Ternyata kita bahkan pernah menyapa dengan kedua lengan kita.
***
Sinar keemasan menerobos masuk tanpa penghalang melalui jendela kaca yang lebar. Sengaja dibiarkan begitu karena cahanya justru menenangkan bagi dua insan yang saling berpelukan di atas tempat tidur. Keduanya duduk bersandar di kepala tempat tidur sembari menatap sinar keemasan menjelang sore.
Si pria membiarkan bagian dadanya yang bidang terbuka tanpa selimut, sedangkan si wanita, bersandar di d**a si pria dengan manja dan menutupi bagian dadanya yang polos dengan selimut. Di atas pangkuan si pria ada piring lonjong berisi beberapa macam buah yang sudah dipotong-potong. Terasa dingin menyegarkan karena sempat disimpan dalam lemari pendingin.
Keduanya memang butuh kesegaran setelah tanaga terkuras untuk hal yang menyenangkan dan diinginkan. Diinginkan pihak si wanita, sedangkan si pria hanya melakukan apa yang menjadi bagiannya sebagai pekerjaan terselubung. Si wanita butuh kepuasan dan kehangatan, sednagkan si pria butuh materi dan informasi. Karena si pria tak sembarangan memilih klien.
"Juan..., ikut, ya ke Bali," pinta manja si wanita yang usianya sangat terlihat jauh di atas usia Juan.
"Arisannya di sana?" tanya si pria bernama Juan. Tiga belas tahun berlalu dan Juan menjadi dewasa dengan ketampanannya yang memikat.
"Iya. Ikut, ya."
"Gimana ya, Tante Sonya..., aduh!" Juan memegangi dadanya yang baru saja dicubit Sonya.
"Tante?" tanya Sonya dengan mimik wajah cemberut. "Tidak bisakah kamu memanggil yang mesra? Saya juga pingin seperti yang lain."
"Yang lain siapa?" Juan terkekeh geli.
"Wanita-wanitamu yang lain. Kamu pasti panggil mereka 'Sayang'."
"Tidak. Mereka seusiamu. Jadi saya panggil mereka 'Tante'."
Tidak ada yang Juan istimewakan termasuk sapaan. Mereka ia perlakukan sama karena profesional dan karena tujuan. Ia tak melibatkan hati. Lagi pula para wanita itu usianya memang lebih tepat di sapa Tante karena selisih yang sepuluh tahun lebih bahkan ada yang selisihnya belasan tahun lebih.
Sonya menegakkan tubuhnya dengan cepat. Tindakannya membuat piring buah di pangkuan Juan oleng dan hampir jatuh. Untung Juan sigap memegangi. Sonya berbalik dan menatap Juan dengan ekspresi penuh harap.
"Kalau begitu, jadikan saya yang pertama. Panggil saya, Sayang." Permintaan yang lebih tepatnya adalah tuntutan.
Juan jengah dengan pertanyaan model begitu. Aturannya sudah jelas kalau tidak boleh ada hati yang dilibatkan apalagi panggilan romansa. Meski begitu, senyum manis tak lepas dari wajah Juan, ia harus selalu terlihat manis agar maksud dan tujuannya mulus.
Juan meminggirkan piring ke atas nakas di sisi tempat tidur, menyampirkan selimut yang tadi menutupi pinggang, dan turun dari tempat tidur. Kesempurnaan fisik laki-laki, terpampang di depan mata Sonya. Kepolosan tubuh Juan tanpa sehelai benang, mengingatkan Sonya pada patung-patung para Dewa di Yunani. Menggiurkan.
Juan mengambil piyamanya yang tergeletak di lantai. "Kamu kenal Julia?" tanya Juan sambil lalu.
Sonya mengernyit. "Kamu sudah pernah tanyakan dia tempo hari."
Juan bisa merasakan ketidaksukaan dari nada bicara Sonya. Ia harus menetralisirnya.
"Ya. Tapi waktu itu kamu bilang tidak tahu. Tidak kenal. Mungkin saja kamu kemudian mencari tahu tentang dia," ujar Juan yang kemudian menatap Sonya. Ia tak jadi mengikat piyamanya dan sengaja dibiarkan terbuka. "Kamu cemburu?"
"Ya, jelas cemburu. Dia jauh lebih muda dari saya."
Bingo! sorak Juan dalam hati. Akhirnya Sonya kelepasan kalimat yang menyatakan kalau sebenarnya ia kenal. Minggu lalu Juan sudah menanyakan kemungkinan Sonya kenal. Namun, saat itu Sonya menjawab tidak kenal dengan wajah masam dan langsung meninggalkan Juan masuk ke dalam kamar mandi.
Sikap Sonya saat itu, membuat Juan seketika paham kalau Sonya mengenal Julia. Kecemburuanlah yang membuat Sonya enggan berkata jujur. Dan Juan memilih sabar, yang penting ia sudah menemukan jalannya.
"Saya tidak tahu dia semuda apa," dusta manis Juan. "Tapi, karena kamu bilang dia lebih muda darimu, maka sudah dipastikan dia bukan tipe saya."
"Halah, Buaya! Mana ada lelaki yang tak suka sama yang masih muda, daging masih singset, wajah masih cantik, goyangan masih...."
Sonya tak bisa melanjutkan kalimatnya karena bibirnya sudah dilumat Juan. Tidak lama, namun cukup untuk meluluhkan kecemburuan Sonya. "Mereka mungkin saja sempurna dan bisa membeli saya. Tapi saya pasti menolak. Karena saya hanya menyukai wanita dewasa yang mengerti saya dan tak banyak menuntut sepertimu."
Sonya tersipu senang. Meski usianya sudah diatas empat puluh lima tahun, tetapi gejolak di dalam dirinya masihlah muda. Ungkapan manis Juan yang ia sadari adalah mulut buaya, tetap saja masih dinikmatinya dengan buta.
"Tapi, kenapa kamu cari tau dia?" tanya Sonya penasaran.
"Dia pakai teman saya. Dia memberikan banyak barang yang kemudian diketahui adalah hasil dari pinjaman online. Sekarang teman saya yang ditagih-tagih karena data dia yang dipakai."
"Ah, gak mungkin Julia begitu."
"Kenapa gak mungkin?" Juan duduk di tepi tempat tidur dengan kaki menyilang dan menatap lekat Sonya.
"Julia itu bukan wanita sembarang, lho. Jangankan berpikir hutang, dia punya simpanan brondong saja, saya gak percaya."
"Apakah dia kaya raya dan sealim itu?"
"Suami Julia itu Anggara Pamungkas, pemilik perusahaan rokok ternama itu. Dan, masih banyak perusahaan lainnya yang berkembang maju. Ditambah, keduanya itu serasi. Tampan dan cantik. Anggara bahkan memperlakukan Julia seperti seorang Ratu."
Sungguh bahagia sekali, kau Julia, batin Juan.
"Punya anak?" tanya Juan.
"Dua. Cowok, cewek."
Juan pura-pura diam dan berpikir. Sonya yang melihat keraguan di wajah Juan, beringsut menuju meja nakas dan mengambil ponsel pintarnya. Setelah membuka galeri simpanan foto, Sonya menyerahkan ponselnya ke Juan.
"Itu Julia."
Juan menatap foto yang ada di ponsel Sonya. Matanya nanar menatap foto itu. Julia terlihat cantik tanpa beban dengan senyumnya yang begitu lebar. Rambutnya model bob pendek. Julia sudah membuang mahkotanya yang biasanya ia jaga untuk tetap panjang.
Wajah yang benar-benar bahagia dan seharusnya Juan juga tenang karena ternyata Julia bahagia. Nyataya tidak. Juan semakin panas di dalam hatinya. Setelah tiga belas tahun, akhirnya Juan menemukan Julia dan menatap wajahnya meski itu berupa foto.
Data kecil sudah didapat dan itu lebih dari cukup. Juan mengembalikan ponsel Sonya. "Bukan dia."
Sonya tertawa kecil. "Nah, kan. Gak mungkin kalau Julia temen saya."
Juan merasa waktunya sudah cukup dengan Sonya. Ia harus menemui kedua sahabatnya.
Juan menowel hidung Sonya. "Bukannya kamu ada janji dengan putrimu dan kekasih putrimu?" Juan memeriksa jam tangannya dan kemudian mengarahkan pergelangan tangannya di depan Sonya. "Kamu bisa terlambat."
Sonya yang melihat waktu dari jam tangan Juan, tersentak. Cepat-cepat ia turun dari tempat tidur dan memakai piyamanya yang tergeletak di lantai sembari berjalan masuk ke kamar mandi.
Saat terdengar bunyi pancuran menyala, Juan mengambil ponselnya dan menelepon. "Sebentar lagi saya pulang."
***
Langkah Saskia lebar-lebar saat memasuki hotel mewah bergaya eropa klasik itu. Wajahnya tegang menyiratkan amarah yang dipendam dan bersiap meletup. Namun, ada juga senyum tipis tersungging miring di wajah cantiknya.
Rambut panjangnya yang ber-layer berkibar bak lidah-lidah api yang lembut. Ini karena rambutnya diwarnai dengan warna merah bercampur merah hingga menciptakan warna rose gold yang cocok dengan kulitnya yang putih bersih.
Saskia menunggu beberapa saat di depan pintu lift hotel yang berwarna keemasan. Ia tak perlu ke resepsionis untuk meminta akses masuk lift karena Saskia adalah pemilik dari hotel itu dan dia memiliki cardlock khusus untuk dirinya sendiri.
Pintu lift terbuka dan serombongan orang dengan logat Madura, keluar bersamaan sembara tertawa cerita. Mereka bertubuh cukup gempal, berisi dan kuat. Karena ada yang sedang bicara, sebagian mereka memerhatikan hingga langkah keluar mereka pendek-pendek, membuat Saskia gemas.
Ia mencoba menerobos lewat samping dan tak sengaja menyenggol lengan seorang wanita berumur yang menggunakan perhiasan emas begitu lengkap dan besar-besar. Wanita tersebut menoleh sengit. Dengan kekuatan lengannya yang gempal, ia menyenggol tubuh kerempeng Saskia, hingga gadis itu masuk lift dengan tubuh sedikit oleng.
Beruntung Juan yang memilih terakhir keluar, memegangi tubuh Saskia agar tak jatuh. Juan membantu Saskia agar berdiri tegak.
"Lepaskan! b******k!" pekik kesal Saskia.
Juan terkejut mendapat bentakan dari Saskia. Ia pun melepaskan pegangannya. Lagi pula Juan tak suka mengambil kesempatan, toh gadis di hadapannya juga sudah berdiri tegak.
Wanita gempal yang tadi menyenggol Saski, rupanya mendengar bentakan Saskia. Ia menoleh, menatap Saskia dengan galak. Sontak gadis itu terkejut dan mundur selangkah. Tubuhnya merapat pada Juan tanpa Saskia sadari.
Karena si wanita gempal mengingatkan Saskia pada raksasa, Saskia cepat-cepat menekan tombol lantai yang dituju, lalu tubuhnya mundur lagi, merapat ke tubuh Juan. Tubuhnya bergidik gentar, sedangkan salah satu tangnnya mencengkeram kemeja Juan sebagai penguat. Tatapan Saskia masih beradu dengan si wanita gempal sampai pintu lift benar-benar tertutup.
Langsung Saskia bernapas lega sembari mengelus d**a. "Bisa ada perempuan sekekar itu."
"Kamunya aja kerempeng."
Saskia terkejut. Ia mendapati suara seorang pria yang begitu dekat. Cepat ia mendongak dan melotot betapa dekatnya dia dengan si pria. Wajahnya memerah saat matanya bergulir pada tangan kanannya yang dengan manisnya mencengkeram kemeja pria di hadapannya.
Cepat-cepat Saskia menarik tangannya dan mengusap telapak tangannya itu seolah ia baru saja memegang kotoran. Tatapannya sengit pada Juan yang menatapnya dingin.
"Sendirian ke hotel, untuk menemui pria?" Juan bertanya dengan senyum miring kesinisan. "Ada juga yang mau sama perempuan kerempeng begini?"
Tebakan yang tepat akan tujuannya. Namun tatapan Juan seolah menuduh Saskia ke hotel untuk melampiaskan nafsu seorang pria dan Saskia kesal bertambah-tambah karena tubuhnya dikata-katain.
"He! Apa maksud kamu, hah?! Kamu pikir saya ke sini untuk jual diri?!"
Kedua tangan Juan yang tadi di dalam saku celana, kini bersedekap di d**a. Kepalanya sedikit miring dengan salah satu alis terangkat naik. Sikap Juan membuat Saskia salah tingkah. Baru ini ia merasa diintimidasi dan Saskia harus mengakui kalau ketampanan Juan sangat maskulin.
"b******k!" Saskia menendang tulang kaki Juan.
Sontak Juan membungkuk dan meringis kesakitan.
"Kamu buta apa, ya? Kamu pikir apa yang melekat di tubuh saya ini barang murahan sampai saya harus terlihat wah dan menjual diri? Kayaknya saya harus kasih tau kamu siapa saya. Saya adalah pemegang saham tertinggi atas hotel ini. Saya..., Saskia Ilham Pamungkas."
Seketika rasa sakit di tungkak kaki Juan lenyap berganti dengan rasa terkejut yang mendenyut di hati. Ia menatap Saskia dengan melotot lebar. Tak menduga takdirnya begitu dekat dalam waktu satu hari.
***