"Saski. Sibuk?"
Saskia yang baru saja mematikan laptopnya, memutar tubuhnya menghadap pintu kamar yang terbuka sedikit. Atha berdiri di ambang pintu dan tanpa menunggu persetujuan Saskia, ia masuk ke dalam kamar Saskia dan menutup pintunya.
Saskia melirik jam di dinding, sudah pukul sepuluh malam. Ia sudah lelah dan besok masih harus ngantor lagi.
Saskia tidak bisa seenaknya masuk kerja karena dia tidak bekerja di salah satu perusahaan keluarga. Atha yang meminta Saskia bekerja di tempat lain yang tak terkait dengan keluarga. Atha ingin Saskia menggali pengalaman dari luar sebelum masuk memimpin perusahaan.
Saskia tak keberatan. Ia juga tak berprasangka jelek akan permintaan kakak tiri tertuanya itu. Ini karena Saskia sangat percaya pada Atha. Meskipun dirinya dan Atha berbeda ibu, sepanjang hidupnya, Saskia tak pernah mendapat perlakuan buruk layaknya cerita-cerita perseteruan antara anak dari istri pertama dengan anak dari istri kedua.
Baik Atha ataupun Anggara sama-sama bersikap wajar dan baik pada Saskia juga ibu Saskia.
"Besok kerja?" tanya Atha yang duduk di sofa, di ujung kaki tempat tidur Saskia.
Saskia sendiri menggulirkan tubuhnya yang merebah agar dekat dengan Atha.
"Iyalah. Namanya juga karyawan. Bisa dipecat saya kalau sembarangan masuknya."
Atha terkekeh geli. "Kasihan. Berat pastinya kerja tempat orang."
Saskia mencebik, memberikan ekspresi lesu yang samin membuat Atha tergelak.
"Mulai bulan depan, kamu masuk perusahaan, ya. Kamu selesaikan dulu tanggung jawabmu, tapi besok ajukan surat pengunturan diri."
Saskia tercengan. Ia yang tadinya rebahan sembari meregangkan badan, terlonjak dan langsung bangun duduk.
"Ha? Serius, Kak? Saya boleh masuk perusahaan?" tanya Saskia antusias.
"Boleh. Saya sudah menyiapkan posisi untukmu. Papa sudah menyetujuinya dan menandatanganinya tadi."
"Serius, Kak?" Kebahagiaan tak bisa disembunyikan. Saskia terlonjak girang.
"Tapi kamu harus janji."
"Apa?"
"Kamu harus sama berdedikasi ya seperti kamu bekerja di perusahaan lain. Malah harus lebih loyalitasmu untuk perusahaan kita."
"Itu mah gak usah pakai janji. Saya pasti akan setia dan memberikan yang terbaik untuk perusahaan."
"Saya percaya kalau itu kamu."
Atha berdiri, memutari sofa dan duduk di tempat tidur di dekat Saskia.
"Saski, saya minta kamu jaga perusahaan, ya. Jaga keluarga kita ini. Terutama jaga Anggara."
Saskia terdiam. Ada sesuatu yang aneh menyelimuti dirinya. Udara sekitar bahkan terasa jauh lebih dingin dari sebelumnya, padahal dirinya belum menyalakan pendingin ruangan. Tatapan Atha juga lebih sendu dan seperti sedang menanggung masalah.
"Ada masalah, Kak, di perusahaan?"
Atha tersenyum saja. "Pokoknya itu. Saya titip kamu, perusahaan keluarga ini. Terutama Anggara. Kamu kan tau bagaimana dia. Sampai Papa uring-uringan dan ngamuk melulu.
Anggara baik anaknya. Terlalu baik. Tapi juga terlalu bodoh hingga melakukan begitu bayak kesalahan. Dia mudah dipengaruhi dan dimanfaatkan. Akan ada yang tidak tulus dan tidak beres yang berdiri di dekatnya."
Saskia menghela napas. "Kak Anggara gak mau belajar berubah. Gak capek apa ya ribut terus sama Papa."
"Ya makanya, kamu jagain juga Anggara."
"Kayak Kak Aggara mau aja diajagin saya."
Atha tersenyum kemudian berdiri, mengusap lembut puncak kepala Saskia, dan membelai sekilas pipi gadis itu. "Pasti kamu bisa. Akan ada seseorang yang akan menguasai dirinya saat dia jatuh hati pada orang yang salah."
"Ha? Memangnya Kak Anggara sudah ada cewek lagi? Dia kan playboy parah. Ampe ada siapa itu yang marah-marah di rumah ini minta tanggung jawab segala. Jadi, keliatan kalau Kak Anggara bukan orang yang bisa dipengaruhi. Dia itu semaunya sendiri."
Atha terkekeh. "Yah...."
Wajah Atha terlihat seperti sedang memikirkan sesuatu. Jemarinya mengusap selimut Saskia yang masih terlipat.
"Ada apa, Kak?" Saskia peka bahwa kakaknya yang tegas itu sedang ada masalah.
"Tidak ada apa-apa. Ingat-ingat aja pesan tadi. Saya pergi dulu, ya."
"Ke mana? Udah malam begini." Gurat kekhawatiran tak bisa disembunyikan Saskia dari wajahnya yang mungil.
Ada bagian dari dirinya di dalam hati yang merasa khawatir teramat sangat akan Atha. Masalahnya Saskia tidak tahu apa itu yang membuatnya takut. Padahal perihal pergi lebih malam untuk Atha tentu bukanlah yag pertama. Hanya saja perasaannya tidak enak saja.
"Sas...." Atha sudah membuka pintu kamar Saskia.
"Ya?"
"Saya sama Julia sudah tidak ada hubunga apa-apa lagi. Saya tidak mau wanita itu masuk ke dalam rumah ini."
***
Saskia gelisah di dalam lift. Ia mengetuk lantai lift yang dikhususkan untuk ekselon atas, dengan hentakan keras. Mungkin dengan begitu, lift bisa melaju lebih cepat. Dadanya ingin meledakkan semua emosi.
Hati Saskia memggelegak amarah besar. Matanya berair dan sempat semanik air mata luruh. Tetapi Saskia dengan cepat menghapusnya. Ia bukan hanya sedang marah, tetapi juga kecewa berat. Jika benar Anggara mengetahui pelelangan hotel ibunya, artinya Anggara sudah dipengaruhi Julia dan menjadi sama jahatnya.
Kenangan percakapan terakhirnya dengan Atha, membuat Saskia sadar, bahwa kemungkinan hal-hal beginilah yang bisa saja terjadi jika Anggara tidak dijaga. Dipengaruhi dan dibodohi. Sebuah kehancuran.
Saskia merasa tidak perlu memberitakan kehadirannya melalui sekretaris pribadi Anggara. Ia justru langsung saja menyerobot masuk.
Bertepatan dengan itu, Anggara baru keluar dari kursinya. Ia tersenyum lebar melihat Saskia masuk. Anggara yang tidak pernah peka akan ekspresi atau bahasa tubuh seseorang, melangkah lebar mendekati Saskia.
"Saski, makan siang sama-sama, ya."
Anggara akan merangkul pundak Saskia, tetapi gadis itu menghindar dengan sengit. Tatapannya garang dengan mata merah yang berair. Seketika itu juga Anggara tahu kalau ada masalah.
"Ada apa? Kamu kenapa?"
Air mata tak kuasa dibendung Saskia. Tak ada isakan, hanya air mata yang langsung luruh. Kelembutan Anggara adalah kelemahan Saskia. Pertahanan gadis itu runtuh. Tak kuasa baginya mencerca Anggara.
"Ke...kenapa?" tanya Saskia terbata-bata dibarengi tangisan yang mulai sesenggukan.
Anggara refleks memeluk Saskia. "Kenapa Sas? Kamu ada masalah apa?"
Semakin Anggara memberikan perhatiannya, semakin tak sanggup Saskia mengkonfrontasi kebenaran akan lelangan hotel ibunya.
"Dia mudah dipengaruhi dan dimanfaatkan. Akan ada yang tidak tulus dan tidak beres yang berdiri di dekatnya."
Kata-kata almarhum Atha terngiang dalam benak Saskia. Membuat Saskia tidak tega terhadap Anggara.
Julia. Julialah yang membuat kakaknya berubah. Saskia sangat paham, berpindahnya Julia dari Atha ke Anggara, karena Anggara adalah seorang yang mampu dipengaruhi Julia. Anggara pastilah sangat menyukai Julia sampai bisa bertekuk lutut dan tidak menggunakan perasaannya.
"Ada apa Saskia? Bilang sama saya. Jangan nangis begini."
"Sa...sa...saya mau menikah."
Anggara terkejut bukan kepalang. Ia langsung melepaskan pelukan Saskia hanya agar bisa menatap wajah adiknya.
"Omong apa kamu? Coba ulangi."
"Saya mau menikah, Kak."
"Kamu ke sini dan menangis karena mau menikah?"
Saskia mengangguk lemah. Ia sudah membuat keputusannya. Ini akan jadi pertempurannya dengan Julia. Ia akan menjaga kakaknya seperti yang di amanatkan almarhum Atha.
"Saya mau menikah dengan Juan. Secepatnya. Besok Jumat."
"Apa! Ha! Aduh.... Duduk. Duduk dulu." Anggara memegang bahu Saskia, tetapi lagi-lagi Saskia menolak.
"Saya gak bisa lama-lama, Kak. Saya mau kasih tau Mama."
"Tunggu dulu. Ini saya kan pusing. Kita bicara dululah. Kamu akan menikah dengan siapa dan kenapa harus lusa?" Anggara berdiri agak menjauh dari Saskia. Keningnya berkerut dengan alis yang hampir menyatu. Menatap tubuh Saskia sampai ke perutnya.
"Saya tidak hamil, Kak. Saya bahkan masih perawan."
Ada kelegaan di wajah Anggara. Tetapi tak lama. Keinginan Saskia untuk menikah cepat, benar-benar membuatnya bingung.
"Onel mendesak pernikahan ini?"
"Tidak ada yang mendesak. Ini kemauan saya dan Juan."
Kembali Anggara tersentak akan pernyataan yang disampaikan adiknya. Lelaki yang akan menikah dengan Saskia, justru bukan Onel.
"Juan mendesakmu? Dia mengancammu? Kurang ajar. Tidak akan ada seorang pun yang akan melukaimu, Sas. Beri tahu saya apa masalahnya. Kita hadapi dia."
"Tidak. Please, Percayalah kalau saya dan Juan memang saling mencintai dan akan menikah. Kami sepakat menikah secara hukum saja dulu. Resepsi bisa menyusul bulan depan."
"Ya, Tuhan, Sas. Kamu kenapa gak sabaran begini? Kamu tidak hamil, tetapi kamu..."
"Pokoknya saya harus menikah dengan Juan, Jumat besok. Saya ijin pulang cepat dulu, Kak. Saya mau bilang Mama."
"Sas." Anggara menahan Saskia pergi dengan memegangi lengan gadis itu. "Tunggu dulu. Kamu ini gak ada angin gak ada ujan, tiba-tiba menuntut menikah. Kakak bahkan belum kenal dengan Juan. Apakah dia benar-benar baik untukmu? Apakah dia pantas untukmu? Ini terlalu cepat, Sas."
Saskia menghentakkan lengannya. Kekesalannya kembali muncul di permukaan. Ia geram dengan cara Anggara bicara yang seolah-olah dia bisa diandalkan. Saskia teringat lagi bagaimana Julia dengan percaya dirinya mengatakan bahwa pelelangan hotel ibunya atas persetujuan Anggara.
"Saya juga belum terlalu kenal dengan Julia. Apakah dia orang baik? Ataukah dia jelmaan ular?"
"Sas!" bentak Anggara tidak suka.
"Tapi, kita semua menyetujui saja pernikahan kalian yang begitu cepat. Bahkan kematian Kak Atha belum genap empat puluh hari dan Papa tiba-tiba sakit."
Anggara termangu. Saskia membalikkan keadaan dengan mengingatkan Anggara akan masa lalu. Tak ada kata yang keluar. Anggara tidak bisa berkutik.
Saskia buru-buru keluar dari ruangan Anggara.
Betapa terkejutnya gadis itu saat melihat Juan sudah berdiri di meja lobi sekretaris Anggara. Saskia butuh kenyamanan meski sesaat. Ia berhambur mendekati Juan dan memeluk lelaki yang mulai dicintainya itu.
"Bawa saya pulang, Juan."
***