Masanya sudah selesai. Ibuku sudah tak kuat lagi menanti dan ia pergi. Selamanya.
***
Awan abu-abu menggumpal diam, tenang menunggu sebelum benar-benar jatuh. Seolah hanya menunggu komando untuk turun menjadi tetesan hujan. Tak ada matahari. Hanya bias cahanya saja yang membuat bumi tak benar-benar menjadi gulita.
Semua orang sudah pergi, meninggalkan gundukan basah dengan papan kayu tertulis nama ibu Juan. Tak ada air mata mengalir di pipi Juan. Sejak tahu ibunya tiada, Juan tak menangis.
Wajah Juan babak belur. Saat subuh, ayahnya pulang dalam keadaan mabuk, menemukan banyak orang di rumah, dan kemudian menemukan istrinya sudah dikafani, ayah Juan langsung kalap.
Matanya nyalang mencari-cari. Ia menemukan Juan duduk diam di pojokkan. Secepat angin, sang ayah berdiri di depan Juan. Tubuhnya yang besar, dengan mudah menraik kerah Juan. Bocah lima belas tahun dengan tubuh kerempeng itu, terangkat berdiri. Kakinya menjinjit, mengimbangi tinggi cengkeraman ayahnya.
"Kenapa kamu tidak bisa menjaga istriku, hah?! Ke mana aja kamu?!" Satu tinju melayang ke pipi Juan.
Sontak para pria mencoba melepaskan cengkeraman tangan ayah Juan. Menahan pria mabuk itu meninju kedua kali pada putranya. Cengkeraman di kerah baju memang lepas. Juan bisa bernapas. Tapi, ayahnya lebih kuat dari dua orang yang menahan dirinya. Ia kembali mendekati Juan dan meninju bocah lima belas tahun itu berulang kali sembari mengeluarkan makian.
"Harusnya kamu ini tidak lahir! Gara-gara kamu, kakakmu lari! Julia pasti tidak betah berbagi denganmu, anak setan! Gara-gara kamu, istriku mati!" Ayah Juan menendang perut Juan yang meringkuk.
Setelahnya, lebih banyak pria yang menahan ayah Juan hingga pria mabuk itu bisa diseret keluar agar menenangkan diri dan menjauhkan dari Juan.
Selama penyiksaan itu, Juan tetap tidak menangis. Ia merasakan sakitnya. Semua menjadi tak berasa apa-apa karena kemarahannya menguasai dirinya sendiri. Dendamnya sudah menjadi ikrar sampai mati.
"Juan, ayo pulang," ajak Nina sembari mendongak menatap kelamnya langit siang hari.
"Juan.... Bapakmu...." Robi menatap ke arah gapura masuk ke makam.
Ayah Juan melangkah cepat masuk ke areal makam. Berbeda dengan sebelumnya, ayah Juan justru terlihat lebih bersih dengan semua jambang dan kumis dicukur bersih dan rambut panjang sebahu diikat rapi. Peci hitam dikenakan di atas kepala.
Tapi, mata merah sang ayah masih ada. Tapi ini tetap tidak sama. Mata merah ayah Juan adalah mata kesedihan. Berkaca-kaca.
Sempat ayah Juan menatap Juan yang berdiri dengan kedua jemari tangan saling menumpu dan kepala menunduk menatap nisan sang ibu. Benar-benar sikap khidmat. Arah mata ayah Juan menelusuri sosok sang anak dari atas sampai bawah. Ia menggigit bibir bawahnya dan menunduk lebih dalam. Ia kemudian berjongkok.
Robi langsung menarik Nina untuk menjauh. Memberi ruang bagi ayah dan anak melarutkan kedukaan bersama. Meskipun sempat ada insiden saat subuh, tapi tetap saja kedukaan ini milik mereka berdua.
Saat ayah Juan membelai nisan kayu sederhana, isak tangis tak bisa dibendung. Namun, cepat-cepat ayah Juan menghapusnya. Harga dirinya sebagai lelaki dan ayah, memaksanya untuk tegar.
"Sakit?" tanya ayah Juan dengan tatapan belum beralih pada nisan kayu istrinya.
Dada Juan bergetar mendapatkan pertanyaan lembut dari ayahnya. Matanya berkedut. Kepedulian ayahnya membuat Juan sakit dan bertanya-tanya. Setan apa yang menyusupi ayahnya hingga menjadi lembut begini.
"Maafkan, Ayah."
Mata Juan yang tadi terpaku pada nisan sang ibu, perlahan bergeser melirik ayahnya. Memerhatikan wajah ayahnya yang kaku.
"Ibumu sudah memberikan hakmu, bukan?"
Kedutan di mata Juan semakin kuat. Ia tak menduga ayahnya tahu. Sudah lima bulan berlalu sejak ibunya memberikannya amplop cokelat berisi uang senilai sepuluh juta. Sebagiannya sudah ia pakai untuk membayar uang pangkal sekolah SMA-nya.
Selama itu, ayahnya tak pernah bertanya. Sempat dikiranya, kalau sang ibu memberikan uang itu dibelakang sang ayah. Tapi, seketika apa yang dipikirkannya buyar. Ayahnya tahu.
Menjadi pertanyaan baru dalam hati Juan, apakah ayahnya juga tahu jika ibunya menitipkan sebagian kecil sisa penjualan rumah untuk dikelola Juan? Ibunya secara tersirat menitipkan ayahnya untuk dijaga dengan uang yang ada.
"Maaf. Hanya itu yang bisa diberikan."
Ayah Juan berdiri. Juan dan ayahnya kini saling menatap. Mengukur perasaan masing-masing terhadap lainnya.
"Juan. Saya tidak tahu bagaimana saya nantinya terhadapmu. Luka dikhianati anak sendiri, mungkin akan berimbas padamu." Ayah Juan menatap nanar luka lebam di wajah sang anak. Hatinya ngilu.
"Dari sekarang, saya minta maaf padamu. Dan maaf untuk hari-hari selanjutnya. Saya sudah jadi pecundang. Urusanmu terserah dengan saya. Silahkan menjauh dari saya. Saya sudah tidak peduli apa-apa lagi. Saya cuma peduli satu. Kehancuran Julia."
Juan terkesiap. Ayahnya sudah menentukan sikapnya terhadap dirinya dan Julia. Bedanya, untuk dirinya, sang ayah memberikannya pilihan.
Entah alam memang sudah tidak kuat menampung beban debit air yang mengendap di awan. Atau mungkin, pernyataan sikap dan ayah adalah aba-aba pada langit kelam. Yang jelas, hujan deras pun membasahi bumi juga makan sang ibu. Mengkamuflase air mata yang turun di mata Juan dan ayah Juan.
"Cepat pulang." Ayah Juan berbalik. Ia bersyukur hujan melindungi air matanya. "Saya tidak suka rumah saya basah." Dan ayah Juan melangkah cepat.
Robi dan Nina berlarian kembali mendekati Juan yang ternyata menangis dengan suara lirih. Nina buru-buru memeluk Juan dan Robi menepuk lembut punggung Juan.
Setelah agak reda, Juan melepaskan diri dari Nina. Ia memandangi sekali lagi makam ibunya.
"Ibu.... Saya akan bawa pulang Julia dengan tangan saya sendiri. Dia akan kembali di mana asalnya."
***