Pecundang

1601 Kata
Onel harus bergerak cepat. Saskia satu-satunya harapannya. Ia harus bisa membuat gadis itu luluh padanya. Suatu hal yang terasa sangat berat karena Saskia tak pernah menunjukkan kesukaannya pada Onel. Selama ini Onel pun hanya mengandalkan persekutuannya dengan Julia, yang kenyataannya Julia pun bahkan tak disukai Saskia. Meski begitu Onel tak punya pilihan. Hanya Julia andalannya. Sebelum ke ruangan Saskia, Onel dengan snegaja menuju ruangan Julia untuk meminta pertimbangan. Tapi, ternyata Julia sudah ada di ruangan Saskia. Ruangan Saskia dan Julia saling berhadap-hadapan dengan lorong yang panjang, lebar, bagai jembatan. Saat melewati lift, terdengar bunyi denting yang khas. Terkejutlah Onel saat melihat siapa yang keluar dari dalam lift. Juan dengan senyum tipisnya, mengangguk kecil ke arah Onel dan berlalu menuju rungan Saskia. Sikap Juan seperti tidak mengenali Onel. Begitu tidak acuh dan dangat tidak peduli. Onel marah. Ia bergegas mendekati Juan yang hampir sampai di lobi ruangan Saskia. "Mau bertemu Saskia?" tanya Onel begitu ia sejajar langkah dengan Juan. Juan otomatis menghentikan langkahnya dan menoleh. Sebenarnya ia mengenali Onel. Wajah oriental yang khas dengan kedua mata tampa kelopak, adalah wajah yang mudah diingat. Terlebih sudah pernah ada insiden sebelumnya. Namun, tadi Juan memang sengaja bersikap tak terlalu peduli. "Ya. Kamu juga?" Begitu santainya Juan bertanya, membuat Onel meradang kesal. "Sepertinya ada yang harus kita luruskan di sini." "Perihal apa?" "Saya, kamu, dan Saskia." Juan mengedikkan bahu tak peduli. "Tunggu Saskia saja. Karena kamu menyebutkan namanya." Juan berbalik dan menuju lobi. Ia segera mengumumkan kedatangannya melalui skretaris Saskia. Tiba-tiba Onel menyerobot. "Bilang sama Saskia, saya tunangannya datang." Si sekretaris kelihatan bingung akan siapa yang harus ia dulukan. Juan adalah orang baru dan ia tidak yakin apakah Saskia mau menerima kedatangan Juan. Sedangkan Onel, memang adalah tunangan Saskia, tetapi Saskia sudah mengingatkan untuk tak sembarangan mengijinkan Onel asal masuk. Tetap harus menunggu izin Saskia. "Malah bengong. Ayo, cepet," bentak Onel kesal karena harusnya si sekretaris mendahulukan dirinya. Si sekretaris kemudian menghubungi Saskia melalui saluran telepon bersama. "Bu, ada Pak Onel, apakah beliau bisa masuk?" tanya sopan si sekretaris. Saskia tak memberikan jawaban langsung, tetapi si sekretaris mendengar pimpinan wanitanya itu sedang bicara dengan Julia. "Bagaimana?" desak Onel. "Tunggu sebentar, Pak." "Halah!" Onel tanpa bisa dicegah langsung masuk ke dalam ruangan Saskia. Dengan sengaja menutup pintu dengan harapan Juan mengerti kalau ia tak diinginkan. Pengusiran. Si sekretaris kelihatan resah. Tadi Julia sudah asal terobos. Sekarang Onel. Bisa dimarahin Saskia berulang-ulang dirinya nanti. "Sudah tenang. Nanti saya akan bilang Saskia situasinya," ucap Juan yang bisa membaca makna kegusaran si sekretaris. "Saya duduk di situ, ya." Juan memilih duduk di sofa yang memang diperuntukan bagi tamu yang menunggu giliran masuk. Ia ingin memberikan ruang bagi Saskia berhadapan dengan Onel. Di dalam, Saskia mengepalkan kedua tangannya. Amarahnya memuncak karena sikap kedua orang itu yang sudah seenaknya. Ada peraturan untuk masuk ke ruangannya dan kedua sudah sangat jelas melanggarnya. Ini artinya, baik Julia ataupun Onel, sudah meremehkannya. Onel sendiri terkejut melihat sudah ada Julia di sana. Wanita itu berdiri di depan meja kerja Saskia dengan wajah kusut juga tegang. Seketika Onel menyadari kalau ia salah waktu. Terlebih kemarahan terpancar jelas di wajah Saskia yang menatapnya tajam. "Maaf. Saya gak tau kalau ada Kak Julia." Onel selalu ingat jika sedang tidak berduaan, dirinya harus menghormati status Julia sebagai kakak iparnya Saskia. "Pantas kamu jadi pilihan Julia. Karena kalian sama!" bentak Saskia. Onel jadi tidak bisa bicara. Ia menelan liurnya dengan kesusahan. Posisinya terjepit. Apalagi Julia juga ikut-ikutan menatap dirinya dengan kesal. "Ada apa, Nel?" tanya Julia dingin. Onel sedikit lega. Akhirnya ada yang bertanya, hingga ia tak perlu putar-putar memikirkan kata-kata yang tepat sebagai pembuka. Onel mendekati meja Saskia dengan tidak nyaman. Bingung antara mau duduk atau berdiri. "Sas..., apa kita bisa makan siang bersama?" ajak Onel. "Tidak." "Ada yang perlu kita bicarakan." "Silahkan duduk dan kita bicara." Saskia menoleh ke arah Julia. "Mumpung indukmu ada di sini." "Saskia. Sopan sedikit," tegur Julia sengit. "Lagi pula, Onel ini adalah tunanganmu. Harusnya kamu bisa bersikap baik padanya." "Ah! Kalian pikun? Tunangan saya bukan Onel." "Kamu belum resmi berpisah dari Onel," tegas Julia. "Jadi bagaimana biar resmi? Pasang banner di koran dan media lainnya?" "Pertunangan kalian disaksikan oleh keluarga besar. Kalau kamu lagi ada masalah dengan Onel, selesaikan. Jangan buat keputusan sepihak. Ditambah lagi, kamu jangan lupa kalau perusahaan Pamungkas memiliki jalinan kerja sama yang kuat dengan perusahaan keluarga Onel. Jadi, bijaksanalah sediki Nona Manja." Ucapan Julia mendiamkan kata-kata Saskia yang hampir meluncur tajam. Kebenaran pada kata-kata Julia, berhasil membungkam Saskia. Pertunangan dirinya dan Onel disaksikan dua keluarga besar. Orang tua Onel bahkan memberikan hadiah mobil mewah untuk Saskia. Sebuah mobil yang sekali pun tak pernah Saskia gunakan. Masalahnya, ada pertalian bisnis memang antara perusahaan keluarganya dengan perusahaan keluarga Onel. Ini yang membuat langkah Saskia tersendat untuk menolak atau menjauhi Onel. Yang dikhawatirkan Saskia adalah jalinan bisnis yang apik, bisa jadi renggang dan berimbas buruk bagi perusahaan keluarganya. Anggara sebagai pucuk pimpinan sementara, adalah seorang yang tak bisa terlalu diandalkan. Kebijakannya masih dipengaruhi atau dibantu oleh para senior yang loyalitas terhadap ayahnya. Juga dari Julia. "Sas. Kita makan siang sama-sama, ya. Saya akan jelaskan semua agar kamu tidak salah paham." Onel mencoba lagi merayu Saskia. Ia merasa jika sentakan Julia pastilah mampu membuat gadis itu luluh. Udara di sekeliling Saskia terasa padat. Membuat dadanya tertekan dan kepalanya pusing. Ia harus pergi. Saskia melirik ke arah jam di mejanya dan memang ia sudah harus pergi. Siang ini ia ada janji makan siang dengan sang sahabat yang sudah lama tak bertemu. Saskia membereskan meja seadanya. Memasukkan ponsel ke dalam tas dan berdiri. Ia keluar dari kursinya dan tanpa bicara apa-apa, ia melangkah menuju pintu. Julia dan Onel saling tatap dan tersenyum senang. Sebuah kemungkinan baik bahwa Saskia mau makan siang dengan Onel. Dengan isyarat kepalanya, Julia menyuruh Onel menyusul Saskia. Sampai di luar ruangannya, Saskia berdiri tertegun menatap ke sisi lain, di mana Juan dengan tenang duduk di sofa tamu. Juan yang tadi sedang membaca sesuatu dari ponsel pintarnya, mengangkat kepala dan tersenyum. Ia pun segera menghampiri Saskia. "Hai. Mau makan siang?" tanya Juan manis. Suara Juan yang lembut tak mengintimidasi, membuat emosi Saskia menurun. Apalagi tampilan Juan, kembali memukau Saskia. Juan mengenakan kemeja putih dengan celana abu motif kotak yang samar. Begitu santai tetapi juga begitu fashionable. Saskia tak bisa mengelak fakta jika Juan sangatlah tampan. "Saskia akan makan siang bersama saya," celetuk Onel yang sudah muncul di belakang Saskia. Saskia mendengkus kesal. Sesaat ia lupa jika ada kecoak di belakangnya. Saskia langsung mendekati Juan dan langsung menggandeng lengan Juan tanpa perasaan risih. Bahkan Julia cukup terkejut bagaimana tubuhnya bereaksi senang saat bisa merangkul lengan Juan yang terasa padat. "Dengan segala kesopanan saya yang tersisa, saya minta maaf. Tunangan saya sudah menjemput dan kita akan makan siang bersama." Saskia menoleh dan mendongak menatap Juan. "Sayang, kita pergi makan sekarang?" Sempat-sempatnya d**a Juan bergetar saat kedua matanya beradu dengan mata Saskia. Dan getaran itu makin kuat saat Saskia merangkulnya lebih erat, tersenyum penuh arti, kemudian memberi sapaan untuknya, 'Sayang'. Juan tak menampik jika sapaan 'Sayang', bukanlah pertama kalinya ia dapatkan. Para wanita yang ia temani kesepiannya, selalu memanggilnya 'Sayang'. Kali ini berbeda. Juan tidak bisa mendefinisikan bagaimana perbedaannya, toh yang mengucapkan sama-sama wanita. Namun yang pasti, getaran halus dari sapaan 'Sayang' Saskia, membuat Juan senang. "Sudah lapar sekali rupanya, my Quokka." Juan menowel hidung mancung Saskia dengan gemas. Senyumnya menjadi senyum jahil saat melihat kilatan terkejut dari beningnya bola mata Saskia. "Kami pergi makan siang dulu." Juan mengangguk sopan pada Onel yang wajahnya bersemu merah karena amarah. Keduanya kemudian berlalu mengabaikan Onel. Tak ada yang peduli akan bagaimana reaksi Onel, bagi Juan dan Saskia, itu tidak menjadi urusan mereka. Onel memandangi keduanya dengan berang. Seharian ini, perasaannya menjadi sangat buruk dan terpuruk. Kakaknya sudah menghinanya, melecehkannya karena tidak bisa apa-apa selain mencuri remahan perusahaan, berlanjut pada betina yang menjadi pilihan tunangannya. Onel memandang punggung Juan yang tegap dan lebar. Sebagai lelaki ia pun memiliki perasaan minder. Juan memiliki postur tubuh yang besar dan juga tinggi. Kemeja yang dikenakan pas ke tubuhnya, sudah bisa menjelaskan bagaimana tubuh Juan terawat baik dengan olahraga yang teratur. Dari segi fisik, Onel cukup minder. Tubuhnya memang sedikit lebih tinggi dari Saskia, meskipun gadis itu sudah menggunakan hak. Tetapi, dibanding Juan, tinggi Onel adalah tinggi rata-rata saja. Tubuhnya juga tak sepadat Juan, padahal ia juga suka pergi ke gym. Onel sepertinya melupakan kalau dia ke gym bukanlah untuk olahraga. Melainkan menggoda wanita dan merayunya sampai ke tempat tidur. "Kenapa bisa ada dia?" Julia yang baru keluar dari ruangan Saskia, terkejut mendapati bayangan Saskia bersama Juan sebelum keduanya masuk ke dalam lift. "Saya rasa, saya harus membunuhnya." Julia tersentak. Kedua matanya langsung melirik ke arah meja resepsionis di mana sekretaris Julia duduk. Hatinya cukup lega karena tak melihat sosok si sekretaris. Sudah waktunya makan siang, mungkin si sekretaris sudah beli makan dulu. Padahal harusnya si sekretaris menunggu Saskia kembali dari makan siangnya atau si sekretsri makan di mejanya. "G0bl*k! Lihat situasi kalau bicara. Kalau didengar orang bagaimana. Ikut saya." Julia melangkah cepat menuju ruangannya, diikuti Onel. Perlahan dari bawah meja, kepala si sekretaris muncul dengan wajahnya yang pucat. Ia masih tetap pada posisinya setengah tersembunyi di balik meja resepsionis yang tingginya sedikit diatas lutut. Ia mendengar yang Onel ucapkan. Bukan disengaja. Penanya terjatuh dan menggelinding ke dalam meja karena tak sengaja kemudian tertendang kakinya. Si sekretaris pun keluar dari kursinya dan merunduk ke bawah meja. Karena kemudian ponselnya menyala dan ada pesan masuk dari kekasihnya, si sekretaris tetap jongkok sembari membalas pesan. Tak lama dari itulah ia mendengar ucapan Onel. Seketika si sekretaris menjadi gugup. Entah kepada siapa ucapan itu ditujukan, tetapi rasanya si sekretaris harus membicarakannya dengan Saskia. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN