Makan siang yang menyenangkan. Dua sahabat saling bercerita akan apa yang pernah terjadi di masa lalu, yang mana di saat itu, adalah hal yang menyebalkan, tetapi kemudian menjadi lucu di masa sekarang. Keduanya saling menimpali atas kesalahan-kesalahan unik yang pernah dibuat.
Tawa, ledekan yang tak berkesudahan, celetukan-celetukan kasar namun menggoda tawa, mewarnai makan siang Saskia, Juan, dan Jeny, si sahabat lama.
Cukup mengejutkan bagi Saskia karena Juan bisa mengimbangi percakapan dirinya dan Jeny. Dari cara Juan menanggapi dan masuk dalam percakapan, Saskia bisa menilai jika Juan bukanlah seorang abal-abal. Pengetahuan Juan luas, cara becanda Juan sangat cerdas.
Diam-diam Saskia mengagumi Juan. Ia mulai memerhatikan cara bicara Juan yang memiliki ritme yang stabil. Tak terlalu cepat hingga mengesankan antusiasme berlebihan. Juga tak terlalu lambat yang mengesankan kehati-hatian yang memalukan. Benar-benar seimbang.
Saskia juga kemudian menyadari bahwa Juan selalu menatap jelas ke arah lawan bicaranya, yang membuat Saskia sedikit cemburu. Ada ketidaksukaan Saskia saat Juan menatap Jeny bicara. Saskia inginnya Juan hanya begitu untuk dirinya saja.
Seketika Saskia malu dengan dirinya sendiri. Hubungannya dengan Juan tidak boleh lebih. Dan jangan lebih. Lelaki itu jelas adalah seorang pemain yang ulung. Dan Saskia tak mau terjebak yang kemudian membuat posisinya berubah. Saskia adalah pengendali bukan Juan.
Suara Juan yang berat dibarengi tawa lepas yang terdengar jantan, membuat d**a Saskia berdebar tak kearuan. Bayangan liar jika suara itu berada di dekat telinganya, semakin membuat wajah Saskia merona malu. Ia harus menghindari Juan untuk sesaat.
Saskia bangkit dari duduknya bagai seorang prajurit yang akan pergi perang. Juan dan Jeny mendongak dengan heran.
"Kenapa?" tanya Jeny.
"Ke toilet." Saskia bergegas menjauh meninggalkan Jeny dan Juan, berdua saja.
"Kenapa dia?" tanya Jeny ke Juan yang masih menatap kepergian Saskia.
"Gak tau." Juan menatap Jeny. "Apa dia memang seperti itu?"
"Seperti itu apa?" Jeny tertawa melihat ekspresi Juan yang sepertinya mengkhawatirkan sesuatu terkait Saskia.
"Tiba-tiba berubah. Tiba-tiba menjadi aneh."
"Tidak juga. Saskia seorang yang apa adanya. Tidak ada yang serba tiba-tiba pada dirinya, kecuali kamu."
Juan mengernyit tak mengerti. "Maksudnya?"
"Saya tidak pernah tau kamu. Saya tidak pernah mendengar namamu di setiap pembicaraan kami. Mmm...."
Jeny menggantung kalimatnya dengan jelas. Ia memajukan tubuhnya, sednag tangan kirinya kemudian menopang dagunya. Tatapan Jeny menyelidik ke arah Juan. Ada sesuatu pada Juan yang mengingatkan Jeny pada seseorang.
Sejak awal ia melihat Juan, Jeny merasa bahwa ia seperti pernah melihat Juan. Masalahnya, di sepanjang pembicaraan mereka, Jeny tak menemukan ingatannya akan Juan. Yang ada hanyalah sekedar perasaan yang 'seakan-akan'.
Juan sendiri tak berani menebak-nebak apa yang dipikiran Jeny. Ia justru sedang menimbang jawaban apa yang pas.
Sebenarnya di awal, Saskia sempat ditodong pertanyaan serupa, perihal siapa Juan dan bagaimana ceritanya bertunangan. Saskia menjawab baru sekitar enam bulan kenal, merasa cocok, maka bertunangan.
Saat itu Juan terkejut dalam hati. Ia pikir, karena Jeny adalah teman lama yang bahkan keluarganya adalah sahabat keluarga Saskia, maka semestinya tidak ada kebohongan. Namun, kenyataannya, Saskia menyembunyikan kebenaran bahwa dirinya dan Saski sedang bersandiwara. Alhasil Juan pun mengikuti alur yang dibuat Saskia.
"Saya seperti pernah melihatmu."
Juan yang masih memikirkan tanggapan yang pas atas kalimat Jeny sebelumnya, kini muncul pernyataan baru yang membuat Juan tidak nyaman. Ada seseorang yang merasa pernah melihatnya. Masalahnya, Jeny melihat Juan di mana dan sebagai apa?
"Oh, ya. Di mana?" tanya Juan was-was.
"Mmm..., entahlah. Sydney, mungkin." Sydney adalah tempat tinggal Jeny dan suaminya. "Kamu pernah ke Sydney?"
Juan tertohok. Dirinya memang pernah ke Sydney. Satu atau dua kali dan itu dia pergi dengan orang yang sama. Tante Sonya.
"Pernah, 'kan?" todong Jeny setengah menuntut agar Juan memberikannya jawaban.
Juan tidak bisa diam lama. Ia harus menanggapi Jeny atau Jeny akan terus menuntut jawaban.
"Bisa jadi. Memangnya kamu pernah liat saya di mana tepatnya?" Juan mengembalikan bolanya ke Jeny. Menghindar sebisanya sembari berharap Saskia cepat kembali.
"Mmm...." Wajah Jeny mengkerut. Ia berpikir keras untuk mengingat sosok Juan. Perasaan pernah melihat sungguh mengganggunya.
"Wajah saya ini kan bukan wajah eksklusif. Cukup pasaran. Mungkin, kamu melihat orang lain yang wajahnya mirip saya di Sydney. Di suatu tempat." Cepat-cepat Juan memanfaatkan momen itu untuk membelokkan pola ingatan Jeny.
Jeny tertawa dan itu cukup melegakan Juan. Sedikit.
"Hahaha.... Kamu ini bisa aja." Jeny meneguk menimumannya. Tetapi tatapannya tetap terarah ke wajah Juan. "Wajahmu itu unik. Sangat tampan dan khas."
"Terima kasih pujiannya."
"Wajahmu ini seperti wajah indo. Mengingatkan saya akan teman saya yang orang Yunani."
"Hahaha.... Setampan itu saya? Rasanya tidak. Apalagi saya murni orang Indonesia. Eh, enggak juga, sih. Nenek moyang saya dari pihak ibu adalah seorang portugis. Mungkin itu yang membuat wajah saya samar, terlihat seperti Indo."
Keduanya kemudian bercakap akrab perihal latar belakang atau keturunan dari masing-masing. Sesekali keduanya tertawa lebar saat membicarakan bagaimana ada budaya-budaya dari nenek moyang yang begitu sulit dijaga, tetapi dituntut untuk dijaga.
Saskia yang sudah mulai tenang dan kembali dilanda perasaan yang berantakan. Ia tidak suka melihat tawa sahabatnya bersama Juna. Ada keirian karena Juna tak pernah membuatnya tertawa. Sedangkan bersama Jeny, Juan terlihat nyaman dan kemudian Juan akan memberikan celetukan yang membuat Jeny tertawa.
"Sas! Jangan bodoh! Jeny itu sudah punya suami dan baby. Gak usah aneh-aneh pikiranmu. Dan lagi, memang siapa Juan? Cih! Dia bukan siapa-siapa!" gumam lirih Saskia sembari menarik napas dalam.
Saskia mencoba untuk bersikap biasa saat kembali ke lounge.
***