Malang, kota kelahiran Lyra Kanigara. Tidak terletak di tengah kota, tetapi masih masuk lebih ke dalam lagi. Naik turun gunung hingga memakan waktu hampir dua jam dari pusat kota.
“Rumah kamu itu kenapa ngampung sekali, hah?” sembur Ajeng pada calon menantunya.
“Ya, namanya saja orang kampung, Ma,” celoteh Eva, adiknya Rex.
Harlan menoleh ke belakang sambil menghela napas panjang. Ia duduk di depan, di sisi sopir. “Berhenti menghinanya.”
“Kita sudah dua jam lebih mengendarai mobil sejak mendarat di Surabaya! Ini sebenarnya mau ke mana?” kesal Ajeng. “Semakin lama kita semakin jauh dari peradaban! Lihat saja, hutan lembah tidak jelas!"
Lyra terdiam. Ia duduk di belakang sendiri sementara Rex beserta ibu dan adiknya ada di baris tengah. Memang, rumahnya sangat masuk ke pedalaman desa, jauh dari kata kota.
“Punya kakak ipar sama sekali tidak bisa dibanggakan! Orang miskin, orang kampung tidak berpendidikan! Apa sih pendidikan dia terakhir? Paling SMP!” Eva terus mencibir, merendahkan wanita yang duduk di kursi paling belakang.
“Sekalinya punya istri, orang udik! Luar biasa!” geleng Rex mencibir wanita yang ada di belakangnya. “Kalau cantik masih lumayan! Ini sudah jelek, t***l, kampungan pula! Apa yang mau aku banggakan?”
“Papa bilang berhenti menghinanya! Kamu sendiri yang membuat masalah, Rex! Makanya, berhentilah mabuk-mabukan!”
Semua terdiam begitu suara Harlan sudah menggelegar sarat dengan emosi. Rex yang duduk di dekat jendela menoleh ke belakang dengan sorot kebencian.
“Kalian semua nanti jangan buat Papa malu di depan keluarga Lyra! Kalian harus bersikap baik dan terlihat menyayangi dia! Awas, ya, kalau sampai kalian seperti ini!” pungkas lelaki berusia menjelang 60 tahun tersebut sedikit terengah.
Ajeng melengos, “Cih! Dengan keluarga kampung yang miskin saja kita harus berpura-pura baik? Apa untungnya? Kalau di depan keluarga Marina yang pejabat itu barulah kita harus jaga sikap!”
“Melepas calon mantu seperti Marina, dapatnya malah Lyra! Membuang berlian, dapatnya kotoran kucing!” desis ibu dua anak tanpa rasa berdosa menyamakan perawat manis di kursi belakang dengan seonggok kotoran kucing.
“Kamu lagi! Terus saja begini! Bulan depan kita batalkan saja pergi ke Paris!” ancam Harlan. Telinganya sendiri panas mendengar Lyra disebut kotoran kucing.
Melototlah mata istrinya. “Heh, apa-apaan, Pa? Tidak boleh begitu!”
“Kamu juga, Eva! Kalau mulutmu itu masih terus pedas, tidak usah beli Honda Accord terbaru, ya!”
Gadis cantik berkulit sawo matang ikut mendelik. “Jangan begitu, Pa! Aku diam saja nanti! Mau taruh di mana mukaku kalau tidak jadi beli Accord baru? Diana barusan ganti Fortuner terbaru! Dia akan menertawakan aku kalau tidak jadi beli mobil!”
“Makanya jaga mulutmu itu!” tegas Harlan sekali lagi. “Dan kamu Rex! Kalau sampai kamu tidak mesra dengan Lyra, kalau sampai keluarganya curiga, Papa usir kamu dari rumah! Semuanya paham atau tidak!”
“Paham, Pa!” seru ketiga orang serempak.
Lyra yang duduk di belakang sendiri terus menunduk sambil menahan isak. Hatinya pedih, teriris sembilu hingga membuat panas matanya yang berkaca-kaca. Akan tetapi, sebisa mungkin dia menahan diri agar tidak menangis.
Malu rasanya kalau harus menangis. Direndahkan dan dihina seperti ini, tentu ia sakit hati. Namun, apa mau dikata? Jika sampai yang lain tahu dia menangis, tentu akan semakin dihina. Maka, gadis itu hanya diam dan meremas celana kainnya sendiri.
Demi menjaga nama baik keluarga, ia bersedia menjadi istri Rex dan dihina. Tidak apa, toh hutang berobat ayahnya akan dilunasi. Berkorban, bukankah itu sesuatu yang mulia? Menguatkan diri, membayangkan wajah keluarganya demi menjadikan diri lebih kuat.
***
Setelah perjalanan yang melelahkan, sampailah mereka di rumah Lyra ketika hari menjelang sore. Turun dari mobil sewaan, keluarga Adiwangsa terperangah dengan tampilan sekitar.
Pohon rindang mengelilingi rumah yang terbuat dari bata tanpa disemen. Pintu serta jendela dan semua kusennya dari kayu yang tidak dicat. Pagar rumah tidak ada, yang menyambut mereka pertama justru sekian ekor ayam berkeliaran bebas.
Rex langsung berbisik pada ibu dan adiknya. “Awas! Hati-hati! Banyak kotoran ayam di sini!”
Di Jakarta -terutama bagian Selatan yaitu kawasan Pondok Indah- tidak ada rumah seperti di sini yang punya ayam berkeliaran dan kotorannya di mana-mana.
Lyra berjalan, lalu membuka pintu dan menyerukan salam. “Bapak, Ibu?” panggilnya.
Sontak terdengar suara langkah kaki berlari dari ruangan belakang. Itu adalah kedua adik Lyra. Lalu, di belakangnya ada dua sosok yang wajahnya sudah mulai keriput.
“Itu calon mertuamu, Kak? Ya, ampun! Lebih baik kamu bunuh diri saja!” cibir Eva berbisik meski bibirnya tersenyum ramah.
Rex melirik dengan matanya yang sedikit sipit seperti aktor Korea. Tidak menjawab apa-apa, tetapi hatinya sama muak dengan Eva. Melihat ayah Lyra yang kulitnya hitam legam memakai baju koko dan sarung, ia seperti melihat tukang kebun di rumah saat sore hari.
‘Mati sajalah aku! Demi apa aku harus memiliki mertua sekampungan ini!’ jerit pemuda itu ingin menangis di dalam hati.
“Maaf, kami sedang mempersiapkan makanan di belakang. Jadi, tidak dengar,” sapa ayahnya Lyra. Mereka semua telah dipesani agar jangan berbicara bahasa Jawa Timuran karena keluarga Adiwangsa tidak mengerti bahasa tersebut.
“Saya Suripto, ayahnya Lyra,” ucap lelaki yang sehari-hari biasa mengurusi kolam ikan lele di belakang rumah.
“Saya Narsih, ibunya Lyra,” ucap wanita yang rambutnya ditumbuhi uban. Ia memakai gamis lusuh berwarna biru muda. Sepertinya, ini adalah pakaian terbaik yang mereka miliki.
Bagaimana bisa membeli baju mewah kalau lantainya masih terdiri dari plesteran semen saja tanpa lantai? Apalagi, atapnya langsung genteng tanpa eternit.
Harlan menjabat kedua tangan calon besannya dengan sopan dan hangat. Berbeda ketika Ajeng yang harus bersalaman. Wajah istrinya langsung memerah dan napas berembus kencang.
Tangan yang diangkat tidak sanggup berjaba sehangat suaminya. Yang ada di bayangan Ajeng adalah tangan orang tua Lyra pasti kotor penuh kotoran ayam di depan tadi. Maka, ia hanya menyentuhkan ujung jari-jarinya ke ujung jari-jari orang desa tersebut.
Bahkan, setelah menyentuhkan jari, ia mengusap di balik punggung. ‘Sialan! Bakteri apa ini yang sudah menempel di tanganku! Harus segera disemprot hand sanitizer!’ geram Ajeng dalam hati.
“Bapak, Ibu, ini Mas Rexanda, calon suamiku,” ucap Lyra tersenyum sendu, memperkenalkan pemuda yang berdiri di sebelahnya.
“Ehm, iya, selamat sore, Pak, Bu,” angguk Rex menjabat singkat. Tidak ada cium tangan seperti adat orang Jawa pada umumnya.
Suripto dan Narsih saling pandang, tetapi mereka kembali teringat ini adalah keluarga dari Ibu Kota Jakarta di mana adat sopan santun serta norma sudah semakin luntur.
“Pa, Ma, ini Endaru dan Gayatri, adik-adik saya.” Lyra memperkenalkan kedua adiknya.
“Hmm,” senyum Ajeng dingin dan segera melengos. Mendengar Lyra memanggilnya Ma sudah cukup untuk membuat asam lambung naik hingga ingin muntah.
“Monggo, monggo! Silakan duduk! Mohon maaf rumahnya kotor karena di kampung,” senyum Suripto lebar mempersilakan semua duduk di kursi rotan yang benar-benar terlihat usang.
“Aku yakin kursi itu banyak kutunya, Ma!” bisik Eva menarik-narik lengan baju ibunya.
Ajeng menoleh dan berbisik balik. “Diam saja kamu! Mau tidak jadi beli Accord, hah? Pakai saja terus mobil bututmu itu ke mana-mana tidak usah ganti baru!”
Cemberut dan ingin berteriak jengkel, tetapi Eva akhirnya duduk berdampingan dengan ibu dan ayahnya.
“Mbak Eva kalungnya bagus sekali,” puji Gayatri memandangi kalung emas calon iparnya dengan takjub.
Eva tersenyum culas. “Ini kalung emas putih! Harganya sekitar 20 juta!”
Maka, terbelalaklah keluarga Suripto mendengar harga kalung tersebut. Mereka langsung menggelengkan kepala.
“Oleh sepeda motor siji!” bisik Suripto pada istrinya terkekeh.
“Oleh loro yen second, Pak!” tanggap Narsih mengatakan dengan harga demikian bisa dapat dua sepeda motor bekas.
Eva menggelengkan kepala. Kembali berbisik kepada ibunya. “Ma, sumpah! Demi apa mereka kampungan sekali! Harga segitu saja sudah terheran-heran! Dasar orang miskin!”
Harlan segera mulai berbicara agar suasana tidak semakin canggung dan berlarut. Ia khawatir anak dan istrinya merusak semua rencana yang telah ia bangun. “Mohon maaf atas kedatangan kami yang mendadak ini.”
“Kami datang kemari untuk melamar Lyra Kanigara menjadi istri dari Rexanda Adiwangsa. Mereka sudah berpacaran selama enam bulan. Supaya tidak terjadi fitnah, maka saya berniat untuk menikahkan mereka.”
Sungguh indah ucapan Harlan. Supaya tidak terjadi fitnah. Padahal, bukan hanya fitnah, tetapi sang gadis telah dinoadi dengan kejam. Namun, tidak ada cara lain kecuali mengarang cerita untuk menutupi aib putranya.
Suripto menghela napas panjang, lalu menatap pada Lyra dan Rex. “Kok, mendadak sekali sebenarnya ada apa?”
“Saya hanya ingin segera menghalalkan Lyra, Pak. Saya sangat mencintainya,” jawab Rex bermain peran. Ia rangkul calon istri sambil merengkuh jemari lentik. “Betul, ‘kan, Lyra?”
Tersenyum kagok, tetapi mengikuti drama Rex dengan sebisa mungkin. “I-iya, Mas ….”
Narsih buka suara, “Masalhnya, kami tidak ada dana untuk menikahkan Lyra, Bapak dan Ibu Adiwangsa. Hutang operasi jantung ayahnya saja masih belum lunas.”
Harlan tersenyum, lalu menjelaskan, “Semua biaya kami yang menanggung. Acara akan diadakan di hotel di Malang kota besok lusa. Seluruh saudara dan kerabat dari Pak Suripto dan Bu Narsih silakan datang. Kami membawa 50 undangan, nanti silakan diisi sendiri dan dibagikan.”
“Kami juga sudah menyewa wedding organizer untuk melaksanakan pesta ini dengan baik. Semua sudah mereka atur. Kalian cukup datang, itu saja. Nanti saya juga akan mengirim kendaraan kemari untuk menjemput.”
Suripto dan Narsih saling pandang terbelalak. Begitu pula dengan Endaru dan Gayatri. Lalu, keempatnya menoleh pada Lyra.
“Iya, Pak, Bu, seperti yang aku jelaskan di telepon. Pak Harlan akan ke luar negeri dalam waktu lama. Jadi, pernikahannya dimajukan,” jelas Lyra dengan satu kebohongan pula.
Dasarnya keluarga Suripto memang orang desa yang sangat jarang berburuk sangka dengan orang lain, mereka menerima saja semua ini meski ada keraguan dalam hati.
“Bagaimana, Pak, Bu? Setuju, ya?” Harlan menunggu kepastian.
“Enggeh, manut mawon, Pak Adiwangsa,” angguk Suripto diikuti hal serupa oleh anggota keluarga yang lain.
Selesai sudah kesepakatan itu. Tak lama lagi, Lyra akan menjadi Nyonya Rexanda Adiwangsa.
***
Pesta pernikahan yang digelar di salah satu hotel bintang empat kota Malang berlangsung sederhana. Tamu undangan yang datang 90% adalah dari pihak keluarga Lyra. Sementara keluarga Rex hanya sekitar lima orang tambahan yaitu paman dan bibi dari Jakarta.
“Rex apa tidak salah pilih istri? Lihatlah, Ajeng. Mereka masuk hotel pakai sarung dan pakaian para wanitanya … ya, ampun, sudahlah,” erang Nastiti.
Ajeng melirik kesal pada adiknya, “Diam kamu! Aku sudah sangat malu, ya! Jangan buat aku makin darah tinggi!”
“Lihat yang itu! Pakai tas ada lambang Chanel! Pasti beli di pasar seharaga puluhan ribu saja!” kikik Nastiti menggeleng. “Mereka tidak malu memakai barang yang palsunya kelewatan?”
“Aduh, Tante Nastiti ini apa tidak tahu? Mereka itu orang kampung! Mana tahu malu? Liat saja alas kaki mereka! Tidak ada yang layak masuk hotel!” imbuh Eva ikut menertawakan. “Aku tadi seperti melihat ada yang memakai sandal jepit! Luar biasa memang orang kampung itu menjijikkan!”
Nastiti tertawa bersama kakak dan keponakannya. “Sial benar nasib Rex punya istri seperti ini, oh, My God! Tapi, yah, namanya juga cinta itu buta.”
Tidak ada yang tahu kisah di balik pernikahan ini. Mereka hanya mengira Rex benar-benar mencintai Lyra dan ingin segera menikah. Sepanjang pernikahan, Ajeng bersama Nastiti dan Eva terus mencibir, menghina, serta menertawakan keluarga Lyra. Mereka sama sekali tidak mau bergabung dan menyapa para besan.
Suripto dan Narsih bukannya tidak sadar sikap Ajeng yang menolak untuk bersama mereka. Akan tetapi, mereka lebih kepada ….
“Sudahlah, Pak. Mereka orang kaya dari Jakarta. Kita ini siapa? Biarkan saja mereka tidak menyapa kita.” Narsih mengusap punggung sang suami.
Mengangguk dengan menghela lirih, “Ya, kamu benar, Bu. Kita cuma orang kampung yang miskin. Mungkin mereka malu dengan kita.”
“Yang penting Rex mencintai Lyra. Anak kita bahagia, sudah itu saja.” Narsih memaksa diri untuk tersenyum walau perih.
Keduanya memandangi anak gadis yang kini telah menjadi istri orang. Hanya doa yang bisa mereka panjatkan agar sang putri merasa bahagia seterusnya.
***
Pesta telah usai, kini Lyra dan Rex kembali berada di satu kamar setelah kejadian nahas beberapa waktu kemarin. Lyra yang sudah selesai membersihkan diri keluar dari kamar mandi dengan perasaan berdebar. Tanpa mengucap apa-apa, ia berjalan melintas di depan ranjang, menuju sisi yang tidak ditiduri oleh Rex.
Namun, mendadak sang suami yang sudah lebih dulu membersihkan diri menggeser posisi duduknya menjadi ke tengah ranjang. “Siapa bilang kamu bisa satu ranjang denganku, Lacur?” desis Rex memanggil dengan sangat kasar.
Ia menyeringai sambil menatap benci. “Sudah kukatakan sebelumnya, bukan? Akan kubuat pernikahan kita seperti di neraka.”
“Nah, selamat datang di neraka …!”