Rumah Baru

1031 Kata
Tempat ini harus kusebut istana meski hanya gubuk. *** Tak perlu melihat jam tangan untuk tahu waktu. Gelapnya ruangan sudah cukup memberi pertanda bahwa senja sudah menggelincirkan dirinya jauh, menjadi malam. Tidak benar-benar gelap. Ada temaram lampu dari luar yang menyelusup masuk. Cukup untuk bisa memberikan penerangan seadanya akan isi ruangan yang hanya sepetak. Semua perabotan tersisa diletakkan cukup rapi. Menumpuk berderet, menempel tembok. Tidak pada tempatnya yang tepat, tapi bisa memberikan sedikit kelegaan di bagian tengahnya. Dan bagian tengah itulah yang dipakai Juan untuk merebahkan tubuhnya di lantai. Sudut bibirnya terlihat memar. Ada luka kering tersisa darah. Tadi ayahnya marah karena kemunculannya yang dianggapnya terlambat. Padahal toh, tidak dikejar waktu. Ayahnya tidak peduli kalau kelambatannya karena sang ayah meninggalkannya. Kemarahan sang ayah tidak hanya itu. Ia juga dianggap lambat menata barang-barang masuk ke dalam rumah kontrakan. Mobil bak terbuka tidak dapat masuk gang dan ada biaya tambahan kalau membuntuhkan bantuan mereka untuk membawakan barang-barang itu masuk ke dalam kontrakan yang mengharuskan mereka berjalan. Alhasil, Juan dan ibunya bergantian membawa barang-barang masuk, bolak-balik. Sedang sang ayah, santai-santai dengan dalih menjaga semua barang yang diturunkan di pinggir jalan dekat toko bangunan. Beruntung ada beberapa tetangga baik yang mau ikut membantu. Baru selesai meletakkan semua barang, ayahnya menemukan buku tabungan. Ia merayu Juan untuk mengeluarkan sejumlah uang dari tabungannya. Tapi, Juan menolak dan bertahan. Ia tahu, ayahnya tidak akan mengganti, sedangkan uang itu akan ia gunakan untuk bisa masuk ke SMA. Karena Juan dianggap berkali-kali membuat dirinya susah, Juan mendapat tamparan dan tinju di wajah. Beruntung sang ibu datang melerai. Mengingat itu, air mata menetes turun tanpa isak tangis. Hatinya mendidih amarah dan juga sedih. Dulu, ayahnya akan melakukan apa saja untuk Julia. Ia tidak hitang-hitung juga tidak menuntut apa-apa ke Julia. Namun, terhadap dirinya, ayahnya terlalu banyak menuntut. "Kenapa tidak pernah rangking satu? Julia yang perempuan saja bisa, kamu yang laki-laki gak bisa." "Minta uang buku terus, tapi kamunya juga gak pinter-pinter. Gak seperti Julia." "Untuk apa kamu minta sepeda? Jalan kaki kan bisa. Kamu itu laki-laki, gak usah lembek. Beda sama Julia. Dia kan perempuan." Dan banyak lagi gerutuan-gerutuan ayahnya untuk Juan. Pernah ia bertanya pada ibunya, kenapa ia diperlakukan berbeda. Ibunya menjawab, "Kamu kan lelaki. Masak iya harus diperlakukan lembut seperti Julia? Dan lagi, cobalah kamu pintar sedikit, biar ayahmu bangga sama kamu." Bukan jawaban malah tuntutan lagi yang didapat Juan. Harus begini. Harus begitu. Lihat Julia. Ikuti Julia. Rasanya kepala Juan mau pecah. "Kamu gak lapar, Juan?" Juan mengangkat kepalanya sedikit. Ibunya muncul dan duduk di lantai. Rumah kontrakan mereka hanya ada satu ruang utama, satu kamar tindur tanpa pintu, satu dapur dan satu kamar mandi. Semuanya dalam petak-petak kecil. Juan duduk. "Ibu lapar?" Ibunya menggeleng lemah dan batuk-batuk. "Kamu kan abis angkat-angkat barang. Kamu juga belum makan dari pagi." "Ibu juga belum makan dari pagi. Kita semua sibuk beres-beres. Ya, sudah, Saya keluar beli makan." "Tunggu." Ibunya mencegah Juan beranjak. Ibu Juan berdiri perlahan dan kembali masuk ke kamar tanpa pintu. "Juan...." Ibunya memanggil dengan suara serak disertai batuk. Juan bergegas menghampiri. Kamar ibunya sudah menyala lampu. Dilihatnya sang ibu duduk di tepi tempat tidur busa dengan tas cokelat dalam dekapan. Tubuhnya yang kurus, terus batuk-batuk hingga tubuhnya membungkuk dalam. Juan mengusap punggung ibunya dengan sedikit tekanan, berharap batuknya mereda. Juan ingat sudah meletakkan kompor gas di dapur. Tabung gasnya juga ada, tapi isinya kosong. Juan juga baru sadar, mereka tidak memiliki persedian air minum. Ada pun sebotol besar, itu milik ibunya yang sudah habis. Rasa lengket di tenggorokkan membuat Juan kehausan. Ibunya membuka tas dan mengeluarkan amplop cokelat. Tangannya yang semakin kurus mengambil tangan Juan dan diletakkannya amplop cokelat itu di tangan Juan. "Ini hakmu, Juan." Juan menatap nanar amplop cokelat ditangannya. Tak perlu ia membuka dan memeriksa isinya, melihat ketebalannya, ia bisa menduga apa isinya. "Tidak banyak, Juan. Tapi, itu milikmu." "Buat ibu saja. Saya tidak butuh." Juan menyodorkan kembali amplop cokelatnya. Ia tahu, ibunya lebih membutuhkan ketimbang dirinya. Orang tuanya masih dikejar-kejar hutang karena Julia. Hatinya tidak akan tega mengambil apa pun dari orang tuanya meski sedikit. "Ambillah." Ibu Juan menyorongkan tangan Juan yang memegang amplop. Ia kembali terbatuk-batuk. "Ambillah Juan. Ini sebagian dari hasil penjualan rumah. Anggaplah ini warisan terakhir dari kami. Julia sudah mendapatkannya. Dia bahkan sudah mendapakan berkali-kali lipat darimu...." Ibunya menerawang, menatap dinding kamar yang terbuat dari bahan kayu lapis atau triplek yang dicat warna biru, yang sebanrnya tidak biru. Juan menduga sebelumnya ada warna merah atau jingga yang akhirnya di cat biru tua yang membuatnya justru terlihat butek. "Saat di dalam kandungan, buyut laki-laki dari ayahmu, datang ke rumah. Dia berkata, kalau anak dalam kandungan akan membawa emasnya sendiri. Kata-kata itulah yang dipegang ayahmu sejak hari itu. Dan..., ibu juga." Ibu Juan menunduk, menghapus air mata yang masih mengambang di sudut mata. "Kami memerhatikan perkembangannya dan semakin percaya dengan ucapan beliau. Anak yang sehat. Cantik. Pintar. Bukan tidak mungkin di masa depannya, Julia akan membawa kemakmuran." Air mata ibu Juan mengalir deras dibarengi suara merintih yang samar. "Makanya Ayah dan Ibu meperlakukan saya biasa saja. Tidak istimewa." Pernyataan sarkasme yang dipahami Juan dari cerita ibunya. Miris. Hidupnya berjalan berdasarkan ramalan yang keluar untuk Julia. Dengan tangan yang sudah begitu kurus dan sedikit gemetar, sang ibu menyelusup masuk di sela-sela jemari tangan Juan. Membelai lembut punggung tangan Juan dengan ibu jari. Kedekatan ibu dan anak yang sangat jarang dirasakan Juan. Hati Juan menyelusup pilu. Kemarahannya juga kekecewaannya tak bisa ia alirkan begitu saja. Ia tidak tega. "Maafkan.... Maafkan kami, Juan. Kami menaruh harapan setinggi langit padanya sampai lupa pada kata terakhir beliau kalau Julia juga akan mengubur dirinya sendiri. Untuk yang terakhir itu, ayahmu tertawa saja. Baginya, semua orang pasti akhirnya mati dan terkubur. Jadi bukan masalah. Dan Ibu juga berpikir sama seperti ayahmu. Bodohnya Ibu. Bodohnya Ibu...." Juan tak kuasa. Dipeluknya sang ibu dengan perasaan tidak menentu. Ia tak pernah dipeluk ataupun memeluk. Mungkin ia pernah dipeluk, tapi pastinya itu di waktu yang sangat jauh. Saat ia masih bayi atau baru bisa berjalan. Dan ia tidak ingat akan itu. "Juan.... Bawa Julia pulang. Itu bukan ramalan, itu permintaan Ibu. Dia harus kembali ke asalnya. Ketamakan dan kelicikannya akan membuatnya benar-benar mengubur dirinya sendiri. Ibu mohon padamu, Juan. Selamatkan Julia." ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN