Rexanda Adiwangsa, pemuda kaya raya yang minus didikan moral dari ibunya akibat terlalu dimanja serta ayah yang terlalu banyak ke luar negeri untuk bekerja. Kini, ia tidak pernah merasa bersalah telah menodai seorang gadis perawan. Bahkan, terus mempercayai kalau dia dijebak demi menutupi kesalahan diri sendiri.
Lyra Kanigara, wanita desa sederhana yang bekerja menjadi perawat lansia demi menanggung beban pengobatan orang tua di rumah. Tak pernah menyangka kesuciannya direnggut sedemikian kasar, ditambah siksaan batin serta raga yang seakan tiada ujung.
Bahkan, sang suami kini menamparnya dan menawarkan untuk bercerai. Berderai air mata di pipi akibat sentuhan kasar tak berbelas kasih. Jika hati bisa bersenandung, maka hanya kehancuran yang ia nyanyikan.
“Ayo, tinggalkan rumah ini! Pergi dari hidupku! Katakan pada Papa kalau kamu minta cerai! Cepat!” bentak Rex pada istri barunya dengan berapi-api.
Namun, sebesar apa pun keinginan Lyra untuk pergi dari siksaan neraka dunia ini, ada perjanjian yang tak bisa dia batalkan begitu saja. Ada rasa malu memiliki bayi tanpa suami yang tidak bisa dihilangkan begitu saja.
Maka, Lyra hanya menunduk meski dengen tetes mendera di pipi yang perih. ‘Sabarlah, mungkin suatu hari nanti Rexanda akan berubah jika Tuhan menghendaki,’ harapnya semu di dalam hati.
Tertawa sinis, Rex mencibir. “Ya, ‘kan? Kamu memang tidak mau cerai denganku, ‘kan? Apa yang kamu harap dariku, hah? Harta? Kemewahan? Sialan! Kamu pikir aku ini bank berjalan?”
“Keluargaku sudah kaya raya turun menurun! Dan kami hanya menikah dengan orang-orang pilihan! Mamaku adalah salah satu putri keraton, makanya keluarga Papa setuju ketika mereka saling mencintai!”
Lalu, terdengarlah kebencian itu dari bibir Rex. “Sementara aku? Lihatlah, aku stuck dengan pembantu j*****m macam kamu! Wanita licik yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan hartaku!”
“Asal kamu tahu, Lyra! Tidak ada satu sen pun kuberikan kepadamu! Silakan cari uang sendiri, peduli setan bagaimana caranya! Kamu bebas makan di sini, paling tidak, kamu tidak mati!”
Selesai berucap, napas Rex terengah akibat emosi membuncah dalam tiap kata yang terlontar. Kehadiran Lyra sungguh merupakan malapetaka, meski dia sendiri yang menyebabkan malapetaka itu!
“Jangan ikut campur urusanku dengan Marina! Aku cinta dia, dan sampai kapan pun aku akan selalu cinta dia! Jangan pernah bermimpi mendapatkan cintaku!”
Satu dorongan kencang dilakukan oleh Rex karena Lyra berdiri menghalangi pintu. “Minggir, bodoh! Aku mau pergi! Malam ini aku tidak pulang, tapi kamu tetap tidak boleh tidur di kasurku, mengerti?”
Lyra terdiam, sungguh tidak ada suara yang bisa dikeluarkan. Apa yang harus dikata?
“Jawab aku! Apa kamu tuli?” bentak Rex kian menggelegar.
Reflek, Lyra mengiyakan sambil melompat terkejut. “Iya, Rex! Aku paham! Aku paham!”
“Heh, panggil aku Tuan! Enak saja kamu melupakan hal itu! Tetap panggil aku Tuan! Kamu itu cuma pembantu, ingat itu!” desis Rex kemudian keluar dari kamar dan membanting pintu.
Begitu suaminya sudah tak ada di kamar, lemaslah seluruh tubuh Lyra. Ia jatuh terduduk di atas lantai dan menangis dengan isak terperih yang bisa didengar oleh manusia.
“Tuhan, kuatkan aku … kumohon, kuatkan aku!”
***
Mengendarai Mercedes Benz C-Class selepas mengerjakan urusan kantor, Rex segera menyusul kekasih gelapnya. Begitu sang wanita memasuki kendaraan, ia langsung memeluk.
“Aku merindukanmu, Sayang,” ucapnya mengecup bibir Marina dengan penuh perasaan.
Perempuan berambut panjang kecokelatan menerima ciuman itu sama hangatnya. Saling memagut lembut bersamaan dengan tangan saling merengkuh tengkuk satu sama lain.
“Kamu makin cantik setelah seminggu tidak bertemu,” puji Rex membelai pipi putih dan mulus.
Marina tertawa mendengar rayuan gombal kekasihnya. “Kamu juga makin tampan setelah jadi suami orang,” candanya, lalu pura-pura cemberut.
Menghela napas panjang, Rex menggeleng. “Kamu tahu itu hanya status saja. Hatiku hanya untukmu, Sayang. Hanya kamu yang mencintaiku apa adanya.”
“Memang Lyra tidak mencintamu apa adanya?” Marina merajuk.
Tertawa sinis, “Mana mungkin dia mencintaiku apa adanya? Dia memanfaatkan kondisiku yang mabuk agar terangsang dan menodainya. Dia itu ingin kaya mendadak.”
“Hah? Maksudmu?” Pura-pura tidak tahu, Marina serius mendengarkan.
“Yah, dia tahu keluargaku kaya raya. Jadi, pasti dia mengincar harta itu. Dia kira dengan menjadi istriku maka akan dapat uang banyak. Tapi, aku sudah bilang kalau aku tidak akan memberinya uang meski satu rupiah saja!” dengkus Rex mengembus panas, benci.
Marina merebahkan kepala di pundak kekasihnya, “Ya, jangan beri dia uang, Rex. Lebih baik kamu belikan aku tas Balenciaga yang baru. Sudah ada di Plaza Indonesia kata teman-teman.”
Rex mengangguk, “Berapa harganya?”
“Kata Debby sekitar 25 juta,” senyum Marina sumringah. “Murah, Sayang.”
Hampir saja Rex tersedak. Dalam hati bertanya apa Marina lupa kalau uang jajannya baru saja dipotong separuh oleh sang Ayah? Membeli tas seharga itu sama saja dia tidak jajan satu bulan.
‘Tapi, aku masih punya deposito 1 Milyar yang diberi Papa kemarin. Satu minggu lagi jatuh tempo. Lebih baik itu aku cairkan untuk membelikan Marina tas Balenciaga.’
“Tapi, kalau kamu memang sedang tidak ada uang, ya, tidak apa-apa, Rex. Aku soalnya juga harus membayar tagihan credit card yang agak banyak bulan ini. Siapa tahu kamu bisa bantu.” Marina membelai d**a bidang sang Tuan Muda.
“Atau … bagaimana kalau aku pinjam saja dulu uangmu? Nanti kalau rumah mendiang ayahku yang di Pantai Indah Kapuk sudah laku, aku akan mengembalikan uangnya. Kemarin sudah ada pembeli yang sepertinya tertarik dengan serius,” ucap Marina berbinar.
Rex tersenyum sendu, lalu mengusap kepala sang wanita. “Kamu ini bicara apa? Mau pinjam uangku segala. Tenang saja, aku ada uangnya. Akan kubelikan untukmu, Sayang. Tapi, minggu depan, tunggu deposito jatuh tempo.”
“Serius?” Marina semakin berbahagia mendengarnya. “Kamu memang lelaki idaman!” pujinya mencium bibir Rex dengan bersemangat, berapi-api.
Rex tertawa dipuji seperti itu. Ia terlalu jatuh cinta dengan Marina hingga tidak bisa melihat kekasihnya sedang mengalami masalah keuangan keluarga.
“Jelas serius, dong. Buat kamu, apa yang tidak akan kulakukan?” senyum Rex menarik dagu sang wanita dan kembali mencium bibir merah. “Aku terlalu merindukanmu. Bagaimana kalau kita langsung ke hotel saja?”
Tertawa pelan, tatap Marina kian menggoda. “Kamu sudah tidak tahan, ya?” candanya mengusap milik Rex di antara kedua kaki.
“Kalau ada kamu, kapan aku bisa tahan?” angguk Rex kelewat cinta.
“Ya, sudah, kita langsung ke hotel saja kalau begitu. Aku juga kangen! Aku juga rindu ingin bercinta denganmu, Rex Sayang!” bisik Marina bernada sensual.
Tak mau menunda, Tuan Muda Adiwangsa langsung menginjak pedal gas dan mereka menuju Hotel Roosevelt seperti yang kemarin disepakati.
***
Lyra baru saja kembali dari membeli kasur lipat dengan Mbak Yanti. Agar tidak dilihat oleh siapa pun, ia letakkan kasur tipis tersebut di kolong tempat tidur sang suami. “Mulai nanti malam, aku tidak akan tidur di kursi maupun di lantai lagi,” engahnya tersenyum pilu.
Duduk di sisi ranjang, jemari membuka galery foto pernikahannya dengan Rex beberapa hari lalu. Di setiap foto, ia tersenyum. Akan tetapi, suaminya selalu berwajah datar.
Di atas kuade pengantin, nampak foto ayah ibunya yang nampak begitu “desa”. Berbanding terbalik dengan Tuan serta Nyonya Adiwangsa. Apalagi Ajeng, perhiasan mewah dipakai semua hingga makin menegaskan bahwa mereka adalah orang kaya raya.
Ada fotonya berdua dengan Rex sedang memegang buku nikah. Seperti yang lain, hanya ia yang tersenyum, sementara lelaki itu bahkan tidak mau melihat ke kamera dengan benar.
“Maafkan Lyra, ya, Pak, Bu. Pasti sekarang kalian jadi malu di desa karena memiliki besan dan menantu sombong. Pasti kalian jadi bahan gosip tetangga,” hela Lyra merasa berdosa dengan keluarganya di kampung.
Ponsel berbunyi, nama Harlan kembali muncul. “Halo, Pa?”
“Rex ada bersamamu?” tanya mertuanya.
“Tidak. Sejak pagi tadi ke kantor, Mas Rex belum kembali,” jawab Lyra menahan emosi perih karena sang suami sudah mengatakan tidak akan pulang malam ini.
“Hmm, ke mana dia? Dari tadi Papa telepon, tidak diangkat. Coba kamu yang telepon, ya. Suruh hubungi Papa kalau sudah berhasil dihubungi,” pinta Harlan yang mengira anak serta menantunya mulai memiliki kedekatan akibat adegan mesra yang dipalsukan oleh kedua anak muda tersebut.
Lyra bingung sendiri, ia berpikir mana mungkin Rex akan mengangkat telepon darinya atau membaca chat. Permintaan Harlan terlalu berat.
“Halo, Lyra?” panggil Harlan.
“Eh, i-iya, Pa?” jawab Lyra gugup.
“Hubungi Rex, suruh menelepon Papa. Ini Papa banyak urusan, tidak bisa terus menerus menelepon dan mencarinya. Bisa kan membantu Papa?”
“Iya, Pa, aku akan bantu cari Mas Rex,” ucap Lyra akhirnya menyanggupi.
“Oke, thanks!” Dan Harlan mengakhiri pembicaraan.
Dengan menarik napas panjang, bersiap untuk menerima caci maki lagi, Lyra menguatkan mental. Menekan nomor ponsel suaminya, ternyata dalam tiga kali dengungan, muncul tulisan 00:00 di layar. Pertanda Rex menerima telepon darinya.
“Mas, barusan Papa tele—”
Lyra berhenti berucap dan ia tertegun dengan detak jantung membeku. Sesuatu terdengar, dan itu membuatnya mematung.
“Oooh, Rex, Sayang! Lebih dalam lagi, please? Aku hampir sampai!”
“Yes, Marina! Ah, enak sekali, Sayang!”
BERSAMBUNG