Di ruang kerjanya, Julia, Onel, dan sekretaris Julia, membahas akan bagaimana acara ulang tahun Soraya, esok hari. Ini adalah acara yang serba mendadak dan ini adalah celetukan yang Julia kemudian sesali. Dirinya terdesak dan terintimidasi sejak kemunculan Juan. Rencananya tiba-tiba berantakan semua. Dan seperti dipaksa memperbaharui rencana.
Melihat betapa kuatnya kepercayaan Saskia atas Juan, juga membayangkan ia akan serumah dengan Juan andai Juan dan Saskia menikah, membuat Julia kalang kabut. Yang ia pikirkan adalah memberikan serangan telak yang akan membuat Saskia tak bisa berkutik.
Memberikan ulang tahun istimewa untuk Soraya adalah kamuflase. Rencananya adalah pengukuhan ulang atas pertunangan Onel dan Saskia. Onel akan malamar lagi Saskia dengan memberikan hadiah lebih besar dan juga tanggal pernikahan.
Onel tentunya harus datang dengan kedua orang tuanya dan kedua kakak-kakaknya, sama seperti saat acara pertunangan dua tahun lalu. Kelengkapan dan kemegahan keluarga Onel, pastinya akan memengaruhi Juan. Adiknya itu akan tersentil dan menjadi malu.
Setidaknya begitulah yang Julia harapkan.
Masalahnya adalah Onel menolak. Ia berpikir bahwa untuk acara ulang tahun besok, cukup dirinya saja yang bergerak, tak perlu melibatkan keluarganya. Onel tak menjelaskan dengan jujur bahwa di hati kecilnya ada rasa mindernya untuk Juan.
Saskia begitu keras kali ini. Perselingkuhannya yang sudah diketahui Saskia, sudah tak bisa dikelabui lagi. Tentunya Saskia akan jauh lebih berat ke Juan. Saskia juga akan sangat berani menentang Julia sekaligus menjatuhkan Onel dengan mengedepankan perselingkuhannya. Jika itu terjadi di hari istimewa calon ibu mertuanya dan disaksikan keluarganya, maka ia akan kembali diremehkan.
"Nel..., yang bener aja, dong. Masak iya kamu omongin tanggal pernikahan tanpa keluarga?" sentak Julia yang mulai kesal.
Julia duduk di kursinya, sedangkan Onel dan sekretaris pribadi Julia duduk di kursi tamu, di hdapan Julia. Kursi yang cukup futuristik, dengan bantalan yang empuk dan kemiringan yang pas.
"Ini acara kan hanya untuk memanas-manasin Juan, 'kan? Buat apa saya bawa keluarga?"
"Ini bukan hanya manas-manasin aja, Nel. Ini pengkuhan! Kamu b0d0h atau gimana? Kamu gak akan bisa berhadap-hadapan dengan Juan satu lawan satu."
Onel meradang. Tadi pagi sudah Andrew menertawakannya karena kebusukannya diketahui. Siang tadi, Juan dan Saskia bersamaan sudah meremehkannya. Kini Julia pun ikut-ikutan dengan mengata-ngatai dirinya b0d0h di hadapan orang lain. Meskipun orang itu adalah orang kepercayaan Julia sendiri, yang pastinya tidak akan banyak bicara di luaran.
Onel dan Julia saling pandang dengan amarah. Julia sendiri tidak gentar karena ia memahami situasinya, bahwa dirinyalah si pengendali. Onel membutuhkan dirinya dan juga Saskia untuk menjadikan dirinya sebagai sesuatu di dalam keluarganya. Onel tidak bisa berkutik selain menerima.
"Bagaimana jika Saskia justru menolak dan dia justru memilih Juan? Apa pertanggungjawabanmu untuk saya dan keluarga saya?"
"Itu urusan saya," jawab Julia dingin.
Julia sudah mempersiapkan hal tersebut. Kemungkinan itu pun sudah ia pikirkan dan renungkan. Ia sudah tau bagaimana caranya menaklukan Saskia untuk urusan yang satu ini.
"Yang penting kamu nurut kayak bayi," lanjut Julia.
Onel melirik si sekretaris yang masih menunduk menatap agendanya, yang kemudian tiba-tiba menutup bibirnya dengan beberapa ruas jemarinya yang memegang pena. Ia pun mengusap cuping hidungnya seolah tindakannya adalah untuk meredakan rasa gatal di hidunng, padahal sedang menahan geli.
Onel berdiri dengan sentakan. "Awas kalau sampai saya dan keluarga saya dipermalukan."
Setelah mengancam yang ancamannya terasa seperti kerupuk melempem, Onel keluar dari ruangan Julia.
"Br3ngs3k! Berani-beraninya ngancam. Saya putuskan pertunangan ini, mampus kamu jadi gembel," gerutu lirih Julia.
Julia kenal Onel saat di Amerika. Saat ada pesta ulang tahun seorang teman. Julia sendirian karena Anggara enggan kumpul-kumpul dengan teman Julia yang tak dikenalnya. Saat itu Julia dan Onel menjadi dekat, sama-sama mabuk, dan berlanjut di sebuah kamar hotel yang mewah.
Dua hari bersama Onel, Julia kemudian tahu siapa Onel dan apa kelemahannya. Dari ditulah ia kemudian memanfaatkan Onel, menjadikan Onel adalah wayangnya dan dirinya adalah dalangnya. Sedangkan Onel sendiri, justru mengira Julia adalah sang penyelemat, penyongkongnya yang loyal. Sebuah penilaian yang teramat lugu.
"Bu Julia...," tegur halus sekretaris Julia.
"Apa?"
"Ini semua apa sudah fix? Atau ada mau ditambahkan?"
"Sudah. Kamu hubungi EO biasanya. Dan pastikan sempurna. Kamu keluar sana. Saya pusing." Julia mengibaskan tangannya mengusir si sekretaris.
Sekretaris pribadinya mengangguk dan keluar. Paham akan situasinya. Lagi pula, ia harus bekerja ekstra untuk acara ulang tahun keluarga pembesar perusahaan.
Keheningan dibarengi kesejukan dari pendingin ruangan, menjadi pilihan bagi Julia untuk menenangkan diri. Pikirannya berat sejak kemunculan Juan ditambah kemudian Hartono.
Teringat ayahnya, kepeningan Julia makin bertambah. Perasaannya menggebu ingin bicara dengan Anggara. Sayangnya, sang suami sedang sangat sibuknya. Bahkan Anggara sedang tidak ada di kantor, melainkan keliling untuk meninjau beberapa anak perusahaan. Dan Julia tidak suka membicarakan hal penting melalui telepon. Ini karena Anggara biasanya tidak akan terlalu perhatian jika tak bertatap muka.
Salah satu dari dua ponsel Julia berdering. Kening Julia mengkerut membaca angka-angka yang tertampil di layar ponsel. Itu bukanlah nomer yang ia kenal. Ditambah, ponselnya yang sekarang dipegangnya, adalah ponsel untuk orang-orang terdekat atau penting. Tak sembarang orang memiliki nomernya yang ini.
Didorong rasa penasaran, Julia pun menerima panggilan tersebut.
"Halo...?"
"Halo, Sayang."
Sontak tubuh Julia mengejang. Pegangan tangannya di ponsel menguat hingga jari-jemarinya sedikit bergetar. Suara itu begitu dekat dengan dirinya, seakan-akan si penelepon sedang berdiri di hadapannya.
"Julia. Apa kabarmu, Sayang? Putri Bapak yang seperti malaikat."
Suara ayahnya begitu lembut, seperti biasa dulu ia sering dengar di hari-harinya saat masih menjadi seorang putri dari Hartono. Sapaan 'Sayang' yang tanpa malu diucapkan, sebagai bentuk sayang yang murni dari seorang ayah untuk sang putri.
Namun, kali ini Julia tak merasakan suatu kebaikan dari sapaan 'Sayang' yang keluar dari bibir ayahnya. Kelembutan suara itu tak sepenuhnya lembut. Ada belati yang sangat tajam terarah untuk Julia.
"Kenapa Putri kesayangan Bapak tidak punya suara?" kekeh Hartono geli.
Itu adalah kalimat menggelikan andaikan diucapkan di masa dan kedeketan yang berbeda. Saat ini, bahkan suara Hartono saja bagaikan belati yang sangat tajam, apalagi kalimat bernada gurauan. Seakan belati itu sudah menempel di kulitnya, bersiap untuk menggores.
Bagaimana? Bagaimana Bapak tau nomer saya? Juan? Tapi..., Juan juga tau dari mana? Saskia....
Julia geram menyadari bahwa Saskia dengan sembarangan memberikan nomer ponselnya pada orang lain. Kenyataan yang dilupakan Julia bahwa dirinya dan Juan bukanlah orang lain, melainkan saudara sedarah, sekandung.
"Bapak senang tinggal di sini. Sangat senang tinggal di sini meski tidak dua puluh empat jam. Dan Bapak tidak mau pergi."
Sebuah pernyataan tegas. Pernyataan yang dibarengi ancaman terselubung. Bahwa Hartono tidak mau diusir.
"Bapak ingin dekat dengan putri Bapak. Jadi..., tidak ada seorang pun yang boleh mengusir Bapak. Karena kali ini, Bapak bisa nekat dan meruntuhkan keangkuhan seseorang."
Benar-benar ancaman untuk Julia. Julia tak bisa berkutik lagi. Ayahnya sudah memberikan ultimatum bahwa ia bisa melakukan apa saja untuk menggugurkan kemewahan Julia dan Julia sangat paham apa senjata yang akan dikenakan sang ayah. Tak lain tak bukan, adalah masa lalu.
Julia memang berhasil membuang nama Hartono di belakang namanya. Julia juga tak pernah mempublikasikan keluarganya, yang ada dan tersebar di sosial media adalah Julia yang sekarang. Tak ada Julia dari masa lalu dengan keluarga yang kekayaannya biasa-biasa saja.
"Ahhh..., kamu tidak ada suaranya, mungkin karena kamu terlalu sibuk. Bapak tidak akan menganggumu terlalu lama. Pulang dengan hati-hati, ya. Sekali lagi, Bapak mau bilang. Bapak betah di sini."
Sambungan telepon pun tertutup dengan sengaja. Lagi dan lagi Julia kalah telak. Juan sudah melangkah maju duluan. Julia tertekan. Kemarahannya tak tertahankan.
Dengan amarah, Julia melempar ponselnya sembari berteriak.
***
Kakinya begitu ramping, putih bersih tanpa bulu, dengan otot bagian belakang yang sedikit menyembul, menandakan bagaimana kaki-kaki itu dirawat tak hanya kecantikan, melainkan juga dengan olahraga. Sepatu hak tingginya yang begitu runcing, tak membuat jalannya goyah, justru sangat mantap penuh percaya diri dengan ritme ketukan yang teratur. Tidak buru-buru, tidak lambat.
Wanita itu masuk ke reatoran Juan dengan senyum merekah dari bibir yang sudah dipoles perona bibir berwarna merah api. Begitu menyala dan menjadi sangat menonjol pada wajahnya yang putih. Tak hanya perona bibirnya yang menyala, kedua matanya pun sama. Alisnya dipoles pewarna hitam yang pekat, menaungi kedua mata yang bulu matanya sudah diberi tambahan bulu hingga sangat tebal dan sangat lentik.
Usianya diperkirakan di akhir empat puluhan atau pertengahan lima puluhan. Kecantikannya masih terawat dengan sangat baik karena uang dia miliki. Namun, tetap tak bisa menutupi auranya yang menua.
"Ini restoran Juan, bukan?" tanya si wanita dengan sangat bersahaja. Sangat tenang.
Sedangkan Nina dan Robi yang ditanya, justru gelagapan. Kemunculan wanita itu di restoran, benar-benar tak terduga. Juan, tidak suka kliennya datang ke restorannya. Juan akan sangat marah dan bahkan tidak akan berhubungan lagi dengan si klien, meskipun kliennya itu memiliki loyalitas tanpa batas untuk Juan.
Ini karena Juan tak ingin diribetkan hidupnya. Karena kebanyakan wanita-wanita, mengejar sampai restoran, pasti akan menuntut banyak.
"Tante siapa?" Robi memberanikan diri bertanya.
"Saya Sonya. Kekasih Juan Hartono."
Seperti yang sudah diduga. Mengaku-ngaku dan kemudian menuntut menjadi satu-satunya. Masalah baru bagi Juan di tengah usahanya menggempur Julia.
Sonya mulai kesal dengan sikap diam Nina dan Robi. Ia mendengkus. Senyumnya lenyap. "Itu ruangannya, bukan?" Sonya menunjuk pintu tertutup di sekat meja kasir dan ia melangkah mendekat.
Nina dengan sangat sigap, bergegas berdiri di depan pintu. Menatap tajam Sonya dengan amat tidak suka. Robi, segera menyusul dan berdiri di dekat Nina. Menjaga Nina agar tak melakukan hal anarki, meskipun pemikiran itu berlebihan.
"Apa-apaan ini? Siapa kamu? Berani-beraninya halangin langkah saya," bentak Sonya.
"Anda yang apa-apaan. Asal mau selonong saja. Apa sudah bikin janji dengan Pak Juan?" tanya Nina sengit.
"Sudah," jawab Sonya percaya diri.
"Kalau memang sudah ada janji, kami pasti diberi tahu. Tapi, Pak Juan tidak bicara apa-apa."
"Ya, kalau begitu, kamu masuk ke dalam dan bilang kalau saya datang," ucap gusar Sonya. Ia sudah sangat ingin menampar wanita muda dihadapannya itu, yang memiliki tatapan mencekam.
"Kenapa Tante jadi nyuruh-nyuruh saya?"
"Ya kan kamu pelayan di sini. Jadinya ya kamu memang pantas disuruh-suruh."
"Memangnya Tante siapa? Bayar saya aja, enggak. Gak punya malu main suruh!"
Robi jadi gelisah. Keributan Sonya dan Nina, menarik perhatian orang-orang yang sedang menyantap makanannya. Beberapa mulai cekikian dengan mengharap akan ada adegan kekerasan yang memang ditunggu.
"Pak Juan sedang pergi, Tante." Robi mencoba menengahi keributan Nina dan Sonya.
Nina langsung menoleh cepat ke Robi seolah Robi baru saja melakukan kesalahan teramat fatal. Robi hanya bisa meringis dan mengedikkan bahu. Memberi tahu Nina bahwa ia tidak punya pilihan juga tak berharap ada keributan.
"Ke mana? Juan pergi ke mana?" tanya Soraya menggebu.
"Nggg...." Robi menatap Nina meminta bantuan. Tapi, Nina dengan kesal menyentak perut Robi dengan telapak tangan, membuat bibir pria manis itu mengatup rapat dan pipinya menggembung menahan sakit. Tubuhnya juga sedikit membungkuk.
"Silahkan Tante duduk dulu di mana saja. Nanti Juan datang, pasti akan langsung ke meja Tante." Nina berlalu, tak lagi menjadi penjaga pintu ruang kerja Juan. Ia yakin Robi pasti bisa menangani si tante girang.
Robi mengangguk sopan pada Sonya dan mempersilakan Sonya duduk. Sonya menarik napas. Sepertinya ia tak punya pilihan. Kalau pun ngotot masuk, ia akan berhadapan dengan si perempuan singa. Ditambah, ada banyak pasang mata menatapnya. Ini bisa menjadi sangat memalukan.
Sonya menurut dan memilih duduk di sudut.
***