengan mata berkaca-kaca menahan pedihnya wajah dan juga hati, Lyra berteriak. “Apa maumu dariku! Kamu keterlaluan!”
Dada Lyra dipenuhi sesak luar biasa. Ada suara-suara di dalam hati yang mengatakan untuk pergi saja dari rumah. Peduli setan dengan perjanjiannya dengan Harlan. Mau dituntut? Mungkin masuk penjara masih jauh lebih baik daripada disakiti terus menerus seperti ini!
Rex menyeringai dengan wajah yang selalu penuh kekejaman. Ia mendekat, mengintimidasi, lalu berdesis.
“Kamu tidak suka aku tidur dengan wanita lain, hah? Silakan ajukan cerai! Dengan begitu masalah selesai! Ayo, silakan pergi dari kamarku dan ajukan cerai!”
BERSAMBUNG