Ayah Rex telah kembali dari kunjungannya ke luar kota. Rasa lelah yang Harlan ingin lepas dengan bercengkerama bersama keluarga kini justru berubah menjadi sebuah sesak bukan kepalang.
Putra sulung yang kian sulit diatur, sekarang telah berbuat nista dengan menodai perawat neneknya sendiri. “Kamu harus menikahi Lyra!” bentaknya pada Rex tanpa ada keraguan sedikit pun.
“Apa? Papa ini apa-apaan? Aku tidak mungkin menikahi dia!” Detik itu juga Rex menolaknya. “Aku bahkan tidak tahu apa yang aku perbuat kepadanya!”
“Bisa jadi Mama benar! Lyra menjebakku! Dia pasti sudah naksir aku sejak lama dan kali ini adalah waktu yang tepat untuk dia beraksi!”
“Tutup mulutmu! Kamu sudah memperkosa seorang wanita! Perawan pula! Kamu harus bertanggung jawab!”
“Aku tidak mau menikahi dia! Aku sudah punya pacar, Pa! Mama, please! Bantu aku!” Rex merengek pada ibunya. Berjalan dan berlindung di balik punggung sang bunda.
Ajeng tentu saja sama seperti putra yang selalu dimanja olehnya itu. Tentu saja dia menolak apa yang diharuskan oleh Harlan. “Rex tidak bisa menikahi Lyra! Aku tidak setuju! Perempuan kampung begini mau jadi menantuku, hah? Tidak sudi!” hinanya memandang rendah.
Yang dihina terus menunduk sambil menitikkan air mata tanpa jeda. Ketakutan jika ternyata ia berbadan dua sungguh mengerikan. Memiliki anak tanpa ayah, apa kata orang tua dan sanak keluarga di desa?
Harlan mengepalkan tangan saking murka dengan istri serta anak lelakinya. “Keputusan Papa adalah kamu menikahi Lyra! Titik! Besok kita akan pulang ke kampungnya dan melamar!”
“Apa? Tidak! Aku lebih baik mati saja daripada menikah dengan perempuan seperti dia, Pa!” Rex masih terus menolak.
“Kamu mau masuk penjara karena kasus perkosaan, hah, Rex? Jawab! Mau masuk penjara? Kamu kira penjara itu tempat yang enak! Mereka akan mencincang habis pemerkosa!” ucap Harlan makin meninggi.
Mendengar ini, Rex dan Ajeng terdiam seribu bahasa. Penjara? Sepertinya itu sesuatu yang mengerikan, bukan? Tak bisa berkata apa-apa lagi, mereka hanya diam dan terengah.
“Lyra, tolong tinggalkan kami. Pergilah ke kamarmu,” tukas Harlan memandang perawat itu dengan penuh rasa iba. Jika masih ada yang memiliki hati di rumah ini, dialah orangnya.
Mengusap air mata, Lyra mengangguk. Ia mencoba berdiri, tetapi kakinya terasa lemas dan gemetar. Belum lagi rasa sakit yang menyerang di area kewanitaan.
Namun, dengan segenap daya dan upaya, gadis itu berusaha bangkit. Berpegangan pada tiang ranjang, sesekali memicingkan mata, kakinya mulai tegak menyangga badan.
“Kamu bisa jalan sendiri?” khawatir Harlan melihat kondisi perawat ibunya yang mengenaskan.
Mengangguk sambil tersedu pelan dan meringis karena menahan rasa sakit, Lyra mengangguk. Tidak bisa berkata apa pun karena lidah dirasa terlalu kelu ‘tuk berucap.
Tertatih, mencincing daster sobeknya untuk memudahkan kaki melangkah, perawat yang telah ternoda itu berjalan melewati Rex.
Desis hinaan terdengar dari bibir sang Tuan Muda. “Dasar p*****r tak tahu malu! Kamu menjebakku, kan?”
“Rex! Hentikan omongan kasarmu itu!” bentak Harlan pada putranya sambil menggeleng tidak percaya. Batin berkata, mimpi apa hingga punya anak seperti ini.
Namun, Ajeng yang selalu mendukung dan memanjakan anaknya berbuat hal yang sama. Tidak hanya memaki, tetapi juga mendorong. “Perempuan b******k! p*****r tidak tahu malu! Jual kemaluan hanya untuk naik tahta jadi orang kaya!”
Dorongan Ajeng membuat tubuh Lyra terhentak mundur. Jika tidak cepat berpegangan pada tiang ranjang, sudah pasti dia akan terjatuh. Area kewanitaannya sakit, tetapi hati lebih sakit karena dihina p*****r. Dia yang dinodai, dia yang dikatakan sebagai p*****r dan sengaja menjebak.
Namun, ia terlalu lelah untuk membela diri. Hanya bisa melangkah dengan terseok sembari menahan semua luka batin yang diderita. Keluar kamar, menapaki lorong belapis kayu cokelat terang, lalu menuruni tangga.
Tinggalah tiga orang di dalam kamar kini saling berhadapan. Harlan memberi penegasan sekali lagi kepada istri dan anak pertamanya.
“Ini adalah aib keluarga, Rex! Kamu sudah berbuat hal yang menghancurkan nama baik Papa kalau sampai masalah ini terdengar orang lain!”
“Usir saja Lyra, pulangkan dia ke kampung! Kalau dia buka mulut, kita serang!” engah Ajeng menatap nanar pada suaminya. “Aku tidak mau punya menantu seorang pembantu seperti dia!”
“Aku juga tidak mau punya istri orang udik macam Lyra, Pa! Aku sudah punya pacar! Aku sudah janji akan menikahi dia tahun depan! Kalau meni—”
“DIAAAM!” bentak Harlan tanpa sadar melayangkan telapak tangannya ke mulut Rex. Ia menampar anak kandungnya sendiri saking sudah tidak tahan dengan semua masalah yang ditimbulkan pemuda tersebut.
Ajeng dan Rex terkejut setengah mati ketika Harlan menampar tanpa ragu. Bibir kepala keluarga itu gemetar dan giginya gemeretak marah.
“Kalau kamu tidak mau menikahi Lyra, silakan angkat kaki dari rumah ini. Dan Papa ingatkan, keluarlah dari rumah ini hanya membawa pakaian yang kamu kenakan! Jangan membawa apa pun juga!” engah ayah yang sedang murka itu.
“Menikah dengan Lyra! Jadikan dia istrimu karena kamu telah merenggut keperawanannya! Kalau tidak mau, Papa akan mencoretmu dari daftar keluarga! Silakan hidup sendiri di luar sana! Paham?”
Ajeng angkat suara, “Dia anakmu, Mas! Kenapa kamu justru membela pembantu seperti Lyra!”
“Justru karena dia anakku makanya aku berbuat ini! Rex harus belajar bertanggung jawab dengan perbuatannya! Kamu terlalu memanjakan anak-anak kita selama ini, mereka jadi orang manja yang tidak bertanggung jawab!” hardik Harlan pada istrinya.
“Kalau kamu juga tidak setuju Rex menikahi Lyra, silakan angkat kaki semua dari rumah ini! Aku sudah muak dengan kalian semua!” pungkas Harlan kemudian keluar dari kamar putranya sambil membanting pintu.
***
Duduk di ruang kerjanya, Harlan menunggu kedatangan Lyra. Gadis tersebut datang masih dengan wajah yang sembab, tetapi telah berganti pakaian. “Duduk,” perintahnya datar dan singkat.
Mengangguk, Lyra berjalan pelan sambil menunduk dan duduk di kursi seberang meja majikannya. Sama sekali tidak berani menatap, jantungnya berdegup teramat kencang.
“Di mana orang tuamu? Ayahmu masih hidup?” mulai Harlan berbicara.
“Orang tua saya di kota Malang, Tuan Harlan. Ayah dan Ibu semua masih hidup.” Lyra menjawab dengan suara gemetar.
“Hmm, naik pesawat ke Surabaya sekitar satu setengah jam. Lalu naik mobil ke Malang sekitar dua jam,” gumam Harlan mengkalkulasi lama perjalanan. “Mereka ada di rumah terus, ‘kan?”
Lyra mendongakkan kepala takut-takut, “Ayah saya sakit keras, Tuan. Bapak tidak bisa pergi ke mana-mana. Sebenarnya ada apa, Tuan?”
“Kok, ada apa? Saya mau menikahkan kamu dengan Rex! Ayahmu harus jadi walinya!”
Tertegun, Lyra tidak menyangka ucapan majikannya di kamar tadi serius. “T-tapi, Tuan … masalahnya Tuan Rex tidak mau menjadi suami saya.”
“Kalau kamu hamil, bagaimana? Mau anakmu lahir tanpa nama ayah? Lagipula itu cucuku, darah dagingku. Aku sudah membuat keputusan, kalian harus menikah, titik!”
Lyra terdiam. Hati kecil menolak karena dia tidak mencintai Rex. Akan tetapi, majikannya benar. Kalau dia hamil, bagaimana? Lalu, keperawanannya juga sudah direnggut oleh pemuda itu. Berpikir, siapa yang mau menerima dirinya yang sudah tidak perawan?
“Aku minta perbuatan Rex dirahasiakan, bisakah kamu berbuat itu?” Harlan bertanya dengan sangat serius. “Aku tidak mau masalah ini sampai menyebar keluar. Akan berbahaya bagi nama baik keluarga Adiwangsa.”
Menelan cairan di mulutnya dengan berat, Lyra mengangguk. Dirinya hanyalah orang kecil. Kampungan, kalau kata mereka. Sekolah terakhir hanya SMA, mau berbuat apa menentang sebuah keluarga Adiwangsa yang memiliki koneksi tinggi ke pejabat maupun orang kaya lainnya?
Maka, dia mengangguk. “Bagi saya, ini juga aib, Tuan.”
“Ayahmu sakit apa?” tanya Harlan lagi.
“Jantung, Tuan. Tidak kuat bepergian jauh. Bapak mudah lelah.”
“Sudah operasi?”
“Sudah. Waktu serangan pertama, Bapak tidak punya kartu jaminan kesehatan dari pemerintah. Terpaksa meminjam uang dari saudara dengan jaminan sertifikat rumah, supaya bisa operasi dengan segera.”
“Makanya, sekarang saya bekerja untuk mencicil hutang-hutang itu.”
Menghela napas panjang dan berat, Harlan memandangi calon menantunya dengan iba. “Kamu anak yang berbakti.”
“Sudah kewajiban saya merawat orang tua,” tanggap Lyra kembali menunduk dan matanya berkaca-kaca mengingat keluarga di desa. Mendadak, ia rindu.
“Andaikan Rex dan Maya bisa seperti kamu. Bertanggung jawab untuk membantu orang tua,” dengkus Harlan mengingat wajah kedua anaknya yang semakin dewasa justru semakin membuat onar.
Lyra terdiam, tidak mau menanggapi masalah itu. Bukan ranahnya untuk menilai seseorang, apalagi menilai majikannya sendiri.
“Berapa hutang keluarga kalian?”
“Sekitar 175 juta rupiah, Tuan.”
“Aku lunasi semua, dan akan kutambahkan lagi seratus juta rupiah untuk ayah dan ibumu.”
Lyra spontan mendongakkan kepala. Bibirnya melongo dan mata terbelalak. “A-apa?”
Harlan tersenyum, kemudian mengangguk. “Akan kuberikan uang sejumlah itu. Tapi, ada syaratnya.”
“Apa, Tuan, syaratnya?”
“Satu, jangan pernah buka mulut tentang kejadian ini. Kalau ada yang bertanya kenapa cepat sekali menikah, katakan saja sebenarnya kalian sudah berpacaran secara rahasia selama enam bulan. Sekarang, Rex ingin menjadikanmu istri sahnya. Mengerti?”
Lyra mengangguk walau nadinya berdenyut sekencang mobil balap. Menjadi istri Rex Adiwangsa terlihat sebagai sesuatu yang megah sekaligus mengerikan pada saat yang bersamaan.
“Dua, jangan pernah bercerai dengan Rex. Apa pun yang terjadi, seperti apa pun pernikahan kalian, jangan pernah mengajukan cerai darinya.”
“Kalau Tuan Rex yang menceraikan saya, bagaimana?”
“Dia tidak akan melakukannya,” geleng Harlan yakin. “Aku yang akan mengurus Rex. Pokoknya, kamu tidak boleh mengajukan cerai kepadanya. Sampai di sini, apa kamu paham?”
Mengangguk lirih, apalagi yang bisa diperbuat selain mengiyakan semua keinginan sang majikan. Dari semua orang yang ada di rumah ini, hanya Harlan yang membelanya.
“Kalau kamu melanggar, maka kamu harus membayar lima kali lipat dari uang yang telah kuberikan kepadamu. Ini adalah syarat yang ketiga. Apa kamu setuju?”
Menatap gamang kepada majikannya, tetapi Lyra mengangguk. “Baiklah, Tuan Harlan. Saya setuju.”
“Draft perjanjian resmi akan dibuat oleh pengacaraku. Kamu akan menandatanganinya besok. Sekarang, hubungi orang tuamu, katakan pada mereka kalau kamu dan Rex akan menikah.”
“Kapan kami akan menikah, Tuan?” engah Lyra makin berdebar.
“Satu minggu dari sekarang.”
***
Lyra meninggalkan ruang kerja Harlan. Berjalan dengan menunduk, menatap lantai. ‘Minggu depan sudah menikah? Aku harus berbohong pada Bapak dan Ibu di rumah,” keluhnya gundah. ‘Apa mereka akan percaya?’
Ketika kaki mengayun dengan gontai, mendadak seorang lelaki muncul dari arah belakang dan menarik lengannya hingga tubuhnya sontak berputar.
“T-Tuan Rex,” engahnya terkejut sekaligus takut.
“Kamu sudah dengar? Kita akan menikah bulan depan, perempuan b******k!” desis Rex menyeringai bengis. “Kamu puas sekarang, hah?”
Menggeleng, Lyra berucap dengan terbata, “Saya … s-saya hanya … saya hanya mengikuti pe-perintah Tuan Harlan.”
“Banyak omong, kamu! Dikira aku tidak tahu kalau kamu sengaja menjebakku? Kamu ingin jadi istriku, ‘kan? Kamu sengaja melakukan semua ini!”
“Saya bersumpah, Tuan Rex! Demi Tuhan! Saya tidak menjebak Anda!” sanggah sang gadis.
Namun, Rex tidak peduli. Ia mencengkeram lengan Lyra semakin keras hingga tedengar suara mengaduh dari sang gadis karena sakit.
“Camkan ini, Lyra! Kita boleh saja menikah! Tapi, akan kupastikan pernikahan ini menjadi neraka j*****m untukmu!”