Saskia dan Juan diantar ke lounge restoran, yang memang dikhususkan bagi tamu yang ingin makan jauh lebih tenang. Mereka dibawa ke lantai atas dengan pemandangan yang ternyata tak menyengat karena dinaungi kanopi dengan bahan kayu dan kaca gelap. Menjadi segar ada tanaman hijau dengan daun yang lebar-lebar.
Ada dua sofa panjang yang saling berhadapan, berwarna putih. Juan dan Saskia duduk saling bersisian di salah satu sofa yang menghadap ke tangga. Dengan begitu Saskia bisa langsung melihat kedatangan sahabatnya.
Keduanya memesan minum dulu sembari menunggu sahabat Saskia yang akan terlambat datang.
"Pak Hartono itu.... Baik?"
Juan yang baru mengaduk kopinya, menoleh, menatap Saskia dengan bertanya-tanya. Seingatnya tadi Saskia tidak memiliki keraguan akan ayahnya, tetapi siang ini, pertanyaan Saskia seperti ada keragu-raguan.
"Ya. Beliau baik."
"Sebaik apa?"
"Setau saya, dia penyayang keluarga."
"Oh, ya?"
Sahutan Saskia seperti sebuah tuntutan. Jawaban Juan belum memuaskan dirinya. Juan merasa hampir yakin jika ada yang memengaruhi penilaian Saskia atas ayahnya.
"Beliau pernah menggadaikan rumahnya untuk biaya sekolah putrinya. Dan saat istrinya meninggal, dia menjaga putranya bagai seorang ibu."
"Kamu tau sebegitu detailnya? Kamu kan orang asing."
Ada kecurigaan di pertanyaan Saskia. Diperkuat dengan ekspresi Saskia yang menatap Juan penuh selidik.
"Saya bukan seseorang yang memiliki karyawan begitu banyak sepertimu. Sepertiga dari keseluruhan karyawanmu saja, tidak ada. Justru karena segelintir itulah, saya bisa lebih dekat dengan siapa saja yang bekerja dengan saya.
Saya beberapa kali pernah datang ke kontrakan beliau dan mendengarkan kisahnya. Karenanya saya tau bagaimana beliau."
"Kontrakan? Rumahnya tergadaikan?"
Juan mengangguk. "Pak Hartono tak mampu menebusnya. Sebenarnya...."
"Sebenarnya apa?"
Julia memajukan tubuhnya sedikit. Gerakan impulsif bagi siapa saja yang penasaran. Suatu hal yang wajar. Namun tidak wajar bagi Juan. Ia merasa jaraknya dengan jarak Saskia terlalu dekat hingga ia bisa melihat dengan jelas bagaimana warna cokelat mata Saskia, menjadi sedikit keemasan. Bagaimana alis mata yang lebat itu, seperti semakin merapat saat kening Saskia sedikit mengkerut. Bagaimana hidung itu begitu bangir. Bagaimana bibir itu begitu mungil dan sepertinya enak untuk dinikmati.
Tatapan Juan berhenti di bibir Saskia yang sekilas mengingatkan Juan akan simbol hati. Tipis di bagian atas dengan cekungan di bagian tengah dan sedikit tebal di bawah. Juan bertanya-tanya seberapa hangat bibir Saskia yang membuat kepalanya justru tertarik mendekat. Bibir Saskia mengundang bagai magnet saat bagian bawah bibir terbuka sedikit.
Cara Juan menadangi Saskia, memengaruhi gadis itu. Ia tak bisa berkutik selain mengikuti arah tatapan mata Juan yang kemudian bermuara pada bagian bibirnya. Seketika itu juga bibir Saskia terasa sangat hangat. Seolah aliran darahnya mengumpul di bagian itu saja.
"Sebenarnya apa...."
Sekuat tenaga Saskia mengumpulkan suaranya agar keluar. Terdengar sedikit serah dan lirih tersendat. Ia harus bisa menghentikan sensasi menggetarkan yang bisa mematikan fungsi otaknya. Saskia juga memundurkan tubuhnya dan kembali menyeruput minumannya. Tak lagi memandangi Juan, agar debar jantungnya bisa tenang.
Juan sendiri menjadi sangat lega dengan cara Saskia menyadarkan dirinya. Ia pun menyeruput kopinya dan meletakkan cangkir ke meja sembari melepaskan napas panjang. Suatu kelegaan baginya terlepas dari jeratan pesona Saskia. Ini akan jadi berbahaya kalau dirinya sampai melibatkan perasaan.
"Sebenarnya, anak gadisnya kemudian meninggalkannya tanpa peduli jika orang tuanya telah banyak melakukan pengorbanan. Jadilah Pak Hartono menanggung semua sendiri. Dari yang tadinya ia berpikir bahwa dengan menyekolahkan anak gadisnya tinggi-tinggi maka sebuah masa depan lebih cerah akan tergapai."
Tubuh Juan membungkuk dengan tangan kiri di atas lutut sebagai penyangga tubuh, sedangkan tangan kanan kembali mengaduk kopinya. Tatapannya lurus ke dalam kepekatan kopi. Sepekat itu sakit hati dan dendamnya pada Julia.
Saskia merasakan aura yang berbeda dengan sikap Juan. Sesuatu yang dingin dan kesepian. Ada hal yang menarik Juan menjadi jauh. Dalam diri bertanya-tanya, apakah Juan memang tipikal pria yang lembut hatinya, hinga kehidupan seorang yang asing bisa memengarhui dirinya sedemikian dalam?
"Pasti berat bagi Pak Hartono. Sebagai ayah, beliau sudah melakukan banyak hal untuk putrinya, tetapi putrinya seketika mencampakkannya sedemikian rupa. Saya tidak mengerti kenapa masih ada seorang anak yang tega membuang orang tuanya, padahal kehidupannya, haknya sebagai anak, sudah dipenuhi dan tercukupi."
Juan menarik napas, mengisi dadanya dengan kesegaran udara. Senang juga ternyata dibalik sikap angkuh Saskia, ada kelembutan berpikir akan kehidupan sosial orang lain. Tapi ada yang membuatnya pensaran. Yaitu keraguan Saskia akan ayahnya, Hartono.
"Jadi..., kenapa tiba-tiba kamu menanyakan apakah Pak Hartono orang baik? Apakah ada sesuatu yang tiba-tiba mengganjalmu?" tanya Juan.
"Julia."
"Kenapa dia?"
"Julia menginginkan saya untuk memintamu membawa Pak Hartono lagi. Julia bilang kalau dia sudah menyiapkan sopir pribadi untuk Mama."
Juan terdiam. Ini sudah diduganya. Julia pasti akan mencari cara menyingkirkan ayahnya.
"Lalu, bagaimana tanggapanmu?" tanya Juan penasaran.
"Tentu saya menolak. Saya tidak mengerti kenapa dia aneh. Memang sih, dia sudah protes. Karena, kamu orang yang baru dikenal dan tiba-tiba harus menerima orang asing lain. Sebenarnya, saya mau saja mencoba memahami kekhawatirannya. Bukankah denganmu, saya bahkan baru beberapa hari kenal, bukan?"
Jantung Juan berdegup keras saat Saskia menatapnya. Makna degupan kali ini bukanlah sesuatu yang manis. Melainkan sesuatu yang mengkhawatirkan. Juan menduga jika protes Julia, disampaikan saat ia pergi menjauh dari ruang makan untuk menelepon ayahnya.
"Tapi, Julia tak memberikan solusi selain protes saja, dan itu membuat saya kesal," lanjut Saskia.
Mendengar pernyataan itu, Juan lega. Setidaknya Saskia tak memberikan sedikit saja dukungan untuk Julia.
"Kamu dengar, 'kan kalau Julia tidak memberikan jawaban jelas, ya dan tidak selain bahwa jika keputusan Pak Hartono menjadi sopir, diserahkan pada keputusan Mama."
"Ya."
"Tapi setelah kita menerima, kenapa juga dia protes. Harusnya kalau dia merasa enggan kan bisa minta waktu sekian hari."
"Bagaimana dengan Kak Anggara?" Juan semakin penasaran. Kekhawatirannya belumlah sirna. Julia masih punya pelindung lain.
Saskia mengedikkan bahu. "Dia mengancam akan meminta pertolongan Kak Anggara."
Deg!
Bisa rumit jika Anggara menuruti Julia. Wanita itu perlu disentil dan yang menyentil harus ayahnya sendiri. Juan berpamitan pada Saskia untuk ke toilet dulu, tetapi tujuannya bukan buang air kecil. Ia harus menelepon ayahnya.
"Pak. Sama Tante Soraya?" tanya Juan memburu setelah ia menunggu beberapa kali deringan sampai Hartono menerima teleponnya.
"Tidak. Bapak di garasi. Kenapa?"
"Telpon Julia, Pak. Ancam dia untuk tidak melakukan hal-hal yang bisa membuat Bapak tersingkirkan."
"Memangnya anak itu kenapa? Tadi dia seperti mayat hidup. Tidak berulah apa-apa."
"Ya, tapi dia berulah setelahnya. Dia akan meminta bantuan suaminya untuk memecat Bapak."
"Saya kan baru kerja."
"Dia tidak akan peduli tentang itu. Yang namanya Anggara mudah jatuh di bawah kaki Julia."
"Anak itu terlalu panik hingga bodoh. Bapak sudah masuk ke dalam sarang yang ia buat. Dipikirkanya mudah menyingkirkan saya. Beri saya nomernya."
"Saya akan mengirimkannya. Tapi, apa Bapak sudah mengira-ngira akan bicara apa untuk menekannya?"
"Ya."
Juan tersenyum. Ayahnya pasti bisa mengintimidasi Julia. Kemunculannya saja sudah membuat Julia kepanasan, apalagi jika ayahnya memberikannya tekanan emosi.
Juan memberikan nomer kontak Julia dan meninggalkan toilet, kembali ke loungeI. Di sana sudah ada sahbat Saskia.