Ch.05 Malam Pertama

1431 Kata
Mendengar ucapan Rex yang berdesis kepadanya dengan sorot kebencian, Lyra berhenti melangkah. Tubuh yang segar dari kamar mandi setelah mandi air hangat berubah menjadi lemas. “Jangan bermimpi bisa tidur satu ranjang denganku, sialan!” maki Rex menyeringai. Terengah, tetapi Lyra menutupi kebingungannya. “Lalu, aku tidur di mana?” “Kamu pikir aku peduli? Tidur saja di lantai kalau perlu! Pokoknya, jangan mimpi bisa tidur denganku di ranjang yang sama!” Rex kembali membentak. “Minggir! Kamu menghalangi televisi, bodoh!” Lyra mengangguk, kemudian duduk di kursi dekat jendela. Menyibak tirai, melihat jalanan kota Malang saat malam hari dengan lampu-lampu kendaraan berlalu lalang. Matanya berkaca-kaca, menahan pedih. Bukan seperti ini pernikahan yang dia dambakan. Dulu, saat masih di desa, julukan untuknya adalah Kembang Desa karena ia dianggap begitu cantik dan memukau para pemuda di sana. Sekarang, dia tak ubahnya seperti w************n yang terus dimaki dan dipanggil dengan kata kasar. Pria yang telah menodainya tetap tidak memiliki perasaan bersalah sama sekali. Bukannya memperbaiki, tetapi justru menambah kesakitan itu. “Aku tahu kamu sengaja menjebakku. Kamu pasti sengaja membuatku terangsang hingga akhirnya menidurimu!” desis Rex sambil matanya terus menatap lekat pada televisi. Menggeleng, suara Lyra kian parau. “Aku tidak akan melakukan hal sebejat itu, Rex.” “Heh! Siapa suruh memanggilku Rex? Kamu pikir kamu istriku sungguhan? Panggil aku Tuan! Sampai kapan pun aku akan jadi majikanmu! Dan kamu hanyalah pelayan bodoh!” bentak pemuda itu kini menatap Lyra dengan pandang memerah. Terhentak, tenggorokan Lyra terasa kering luar biasa. Pundak sampai naik turun menahan gelontoran sakit yang menerjang bak air bah. “T-tapi … kita sudah menikah ….” Rex melompat dari ranjang dan dia langsung menempeleng kepala Lyra. “t***l! Barusan aku bilang apa kamu pikir kamu sungguh-sungguh menjadi istriku!” teriak pemuda itu kesetanan. Kedua telapak tangan mencengkeram pundak ringkih, lalu mengguncang dengan sangat kencang hingga menimbulkan rasa nyeri. “Rex! Sakit, sakit!” jerit Lyra merasa kuku suaminya menancap di kulit seolah menembus pakaiannya. “Tuan Rex! Panggil aku Tuan Rex!” Dan satu tamparan kencang mendarat di pipi putih mulus Lyra hingga meninggalkan warna merah. Masih belum puas, ia dorong lebih kasar lagi hingga istrinya terjatuh ke atas lantai. Terjerembab sampai lengannya menghantam kaki kursi, Lyra terengah sambil menunduk. Ia meremat pakaiannya sendiri di bagian dekat pundak dan lengan yang sakit. Saking syok-nya sampai tidak bisa berkata apa-apa. Jangankan berkata sesuatu, menatap Rex saja dia tidak berani. Telapak tangan gemetar hebat karena syok serta ketakutan. Menelan saliva sendiri saja tidak bisa. “Tidur saja di lantai! Jangan mimpi bisa naik ke ranjangku, Lacur!” desis Rex menendang tumit Lyra cukup kencang dan wanita itu lagi-lagi spontan menjerit sakit. Menatap lantai berlapis karpet di bawahnya, jangan ditanya bagaimana perasaan wanita muda itu saat ini. Tidak hanya batin yang luluh lantak hingga terasa perih bak disilet tipis, tetapi juga raganya yang menerima berbagai pukulan serta hinaan. Merayap perlahan ke dinding yang tertutupi tirai panjang, Lyra bergerak dengan menahan gemetar ketakutan. Lemas lunglai tubuh, padahal tidak baru saja berlari sekian kilometer. Punggung disenderkan dan lutut ditekuk ke atas, lalu kedua tangan memeluk kaki lemas tersebut. Ia tundukkan kepala di antara lutut dan d**a. ‘Ya, Tuhan … tolong kuatkan aku,’ pintanya bermunajat dengan mata memanas, mulai berkaca-kaca. Suara ponsel berbunyi nyaring terdengar dari atas ranjang. Rex menerima panggilan tersebut, “Halo, Marina Sayang!” Kian terengah d**a Lyra. Suaminya memanggil sayang kepada orang lain sementara ia dikasari seperti ini? Mimpi buruk yang sepertinya tidak akan segera usai dalam waktu dekat. “Hah? Malam pertama? Aku dengan perawat yang gila itu? Lebih baik aku mati daripada malam pertama dengannya!” desis Rex terkekeh sinis. “Tenang saja, Sayang. Cintaku hanya buat kamu! Mana mungkin aku bisa mencintai perempuan lacur kampungan seperti Lyra?” “Nanti kalau aku sudah kembali ke Jakarta, pasti aku akan segera menemuimu. Kita check in di hotel seperti biasa, ya?” rayu Rex dengan suara mendayu. “Aku merindukan pelukan serta sentuhanmu.” “Oke, love you, Marina Sayang!” pungkas Rex kemudian selesai menerima telepon. Lalu, ia berseru kencang. “Dengar itu, Lacur? Wanita yang aku cintai bernama Marina! Dia anak orang terhormat! Anak pejabat! Tidak seperti kamu yang anaknya petani desa! Bukan seperti kamu yang anaknya Suripto pengumpul kotoran ayam!” Rex menghina keluarga Lyra bukan kepalang tanggung. Ayah wanita itu dikatakan pengumpul kotoran ayam karena rumahnya kemarin banyak ayam berkeliaran saat dikunjungi. Tak berani menjawab apa pun, Lyra terus menyembunyikan wajahnya di antara lutut dan d**a. Ia menangis, menitikkan air mata untuk melepas pedih. Walau meski telah sekian butir turun deras, tak ada rasa sakit yang berkurang di dalam asa. Justru semakin kencang menggilas tiap titik batin. *** Rex benar-benar tak mengijinkan istrinya naik ke atas ranjang sepanjang malam. Hingga jam dinding menunjukkan pukul satu dini hari, ia telah mengorok di atas peraduan, sementara Lyra terkulai lemas dan meringkuk kedinginan di atas lantai tanpa selimut sama sekali. Akhirnya fajar menjelang dan Lyra yang sudah terbiasa bangun di jam-jam seperti itu mulai membuka mata. Udara dingin kamar menusuk ke tulang hingga ia menggigil. Ujung jari sedikit kebas mati rasa. Mengumpulkan semua tenaga yang ia punya, mencoba untuk duduk. Sekujur raga kaku dan sakit karena tidur di atas benda keras yaitu lantai yang hanya berlapis karpet tak terlalu tebal. Menarik napas panjang, d**a pun sesak akibat teringat apa yang terjadi dengannya semalam. “Aku akan membuat pernikahan kita menjadi neraka!” Suara Rex kembali teringiang, membuat ulu hati nyeri dan takut. Melirik ke atas ranjang, lelaki itu masih tertidur lelap, bahkan mengorok cukup kencang. ‘Tuhan, kuatkan aku melalui ini semua. Aku sudah menandatangani surat perjanjian dengan Tuan Harlan. Kalau aku mundur sekarang, bagaimana jika aku hamil? Anakku lahir tanpa ayah.’ ‘Dan bagaimana aku bisa membayar lima kali lipat dari apa yang sudah diberikan oleh beliau? Satu milyar, aku bisa dapat uang sebanyak itu dari mana?’ Menguatkan diri, Lyra sadar kalau ia harus kuat melalui semua yang telah ia putuskan sebelumnya. Apa pun yang terjadi, dia tidak bisa meminta cerai dari Rex. Menopang diri dengan kedua kepal tangan, akhirnya ia bisa berdiri lagi. Mengambil pakaian ganti dan memasuki kamar mandi, lalu ia membuka pakaian. Melihat di depan kaca, pundak serta lengannya ada lebam tipis akibat perbuatan Rex semalam. Tak hanya itu, ujung bibirnya juga sedikit lecet karena ditampar sangat keras. Bahkan. Di bagian rahang masih terlihat memerah. Dada kembang kempis, karena seumur hidup baru kali ini dia dipukul dan dikasari seperti tadi malam. Sakit! Sungguh sakit! Mata kembali berkaca-kaca, dan air mata berjatuhan. Melangkah menuju shower, mulai menyiram diri dengan berharap kepedihannya bisa ikut tersiram. *** Pukul tujuh pagi, semua sudah berkumpul di restoran hotel untuk sarapan pagi. Setelahnya, mereka harus segera berangkat ke Surabaya untuk menaiki pesawat dan kembali ke kota Jakarta. Lyra berjalan bersama Rex, di mana sang suami kemudian berbisik. “Awas, ya, kalau kamu ceritakan kejadian semalam. Aku akan menghajarmu lebih keras lagi!” “Di depan Papaku, kita harus terlihat harmonis. Paham?” Tak berani memandang wajah Rex, wanita berkulit kuning langsat itu hanya mengangguk lesu. Apa saja yang diinginkan sang suami, ia tidak akan melawan. Mendadak, Rex menggandeng tangan Lyra dengan erat. Bahkan, ia usap lembut jemari sang istri seakan benar-benar menyayanginya. Sontak, Lyra menoleh dengan wajah bertanya-tanya. Akan tetapi, Rex tersenyum dingin, “Jangan besar kepala! Sudah kubilang, kita harus terlihat harmonis, Bodoh! Paham atau tidak? Jawab!” “Pa-paham … paham, Rex,” angguk Lyra gugup. “Bagus! Tumben, kamu pintar!” desis Rex kemudian memasuki restoran dan disambut dengan senyum sang ayah. Harlan berseri-seri melihat putranya menggandeng Lyra. “Wah, sepertinya tadi malam ada yang sudah mulai berbaikan?” Ajeng dan Eva spontan menoleh pada Rex dan terbelalak karena melihat keduanya bergandengan. Akan tetapi, karena pemuda itu memberi kode-kode tertentu lewat kedipan mata, membuat ibu dan adiknya paham kalau itu hanya pura-pura. Duduk di samping ayahnya, “Iya, dong, Pa! Punya istri kalau hanya dibuat menganggur saat malam, rugi sekali! Apalagi cantik begini!” tawa Rex bermain peran, membelai pipi Lyra. Harlan menoleh pada Lyra. “Kamu dan Rex sudah berbaikan, Lyra? Dia sudah tidak membentak atau memarahimu lagi?” “Tidak, Tuan Harlan,” geleng Lyra tersenyum kecut. “Ah, jangan panggil Tuan! Panggil Papa, lalu Bu Ajeng itu kamu harus panggil dengan Mama. Kan kita sudah jadi keluarga.” Harlan menggeleng sambil tertawa. “Eva kalau memanggil Lyra juga harus dengan kata Mbak atau Kak.” Eva tersenyum malas, tidak mempedulikan ucapan ayahnya dan kembali bermain dengan gadget-nya. Namun, mendadak Harlan melihat sesuatu di wajah menantunya. “Kenapa pipi bagian bawahmu seperti memar? Lalu, itu di ujung bibir seperti lecet?” BERSAMBUNG
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN