Visual tokoh bisa dilihat di IG Author @Rein_Angg, t****k @rein_angg47. Mau menghalu bareng pembaca lain, silakan join Grup f*******:: Rein Angg And Friends
Rasanya bagai ditabrak mobil berkecepatan tinggi saat mendengar Harlan akan pergi meninggalkan rumah antara dua minggu sampai satu bulan lamanya. Lyra sampai tidak jadi menyuap sendok makanan ke dalam mulut. Ia letakkan kembali ke atas piring.
“Kok, lama sekali, Mas?” tanya Ajeng.
“Pa, kalau Papa pergi selama itu, bagaimana dengan Honda Accord terbaruku? Teman-teman sudah terus bertanya kapan mobilku diganti?” rengek Eva cemberut. “Papa mundurkan terus beli mobil baruku!”
Harlan menghela, “Ini ke Jepang untuk meninjau beberapa pabrik, lalu memastikan semuanya berjalan lancar. Kamu mau Papa kena tipu? Kalau sampai kena tipu, tidak usah bicara Honda Accord terbaru! Mengerti?” tegas sang ayah pada Eva.
Lyra menunduk, meremas jemarinya sendiri dengan kegugupan yang luar biasa. Ia melirik ke sebelah di mana Rex mengeluarkan ponsel. Sekilas, bisa melihat apa yang dilakukan suaminya yaitu mengirim pesan kepada kekasih gelapnya.
[Papa akan ke Jepang selama dua minggu. Kita merdeka! Sampai rumah akan kutelepon. Love you, Sayang.]
Terengah, tetapi ditahan. Benar saja, kepergian Harlan tentu menjadi surga bagi Rex untuk berbuat apa pun yang dia inginkan. Dengan bergaya bijak, lelaki itu berucap ....
“Sudahlah, Ma, Eva, kepergian Papa juga kan karena untuk bisnis. Jangan diributkan begitu. Nanti kalau bisnisnya gagal, kita juga yang menderita,” tandasnya tersenyum simpul.
Kesal dengan kepura-puraan suaminya, Lyra menyeletuk. “Kamu tidak ikut Papa ke Jepang, Rex? Bantu Papa berbisnis,” senyum wanita itu juga berpura-pura tenang.
Mata Rex mendelik seketika dan ia menenendang kaki Lyra yang ada di bawah meja makan tanpa diketahui oleh siapa pun. Tangan juga sontak meraih jemari lentik, lalu meremas kasar.
Menoleh pada suaminya, Lyra tersenyum sambil sedikit meringis, menahan rasa sakit di jemari. Akan tetapi, karena sudah bisa menduga reaksi Rex pasti kurang lebih seperti ini, maka dia hanya diam.
Harlan menggeleng, lalu tersenyum. “Lyra, ayo, biaskan panggil dengan Mas, ya? Kalian sudah menikah, lho.”
“Iya, Pa,” angguk Lyra menarik napas panjang. “Mas Rex, kamu tidak ikut menemani Papa mengurusi bisnis keluarga?”
Harlan tertawa pelan, “Dengarkan istrimu itu, Rex. Dia saja tahu kamu seharusnya ikut dengan Papamu mengurusi bisnis keluarga.”
“Tapi, karena kamu baru saja menikah dan butuh waktu untuk saling mengenal dengan Lyra, kamu di Jakarta saja, tidak apa-apa. Lain kali kalau Papa ke luar negeri lagi, kamu bisa ikut,” pungkas Harlan.
Lega, Rex merasa seperti satu beban seberat khatulistiwa lepas dari pundak. “I-iya, Pa. Aku ... aku juga berpikir begitu. Semoga urusan di Jepang lancar, ya, Pa,” angguknya gugup.
“Oh, ya, besok akan ada perawat baru untuk Nenek Tariyah. Kamu ajari dia dulu, ya, Lyra,” ucap Harlan mengingatkan.
“Ya, Pa, aku akan mengajarinya sampai bisa semua. Makanan kesukaan dan jadwal Nenek Tariyah, semua itu akan saya ajarkan kepadanya,” angguk Lyra patuh.
Makan malam terus berlanjut dengan mereka membahas hal-hal yang tidak sepenuhnya Lyra mengerti. Tentang keluarga jauh yang katanya bangkrut, tentang anggota partai yang katanya tersandung kasus gratifikasi, semua itu tak ia pahami.
Namun, satu hal yang menarik perhatian adalah bagaimana Rex terlihat begitu tampan dari samping. Kulit putih dengan alis tebal dan hidung mancung. Tulang pipinya tinggi, menghadirkan kesan maskulin serta tegas.
Bibir pemuda itu tipis, kemerahan alami. Tidak ada kumis sedikit pun, semua dipangkas rapi tak bersisa. Lalu, aroma parfum segar jantan yang berasal dari Giorgio Armani Aqua Di Gio hadir di penciuman, membuatnya terus terpana.
Rex merasa ada yang sedang memperhatikan, maka ia menoleh. Kedua mata sontak beradu pandang. Ia tersenyum sinis dan dingin. Lyra yang terkejut karena suaminya tahu bahwa sedang diperhatikan segera membuang pandang ke arah lain.
Namun, sebuah bisikan terdengar, “Kenapa menatapku terus, heh? Baru tahu kalau aku tampan, ya?”
“Tapi, jangan mimpi bisa mendapatkan orang sepertiku. Tunggu saja sampai aku menendangmu keluar dari rumah!” desis sang pemuda dengan pelan.
Lyra menelan liurnya dengan berat, tidak berani menoleh sama sekali. Embusan hangat napas Rex di tengkuk membuatnya merinding sekaligus takut.
***
Makan malam telah selesai, semua sampai di rumah, dan kembali ke kamar masing-masing. Begitu pula Rex dan Lyra. Seperti biasa, lelaki itu langsung merebahkan diri di tengah supaya tidak berbagi ranjan dengan istrinya.
“Aku tidur di mana, Mas?” jengah Lyra mulai membiaskan diri memanggil Mas. Keluar kamar mandi setelah membersihkan diri, ingin segera istirahat, ternyata ini yang ia dapati.
Yang ditanya cuek, tetap menonton televisi. “Mana aku peduli? Mau tidur di lantai, mau tidur di bath tub kamar mandi, mau tidur di kolong ranjang sekalipun, apa urusanku?”
Lyra merasa dadanya bergejolak dengan emosi. “Sebenarnya, kenapa kamu terus bersikap seperti ini? Apa salahku? Kamu yang menodaiku! Kamu yang menggagahi dan mengambil keperawananku!”
Mendengar seruan itu, Rex menoleh dan memandang sinis. Turun dari ranjang, lalu berjalan dengan wajah penuh intimidasi. Setiap langkah disertai dengan sorot kebencian teramat dalam.
Lyra sudah hafal dengan suasana ini. Pasti sebentar lagi dia akan dicekik atau ditampar seperti kemarin. Oleh karena itu, dia mencoba untuk menghindari. Kaki bergeser ke kiri, mendekati pintu keluar.
“Aku mabuk waktu itu, b******k! Kalau aku tidak mabuk, aku tidak akan sudi disentuh wanita kampungan jelek sepertimu!” desis Rex terengah, mengembus napas panas. “Kamu mau tahu kenapa aku marah, hah?”
“Kamu pikir aku juga sudi disentuh olehmu? Aku tidak berdaya saat kamu melakukannya! Kamu memegang kencang dan memukuli! Kita sudah terlanjur seperti sekarang, kenapa tidak bisa menerima saja?” Lyra juga terengah, dan wajahnya berangsur takut.
Tertawa sinis, “Menerima katamu? Lebih baik aku mati daripada menerimamu menjadi istriku, b*****t! Gara-gara kamu, aku tidak jadi menikahi Marina! Harusnya kamu tidak usah menerima tawaran Papa agar kita menikah!”
“Aku tidak punya pilihan! Aku tidak mau hamil tanpa suami! Apa kata orang tuaku nanti?” balas Lyra menutupi perjanjian ratusan juta dengan Harlan.
“Gugurkan saja bayinya, bodoh! Apa otakmu itu sungguh bodoh sampai tidak ada pikiran ke sana? Gugurkan, beres semua masalah!” bentak Rex terdengar kejam.
“Mengugurkan bayi tak berdosa sama saja melakukan pembunuhan! Aku tidak mau membunuh anak kita sendiri!” hentak Lyra dengan tegas.
Rex makin emosi hingga dadanya kembang kempis dan napas memburu panas. “Bawel, kamu, ya! Sok punya nurani, padahal aslinya kamu yang menjebakku, sialan kamu!” makinya mendadak menerkam Lyra.
Akan tetapi, sang wanita berhasil menghindar hingga tangan Rex hanya menyentuh udara kosong. Tentu saja, ini membuatnya semakin murka. “Lacur sialan! Awas, kamu!”
“Aku ini istrimu! Tidur di ranjang saja tidak boleh, itu keterlaluan!” seru Lyra kembali mencoba menghindar. “Apa kamu sama sekali tidak punya hati, Mas?”
Namun, kali ini ia gagal! Jemari kokoh Rex berhasil mencengkram lengannya. Tanpa rasa kasihan sama sekali, tubuh Lyra dihempas ke arah pintu hingga menimbulkan .
“Aduuh!” pekik Lyra memegangi punggungnya. Sakit, nyeri, semua bercampur jadi satu. Tidak hanya di area punggung, tetapi juga di dalam jiwa.
Rex tertawa puas melihat istrinya mengaduh. “Aku tidak akan mengijinkanmu tidur di ranjangku sampai kiamat sekalipun! Paham!”
Terengah, kebingungan, harus tidur di mana? Hanya ada sofa single di dekat jendela. ‘Apa aku harus tidur di sana malam ini? Ya, Tuhan, kapan hati Rex akan terbuka?’ keluh Lyra ingin menangis.
Tak ada pilihan, dengan sangat terpaksa, ia duduk di kursi kecil itu. Paling tidak, masih ada rasa empuk. Satu buah selimut sudah ia ambil dari kardus yang berisi barang-barang.
Menutupi tubuh dengan kain agak tebal, ia memejamkan mata.
***
Pagi telah tiba, seperti biasa Lyra bangun lebih pagi. Ia menuju kamar Nenek Tariyah untuk merawatnya. Toh, perawat pengganti baru akan datang nanti siang. Namun, ternyata Mbak Yanti sudah lebih dulu melakukan pekerjaannya.
“Tidak apa, Lyra. Kamu sudah menjadi istrinya Tuan Rexanda. Biar aku yang merawat beliau. Kamu fokus dengan suamimu saja,” ucap Mbak Yanti tertawa pelan, sambil menyuapi ibunya Harlan tersebut.
“Lyra dari mana?” tanya wanita yang dipanggil Nenek Tariyah.
“Dari atas, Nek. Saya sudah menikah dengan cucu Nenek, dengan Mas Rex,” jawab Lyra tersenyum, mengusap punggung tangan yang dipenuhi kulit keriput.
“Oh, Rex?” angguk wanita berusia 80 tahun yang sudah mulai pikun.
Mbak Yanti kembali berucap, “Sudah, urusi saja suamimu. Jam tujuh pagi biasanya mereka sudah berkumpul di meja makan.”
“Tuan Harlan sudah pergi, ya?” tanya Lyra menahan napas.
“Sudah dari jam 5 pagi tadi, langsung ke bandara,” jawab Mbak Yanti.
Menarik napas panjang, Lyra mengumpulkan semua keberanian untuk pergi ke meja makan. ‘Tuhan, semoga pagi ini tidak ada hal yang menyakitkan lagi untukku,’ harapnya walau tidak yakin akan terkabul.
Ia melangkah gontai menuju ruang makan. Ada suara langkah kaki menuruni tangga dengan cepat. Menoleh ke belakang, ternyata Rex yang sedang menuruninya sambil berbicara dengan seseorang.
Melintas begitu saja seakan Lyra sama sekali tidak ada di situ, sama sekali tidak menoleh, wajah Rex nampak sangat sumringah.
Sampailah wanita itu di ruang makan, tetapi ia tidak segera memasukinya karena kemudian mendengar percakapan ketiga orang.
“Ma, aku ada janjian dengan Marina hari ini. Jadi, aku mungkin pulang malam, ya,” ucap Rex. Rupanya, inilah yang membuat sumringah.
Ajeng mengangguk, “Sampaikan salam Mama untuk Marina, ya. Katakan padanya untuk bersabar dalam menghadapi bencana ini. Semoga dia mau terus menunggu sampai kamu bisa bercerai dari Lyra.”
Eva ikut berbicara sambil terkekeh, “Mana mungkin cerai? Papa sangat menyayangi Lyra. Dibela terus sampai kita yang diancam ini itu! Baru bisa cerai kalau Lyra mati, mungkin?”
“Hush! Kamu jangan bicara mati-mati begitu! Menyeramkan, tahu tidak?” tukas Ajeng melotot pada putri kesayangan.
Rex ikut tertawa, “Iya, Ma, pokoknya aku akan terus merayu Marina supaya mau menunggu aku bercerai dari Lyra.”
Mendengar itu semua, tentu saja Lyra tidak ingin hadir di ruang makan, tetapi mendadak ponselnya berbunyi. Nama Papa Harlan ada di layar.
“Ha-halo?” jawabnya terbata. Akhirnya semua tahu kalau dia ada di pintu ruang makan.
“Halo, Lyra. Bisa tolong sambungkan Papa dengan Rex? Dari tadi Papa chat tidak dibalas, Papa telepon juga tidak bisa.” Harlan menelepon dari bandara, sedang menunggu saat boarding sebentar lagi.
Menahan gejolak di dalam relung batin, dengan terpaksa Lyra melangkah masuk ke ruang makan di mana tiga orang melihatnya dengan aura kebencian tiada tara.
“Papa mau bicara denganmu, Mas,” ucap Lyra memberikan ponsel dengan tangan sedikit gemetar.
Menyambar dengan kasar, Rex menjawab dengan bersungut-sungut. “Ya, Pa?”
“Rex, Papa minta tolong hari ini kamu ke kantor. Ada berkas penting yang harus dicek. Nanti setelah kamu pastikan semua benar, hubungi Papa lagi.”
“Aduh, aku hari ini ada janji dengan teman, Pa! Kita akan pergi bersama untuk aca—“
“Mengecek tidak sampai setengah hari, Rex! Mulailah bertanggung jawab terhadap urusan pekerjaan, itu perusahaan kita!” potong Harlan kesal.
Tak bisa menjawab, Rex sudah takut duluan kalau fasilitasnya dikurangi lagi. “Ya, ya, aku nanti ke kantor!” dengkusnya, lalu mengembalikan ponsel pada sang istri. “Ini ponselmu.”
“Halo, Pa? Sudah berbiacaranya dengan Mas Rex?” tanya Lyra menahan gugup.
“Iya, sudah. Kalian sedang sarapan, ya? Sampaikan salam untuk semua. Papa mau naik ke pesawat dulu. Bye!” jawab Harlan kemudian mematikan sambungan.
Lyra memasukkan ponsel ke dalam saku celana, lalu berjalan mendekati satu buah kursi di sebelah Rex. Mendadak, Ajeng bertanya sesuatu.
“Mau apa kamu?” tanya Nyonya Adiwangsan memandang ketus, merendahkan.
“Ma-mau sa-sarapan ... sarapan, Ma,” jawab Lyra makin berdebar dan gugup.
Tertawa sinis, Ajeng menggeleng, “Kata siapa kamu bisa makan di sini bersama kami, hah? Tempatmu ada di belakang, bersama para pembantu!”
BERSAMBUNG