Julia, Aku Menemukanmu

1019 Kata
Juan duduk di sofa dengan kedua kaki terbuka selebar bahu. Kedua siku tangannya menumpu di atas kedua lututnya dan jemarinya saling menaut seolah sedang berdoa. Tubuhnya maju membungkuk ke depan karena kepala sengaja menumpu pada tangan yang saling menaut. Tatapannya lurus menatap pada ponsel yang diletakkan di atas meja tamu yang tingginya selutut Juan. Di dekatnya seorang pria dengan rambut keriting lebar-lebar dan kaca mata baca yang terlihat kuno, duduk dengan posisi yang kurang lebih sama dengan Juan. Tatapannya pun sama, terarah pada ponsel pintar di atas meja. Keduanya mengamati ponsel pintar itu seolah-olah benda itu adalah benda canggih yang baru pertama kali mereka lihat. "Berapa, Rob?" tanya Juan memecah sunyi di antara keduanya. Yang ditanya memiringkan kepala dan berpikir sejenak. "Satu milyar?" Dari pada menjawab dengan tegas, Robi seperti mengajukan pertanyaan kembali. "Apa gak terlalu murah?" Juan seperti meragukan jawaban Robi. "Itu bling-bling sekali." "Palingan itu batu spinel atau batu moissanite. Dipasang keliling begitu juga ratusan juta aja." "Kayaknya enggak." Juan meragukan analisa sahabat kecilnya. Ia memang tak mengerti batu-batuan, tetapi Juan merasa yakin kalau bebatuan yang merekat di ponsel pintar itu bukan bebatuan biasa. "Sudah pasti itu." "Enggak, ah." "Percaya, deh. Bahkan ini mungkin cuma kaca. Gaya-gayan biar kelihatan mewah," ujar Robi penuh percaya diri. Tangannya terulur untuk bisa memegangi ponsel tak biasa itu. Tapi, punggung tangan Robi langsung ditepuk oleh Juan. "Apa?" tanya Robi bingung. "Gak boleh pegang." "Alasannya?" "Pokoknya gak boleh." Robi mengernyit tak mengerti. Juan menoleh dengan senyuman jailnya. "nanti ada satu batunya yang hilang." "Batu imitasi begitu siapa yang mau? Cuih." "Itu berlian asli." Seorang wanita muda yang sedari tadi duduk di meja makan dengan laptopnya, kini sudah berdiri di hadapan Juan dan Robi. Rambutnya dipotong sangat pendek, serupa potongan pria. Kulitnya sawo matang yang bersih dan cerah. Kulit yang sehat. Nina tumbuh menjadi gadis tomboy yang sekaligus memiliki kecantikan yang eksotis. "Sok tau," tukas Robi sembari bergeser, untuk memberi tempat bagi Nina untuk duduk. "Hanya orang buta yang tidak bisa melihat berlian." Robi sontak menoleh menatap Nina dengan perasaan jengkel karena secara tidak langsung, Nina sudah mengatainya buta. Tapi, Nina tak gentar, ia pun membalas tatapan mata Robi dengan biasa saja bahkan cenderung dingin. Ia sudah mengenal Robi sejak kecil. Mengatasi pria culun itu sangatlah muda bagi Nina. Dan benar, Robi selalu kalah di setiap adu tatap mata. Tak ada yang tahu, jika sebenarya, Robi kalah bukan karena memang dia selalu salah, melainkan Robi memang sengaja cepat-cepat memalingkan wajah karena jantungnya selalu bermain aneh jika harus lama-lama menatap mata Nina yang bulat dan agak menonjol. "Ahhh...." Juan meninju angin dengan pura-pura kesal. "Sudah lewat tujuh belas detik. Makin lama rekormu menatap mata Nina, sepertinya semakin menurun." "Suka mimpi buruk kalau lama-lama dilihat," ujar Robi dan tak ayal, satu kemplangan mendarat di kepala Robi dari Nina. Robi menatap Nina dengan tatapan protes. Kali ini Nina mengabaikan dan menatap ponsel mewah di atas meja. Nina mengambil ponsel mewah itu, ia mengangkatnya ke atas dan dengan lampu senter kecil yang ia bawa tadi dari ruang makan, Nina menyinarinya. Robi dan Juan mendekati, mendongat dan mengamati dengan serius ponsel pintar itu. "Perhatikan. Kalian melihat pendaran warna pelangi?" tanya Nina. "Ya." Juan menjawab dengan kekaguman. Penderan berlian itu bermain dengan manisnya. Kelap-kelip, mengingatkan Juan akan kelap-kelip lampu-lampu kota saat malam hari dan dilihat di puncak Bogor. Berbeda warna yang dipendar, tetapi perasaan yang ditimbulkan dari cahaya itu, sama. "Semua batu juga kelap-kelip," celetuk Robi. "Makanya pinter," ujar ketus Nina yang sedah mengembalikan ponsel ke atas meja. "Selain batu berlian, endarnya hanya berpusat di dalam. Cahaya pendarannya tidak akan bisa keluar seperti berlian asli." "Berapa ini?" tanya Juan kagum. Bagian belakang ponsel itu, penuh dengan berlian putih dan dibagian tengahnya ada berlian berwarna merah muda yang manis. "Kamu bisa membeli sepuluh rumah mewah, yang masing-masing bisa kamu isi minimal saru mobil paling mewah versimu. Dan itu masih ada kembalian yang sangat banyak hingga mungkin cucumu muntah karena kekenyangan punya uang banyak." Juan tertawa geli mendengarkan pengandaian yang diucakpan Nina. Sedangkan Robi justru melotot menatap ponsel di hadapannya. Tak mengira kalau ponsel itu bisa semahal itu karena casing-nya ditaburi banyak batu yang gemerlap dan itu bukan batu permata biasa. "Ini yang kamu temui tadi?" Nina membalik ponselnya agar layar menghadap ke arah Juan dan juga bisa dilihat Robi. "Ya. Bagaimana?" tanya Juan antusias. "Kalau begitu..., kita sudah dekat dengan Julia." "Serius? Tapi dia siapa sebenarnya?" tanya Robi. "Seperti nama lengkapnya, dia memang putri Ilham Pamungkas. Tak perlu saya jelaskan siapa dia dan apa saja yang ada di tangan mereka bukan? Dengan melihat ponsel itu saja, berarti Saskia Ilham Pamungkas bukanlah orang sembarangan atau seseorang yang berpura-pura menjadi bagian dari klan Ilham Pamungkas." "Wahhh.... Kakap...," gumam Robi sembari memegang ponsel mahal itu. "Pantas Julia nekat membuang semua. Karena yang ia dapatkan bukan hanya segenggam berlian. Tapi juga dunia." "Juan...." Juan menatap Nina sebagai respon. Sedangkan Nina langsung menggeser tampilan layar laptop pada foto selanjutnya. Sontak Juan dan Robi terhenyak. Seorang wanita cantik dengan rambut dikuncir ekor kuda dan kemudian disanggul tinggi, berdiri anggun di sebelah seorang pria yang penampilannya tak kalah resminya dengan si wanita. Dua anak kecil berdiri di depan keduanya dengan tawa ceria. Itu seperti sebuah foto keluarga. Juan menatap nanar sosok si wanita. Kedua matanya melebar dengan kedutan menahan segala emosi. "Jelaskan," pinta Juan dengan suara dalam dan mengubah suasana menjadi lebih serius. "Julia menikah dengan Anggara Ilham Pamungkas, tujuh tahun lalu. Anggara adalah anak dari istri pertama Ilham Pamungkas, dan Saskia adalah anak kedua dari istri kedua Ilham Pamungkas. Jika menurut ceritamu, Saskia seperti diatur Julia, maka itu bisa jadi. Karena sejak menjadi istri Anggara, Julia juga memiliki saham dalam jumlah yang tak sedikit sebagai hadiah. Tak hanya itu, Julia juga memimpin beberapa anak perusahaan dari Ilham Pamungkas." Nina mengakhiri penjelasannya dengan helaan napas. Ia memandang Robi seolah bertanya apa selanjutnya. "Juan. Apa yang akan kamu lakukan?" tanya Robi mewakili juga tanya Nina. Juan diam terpekur. Untuk waktu yang sangat lama, ia akhirnya bisa lagi melihat sosok Julia meski hanya lewat foto. Darahnya menggelegak amarah dan kesumat. Juan berdiri dan menyambar ponsel di meja. "Saya akan menyeretnya pulang," jawab dingin Juan sembari berlalu keluar. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN