Rex selesai menelepon Marina, lalu jatuh tertidur hingga sore. Saat pintu kamarnya diketuk, ia pun terbangun. Berjalan gontai menuju pintu, membukanya, dan melihat sang ayah di depan kamar.
“Malam ini kita akan makan di luar. Berangkat satu jam lagi. Beritahu Lyra, ya? Mana dia?” tanya Harlan saat melongok ke kamar dan tidak menemukan menantunya.
“Aku tidak tahu, dia keluar kamar dari siang. Katanya mau ke bawah,” jawab Rex mengendikkan bahu.
“Kamu ini bagaimana? Istri sendiri di mana, kok, tidak tahu? Kamu lupa kata-kata Papa? Mau fasilitas dicabut?” kesal Harlan menghela jengkel. “Ayo, cari sekarang!”
Rex menahan emosi, “Papa ini kenapa, sih? Dengan Lyra, kok, perhatian sekali? Dia itu Cuma perawat Nenek Tariyah saja, Pa!”
“Dia itu perempuan yang sudah kamu rudapaksa, Rex! Sebagai seorang wanita dia pasti hancur! Papa kasihan padanya! Apa kamu tidak punya hati nurani sampai terus mengasarinya?” balas Harlan ikut melangkah mencari Lyra.
Rex hanya diam diomeli begitu oleh sang Ayah. Sebagai anak manja yang tidak pernah disalahkan oleh Ajeng sejak kecil, pemuda itu memang minim nurani, apalagi empati.
Sampai di lantai satu, keduanya bertemu dengan salah satu pekerja, “Mbak, lihat Lyra?” tanya Rex menguap.
"Tadi masuk ke kamarnya, Tuan," jawab asisten rumah tangga tersebut.
“Kamarnya?” Harlan bingung.
“Kamarnya saat masih jadi perawat. Saat sebelum menikah dengan Tuan Rex,” jelas wanita paruh baya itu tersenyum canggung.
“Oh,” sahut Rex kemudian berbalik menuju kamar neneknya. “Aku bilang apa, Pa. Dia itu tetap merasa menjadi seorang perawat, makanya tidak mau tidur satu ranjang denganku.”
Padahal, dia sendiri yang mengusir Lyra hingga terjatuh dari atas tempat tidurnya. Sekarang, memutarbalikkan fakta di depan Harlan.
“Lyra! Buka pintu!” seru Rex mengetuk kamar istrinya.
Suara langkah kaki terdengar, “Eh, Tuan Rex dan Tuan Harlan, eh ... Papa?” jawab Lyra begitu melihat ayah mertua dan suaminya.
“Masih panggil Rex dengan sebuatan Tuan? Wah, itu tidak boleh! Panggil Mas atau sekalian sebutan yang mesra, misal Sayang,” tawa Harlan meksi bersamaan dengan menatap iba. Ia bisa melihat mata Lyra sedikit bengkak, baru saja menangis.
“I-iya, Pa, ehm ... maaf, belum terbiasa,” angguk Lyra menunduk, tidak berani melihat pada sang suami.
“Kamu kenapa tidur di sini? Kamu sudah menikah, jadi kamarmu adalah bersama Rex. Itu barang-barangmu sudah dipak, nanti akan dibawa ke kamarnya Rex. Lagipula, besok akan ada perawat baru untuk menggantikanmu.”
“Apaaa!” pekik Rex tanpa sadar menoleh dengan tatapan seakan ingin mati saja. “Barang-barangnya kenapa harus di kamarku? Biarkan saja di sini!” tolaknya spontan.
Harlan menghela panjang, lalu menatap pada menantu perempuannya. “Lyra, kamu naik dulu ke kamarnya Rex dan segera bersiap, ya. Satu jam lagi kita akan makan di restoran.”
Terkejut, Lyra berharap ia bisa menolak. “Boleh saya tidak ikut?” Bagi gadis desa ini, pergi bersama keluarga Adiwangsa sama saja dengan mimpi buruk.
“Tentu tidak boleh! Kita akan pergi satu keluarga!” geleng Harlan. “Sudah, cepat bersiap.”
Tak ada pilihan, Lyra terpaksa mengikuti saja apa kata ayah mertuanya. Toh, hanya Harlan satu-satunya yang bersikap baik. Ia tidak ingin mengecewakan atau pun membuat masalah. “Baik, Pa.”
Setelah Lyra pergi, mata Harlan langsung memandang tajam pada putranya. “Kamu membuat dia menangis sampai pergi ke sini, ‘kan?”
“Papa jangan asal tuduh! Aku tidak berbuat apa-apa!” dusta Rex. “Siapa tahu dia ke sini untuk berbicara dengan pacarnya, lalu menangis?”
“Tutup mulutmu! Mulai sekarang, Jaguar-nya tidak bisa kamu pakai! Cukup pakai Mercy saja! Uang jajan bulananmu juga papa potong tinggal 25 juta saja!”
“Pa! Ini gila! Ini tidak mungkin terjadi! Papa ini apa-apaan!” pekik Rex bak disambar petir.
“Setelah Papa lihat Lyra bahagia, setelah Papa yakin kamu perlakukan dia dengan baik, baru akan Papa kembalikan fasilitasmu! Paham!” bentak Harlan kemudian berlalu dengan gusar.
***
Rex masuk ke kamar dengan geram. Lyra baru saja keluar dari kamar mandi untuk berganti baju. Melihat suaminya datang dengan wajah penuh amarah, jantungnya langsung berdetak kencang.
“Kamu wanita b******k! Wanita sialan! Lacur, kamu itu lacur!” maki Rex mendadak mencekik leher istrinya dan mendorong hingga punggung Lyra menghantam dinding kokoh.
Dengan mata memerah, pemuda itu berdesis. “Kamu harus terlihat bahagia menjadi istriku di depan Papa! Apa kamu paham?”
Lyra mengangguk dengan susah payah. Jemarinya mencengkeram jemari Rex, tetapi ia kalah kuat. Tidak bisa berbicara, bahkan kerongkongan sudah sangat sakit.
“Apa pun yang aku perbuat, kamu tidak boleh menangis! Mengerti, b******k? Sialan! Gara-gara kamu kelihatan baru saja menangis, sekarang satu mobilku ditarik, dan uang jajan bulananku juga dipangkas separuh!” cekik Rex makin kencang penuh dengan emosi.
“Awas, kamu, ya! Sampai buat gara-gara, aku rudapaksa lagi tanpa ampun! Mau?” ancam pemuda tersebut gelap mata, berucap sesuka hati.
Lyra menggeleng, mata berkaca-kaca, tetapi bukankah ia dilarang menangis?
Rex menyeringai, “Camkan itu baik-baik di otak bodohmu!” desisnya melepas cekikan.
Spontan mengambil napas panjang, Lyra pun terbatuk akibat leher yang baru saja lepas dari cekikan sang suami. Ia bersandar di tembok, terengah, menahan setengah mati agar air mata tidak terjatuh.
“Minggir! Aku mau mandi!” bentak Rex lagi mendorong kasar, lalu membanting pintu kamar mandi.
Napas Lyra masih tercekat, dengan gontai ia berjalan menuju kursi. Duduk di sana, mengusap air mata yang meleleh. “Jangan menangis, Lyra! Jangan menangis! Kamu tidak boleh menangis!”
Wajahnya pias, memandang ranjang tempat di mana ia kehilangan keperawanan secara keji. Sprei telah diganti. Titik merah tak ada lagi di situ. Perasaan menyesal mulai menyeruak. Berpikir tak seharusnya dia menerima tawaran Harlan pada waktu itu.
‘Mungkin menjadi ibu tunggal itu susah, tapi paling tidak aku tidak sesakit ini. Aku tidak ditindas!’
Namun, nasi sudah menjadi bubur. Bagaimana mengembalikan uang dari Harlan? Tentu saja tidak mungkin. Perjanjiannya tetap harus diikuti, dan dia harus bertahan.
‘Paling tidak, ada Papa Harlan yang masih berbaik hati kepadaku. Dia memanusiakan aku. Tidak seperti Bu Ajeng, Eva, atau pun Rex. Selama ada beliau, aku pasti baik-baik saja,’ yakin Lyra dalam hati, menguatkan diri.
***
Makan malam tiba, semua berangkat menggunakan satu mobil Alphard seperti biasa. Mendatangi sebuah restoran mewah, di mana hanya ada deretan mobil mahal di area parkir. Pengunjungnya pun terlihat dari kalangan kelas atas.
“Rex, besok belikan Lyra pakaian mahal! Lihat itu, dia seperti pembantu!” desis Ajeng melirik jijik pada menantu perempuannya.
“Ya, kan, memang pembantu, Ma. Eh, perawat,” kekeh Eva tidak kalah sinis.
“Terus, ya!” geram Harlan. “Lama-lama, fasilitas kalian juga Papa kurangi separuh seperti Rex! Mau?”
“Hah? Kak Rex sudah dikurangi fasilitasnya? Apa saja yang dipotong!” pekik Eva sontak khawatir.
“Aku tidak mau membahasnya!” tukas Rex melirik benci pada sang istri yang hanya menunduk dan terdiam.
Ajeng menatap pada sang suami dan menggeleng. Dalam hati ia berkata, ‘Demi satu perempuan b******k, kamu menyakiti anak kita, Mas! Keterlaluan!’ engahnya tertahan.
Mereka duduk di sebuah meja bundar. Seorang pelayan sigap datang dan melayani dengan penuh rasa hormat.
Lyra menatap sekitar. ‘Begini rasanya menjadi orang kaya? Dihormati, diutamakan,’ batinnya berkata.
“Lyra makan apa?” tanya Rex berpura-pura perhatian di depan ayahnya.
“Mana yang enak saja, Mas,” jawab Lyra juga berpura-pura semua baik-baik saja.
Harlan melirik, lalu tersenyum kecil. Berharap apa yang dia lihat akan bertahan selamanya. Berharap juga dengan adanya istri, maka rasa tanggung jawab Rex mulai muncul dan mau mulai masuk ke perusahaan, untuk belajar menggantikan posisinya di sana.
“Ya, sudah, pesan ribb steak saja. Itu enak, kok,” putus Rex kemudian memesankan pada pelayan. Saking totalitasnya berakting, ia bahkan meletakkan lengan di belakang pundak istrinya, seakan mesra.
Lyra memaksa diri untuk tersenyum. ‘Nah, benar, bukan? Selama ada Papa Harlan, aku aman. Dia tidak berani menyakitiku terlalu berlebihan,’ ucapnya menghela dalam hati.
Namun, apa yang kemudian dia dengar bagai petir di siang bolong.
“Besok pagi Papa harus berangkat ke Jepang untuk urusan bisnis. Harus meninjau pabrik serta kantor utama calon rekan kerja baru.”
Harlan memberi informasi yang sangat mengejutkan bagi Lyra.
“Berapa lama, Pa?” tanya Eva.
“Paling cepat dua minggu, paling lama satu bulan.”
BERSAMBUNG